Hujan turun sejak sore, memandikan rumah Rani dengan suara rintik yang tak henti-henti. Suaminya, Bima, mengabari lewat pesan singkat kalau ia pulang agak larut karena ada lembur di kantor.
Rani sendirian malam itu.
Sekitar pukul 10 malam, listrik mendadak padam. Rumah tenggelam dalam gelap, hanya suara hujan dan gemuruh petir yang sesekali menggelegar. Rani menyalakan lilin dan menaruhnya di ruang tamu. Cahaya kuning redup itu bergetar seperti nyala obor di tengah angin, padahal semua jendela tertutup rapat.
Ia duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun, dari arah dapur, tiba-tiba terdengar suara prang!—suara piring jatuh pecah.
Rani menelan ludah. Rasanya jantungnya memukul tulang rusuk. Dapur ada di ujung lorong gelap, dan ia tahu betul, tidak ada siapa pun di rumah. Tapi rasa penasaran, bercampur takut, memaksanya untuk memeriksa.
Langkahnya pelan, menapaki lantai kayu yang berderit di setiap injakan. Lorong itu seperti semakin panjang, dan setiap kilatan petir yang menyambar, bayangan perabot di dinding tampak seperti sosok-sosok mengintai.
Sampai di dapur, ia mengangkat lilin setinggi dada, mengamati rak piring. Semua piring masih tersusun rapi, tak ada yang jatuh. Lantai dapur pun bersih, tak ada pecahan.
“Perasaan tadi jelas banget…” gumamnya.
Ia memutuskan untuk kembali ke ruang tamu. Namun, baru saja berbalik, sebuah bisikan pelan terdengar tepat di telinganya:
“Jangan matikan lilin itu…”
Bisikan itu begitu dekat, sampai ia bisa merasakan hembusan napas dingin di daun telinganya. Rani menoleh spontan—tak ada siapa pun.
Tiba-tiba, dari arah ruang tamu, nyala lilin padam begitu saja. Seketika, seluruh rumah tenggelam dalam kegelapan total.
Dalam gelap itu, suara napas berat terdengar di belakangnya. Bukan napasnya sendiri. Berat, lambat… seolah sesuatu berdiri hanya beberapa senti di belakangnya.
Rani ingin berlari, tapi kedua kakinya seperti menancap di lantai. Suara itu makin dekat, lalu disusul bisikan yang membuat darahnya membeku:
“Sekarang… giliranmu.”
Petir menyambar, menerangi ruangan sekejap—cukup lama untuk memperlihatkan pantulan wajahnya di jendela dapur. Tapi di balik pantulan itu, berdiri sosok pucat tanpa mata, tersenyum lebar, dan mengangkat tangannya ke arah lilin yang sudah mati.
Petir meredup, meninggalkan kegelapan yang lebih pekat dari sebelumnya. Rani mundur beberapa langkah, namun punggungnya menabrak sesuatu yang dingin dan keras. Bukan dinding.
Perlahan, ia menoleh… tapi tak ada apa-apa di belakangnya. Meski begitu, hawa dingin itu tetap menempel, seolah ada sosok tak terlihat berdiri menempel di punggungnya.
Suara napas berat kembali terdengar, kini diikuti bunyi kaki menyeret pelan di lantai kayu.
Gesek… gesek…
Aromanya mulai terasa—bau tanah basah bercampur anyir darah.
"Siapa di sana?" suara Rani bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya satu hal yang terjadi: lilin di tangannya, yang tadi mati, tiba-tiba menyala sendiri. Tapi nyala apinya aneh—warna biru pucat, bukan kuning.
Nyala biru itu justru menerangi hal yang seharusnya tak terlihat.
Di ujung lorong, berdiri sosok pucat itu. Tubuhnya tinggi kurus, kulitnya seperti terbakar, matanya dua lubang hitam menganga, dan mulutnya terentang sampai ke telinga.
Ia tidak bergerak… hanya tersenyum.
Rani mundur, tapi lorong terasa memanjang, membuat langkahnya sia-sia. Dinding rumah bergetar, hujan di luar terdengar seperti ratusan tangan mengetuk jendela secara bersamaan.
Sosok itu melangkah maju, tapi kakinya tak pernah menyentuh lantai. Ia melayang… dan setiap kali bergerak, seluruh lilin di rumah—yang tak pernah dinyalakan Rani—mulai menyala satu per satu, menampilkan bayangan-bayangan hitam lain yang berbaris di kedua sisi lorong.
Mereka semua menatap Rani. Diam.
Bisikan itu terdengar lagi, kali ini bukan dari satu suara, tapi dari puluhan mulut yang tak bergerak:
“Sekarang giliranmu… tinggal di sini.”
Rani menutup telinganya dan menjerit. Tapi suara hujan menelan jeritannya, dan tiba-tiba dunia menjadi sunyi.
Ketika Bima pulang satu jam kemudian, rumahnya terang benderang. Semua lilin menyala rapi. Ia memanggil nama Rani berkali-kali, tapi tak ada jawaban.
Di meja dapur, hanya ada satu piring yang pecah… dan di pantulan jendela, sosok istrinya berdiri di belakangnya, tersenyum tanpa mata.
Bima tidak langsung sadar ada yang salah malam itu. Ia hanya merasa udara di rumah dingin tak wajar, dan aroma tanah basah bercampur besi memenuhi setiap ruangan.
Ia menelusuri rumah dengan perasaan tak enak. Ketika sampai di dapur, tatapannya tertuju pada pecahan piring di lantai. Tepat di atasnya, di dinding, ada bekas goresan seperti cakar… empat garis panjang, basah seperti baru dibuat.
Saat ia membungkuk untuk memungut pecahan itu, terdengar suara pelan dari arah belakangnya:
"Jangan matikan lilin itu…"
Bima menoleh cepat—tak ada siapa pun. Tapi lilin di meja makan bergoyang sendiri, meski semua jendela tertutup rapat.
Keesokan harinya, ia menceritakan kejadian itu kepada tetangganya, Pak Sarman, yang sudah puluhan tahun tinggal di kampung tersebut. Wajah Pak Sarman langsung berubah pucat.
“Rumahmu itu dulunya milik seorang janda, Bu Karsih,” kata Pak Sarman pelan. “Dia terkenal aneh… suka mengurung diri, dan tiap malam selalu duduk di dapur dengan lilin menyala. Katanya, kalau lilin itu padam sebelum tengah malam, ‘sesuatu’ akan datang menjemput.”
Bima merinding. “Menjemput?”
Pak Sarman mengangguk, lalu berbisik, “Dia mati sendirian… ditemukan duduk di kursi dapur, matanya hilang, dan lilin di depannya sudah mati. Sejak itu, orang bilang arwahnya mencari pengganti—orang yang lilinnya padam sebelum waktunya.”
Bima ingin tak percaya, tapi malam berikutnya, ia tak sengaja terbangun. Dari dapur, terlihat cahaya lilin biru pucat, dan siluet Rani berdiri membelakanginya.
Namun saat ia memanggil… Rani berbalik, menampilkan wajah pucat tanpa mata, tersenyum lebar.
“Jangan matikan lilin itu, Mas… atau kita akan ditemani.”
Lilinnya padam. Dan di belakang Rani, di kegelapan, puluhan mata hitam mulai terbuka satu per satu.
~Selesai~