Prolog
Tidak semua orang menemukan cintanya di tempat-tempat romantis. Ada yang menemukannya di balik layar laptop, di antara tumpukan buku, dan di dalam sunyi yang hening. Ini adalah kisah tentang Maya, seorang editor buku yang selalu meragukan setiap kata yang ia baca, dan Arion, seorang penulis yang selalu meragukan setiap kata yang ia tulis. Mereka adalah dua kutub yang berbeda, dua jiwa yang terperangkap dalam dunia kata-kata. Mereka bertemu melalui email, saling bertukar naskah, kritik, dan akhirnya, rahasia-rahasia terdalam mereka. Sebuah kisah tentang menemukan cinta di antara barisan kata, dan keberanian untuk mengubahnya menjadi sebuah kalimat utuh.
°°°
Malam adalah waktu paling produktif bagi Maya. Ruang kerjanya dipenuhi tumpukan buku, naskah yang belum selesai, dan secangkir teh hijau yang selalu menemaninya. Ia adalah seorang editor senior di sebuah penerbitan ternama, dikenal karena ketajamannya dalam mengkritik. Namun, di balik sikap profesionalnya, Maya adalah seorang wanita yang terlalu berhati-hati, bahkan dalam urusan hati.
Sebuah email baru masuk. Naskah dari seorang penulis baru bernama Arion. Maya menghela napas. Penulis baru biasanya penuh dengan ego dan minim pengalaman. Ia membuka lampiran email itu dan mulai membaca.
Kata-kata di naskah itu mengalir begitu saja, puitis, dan penuh makna. Maya terhanyut. Ia membaca naskah itu hingga halaman terakhir, dan saat ia selesai, ia merasa seperti baru saja menyelesaikan perjalanan emosional yang panjang.
"Luar biasa," gumamnya.
Ia mengambil secangkir tehnya, dan mulai menulis kritik. Namun, alih-alih kritik pedas, ia justru menuliskan pujian. Ia mengakui keindahan setiap kalimat, keunikan alur, dan kedalaman karakter. Ia menutup email itu dengan sebuah kalimat: "Naskah Anda adalah naskah terbaik yang pernah saya baca tahun ini."
Di tempat lain, Arion sedang menatap layar laptopnya, tangannya memegang secangkir kopi hitam. Sejak naskahnya dikirim, ia merasa gelisah. Ia adalah seorang penulis pemula, dan ia tahu, persaingan di dunia penerbitan sangat ketat. Ia sudah bersiap menerima penolakan, atau setidaknya, kritik yang pedas.
Ponselnya bergetar. Sebuah email dari penerbit. Dengan tangan gemetar, ia membuka email itu. Ia membaca setiap kata yang ditulis oleh editornya. Matanya terbelalak saat membaca kalimat terakhir: "Naskah Anda adalah naskah terbaik yang pernah saya baca tahun ini."
Arion terdiam. Ia merasa haru. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan pujian setulus itu. Ia lalu membaca nama editornya: Maya.
Ia segera membalas email itu. Ia mengucapkan terima kasih, dan bertanya apakah ia bisa meneleponnya untuk berdiskusi lebih lanjut. Maya, yang tidak pernah mau bertemu dengan penulisnya, menolak dengan halus. Namun, ia menawarkan untuk berdiskusi melalui email.
Malam itu, mereka memulai percakapan panjang melalui email. Mereka berdiskusi tentang alur, karakter, dan lirik. Arion, yang awalnya hanya ingin berdiskusi tentang naskah, mulai menceritakan tentang dirinya, tentang mimpinya, dan tentang alasan ia menulis. Maya, yang semula hanya ingin berdiskusi profesional, mulai membuka diri, menceritakan tentang masa lalunya, tentang ketakutannya, dan tentang alasan ia menjadi seorang editor.
Di antara barisan kata-kata, mereka menemukan kesamaan yang luar biasa. Mereka berdua adalah jiwa-jiwa yang kesepian, yang mencoba menemukan makna dalam kata-kata.
Pertukaran email antara Maya dan Arion semakin intens. Mereka tidak lagi hanya membahas naskah, tetapi juga saling berbagi cerita tentang hari-hari mereka. Maya menceritakan tentang hiruk pikuk di kantornya, tentang kritik pedas yang harus ia berikan pada penulis lain. Arion menceritakan tentang keheningan di apartemennya, tentang kesulitan mencari inspirasi, dan tentang mimpinya untuk keliling dunia.
Suatu malam, Arion mengirim sebuah email yang berisi sebuah puisi. Puisi itu menceritakan tentang seorang editor yang jatuh cinta pada kata-kata seorang penulis, namun terlalu takut untuk bertemu dengan penulisnya. Maya membaca puisi itu, dan hatinya bergetar. Ia tahu puisi itu untuknya.
Ia membalas email itu. "Puisi yang indah. Tapi... kenapa seorang editor begitu takut?"
Arion membalasnya dengan cepat. "Karena ia tahu, dunia kata-kata lebih indah dari dunia nyata."
Jawaban itu menusuk hati Maya. Ia tahu Arion benar. Ia terlalu nyaman berada di balik layar laptopnya, di mana ia bisa menjadi seseorang yang berbeda. Ia takut, jika ia bertemu Arion, keindahan yang ia rasakan dari kata-katanya akan hancur oleh kenyataan.
Di sisi lain, Arion juga berjuang dengan keraguannya sendiri. Ia jatuh cinta pada Maya, pada kecerdasan dan kehangatan yang terpancar dari setiap emailnya. Namun, ia juga takut. Ia tahu ia adalah penulis yang idealis, yang sering kali kesulitan dengan realitas. Ia takut, jika ia bertemu Maya, ia akan mengecewakannya.
Suatu hari, Arion mendapat telepon dari editor lain. "Arion, naskahmu luar biasa! Penerbit kami tertarik untuk menerbitkannya. Kami ingin bertemu denganmu untuk berdiskusi lebih lanjut."
Arion merasa senang, namun ia menolak. "Maaf, tapi saya sudah terikat dengan penerbit lain."
Editor itu terkejut. "Tapi... kami menawarkan kontrak yang jauh lebih besar."
"Maaf," ucap Arion. "Saya tidak bisa."
Ia tidak bisa mengkhianati Maya, editor yang telah menemukan keindahan dalam tulisannya, editor yang telah membuatnya jatuh cinta. Ia lalu mengirim email pada Maya, menceritakan tentang tawaran itu, dan tentang keputusannya untuk menolaknya.
Maya membaca email itu, hatinya merasa hangat. Ia tahu, Arion juga berjuang. Ia juga tidak ingin mengkhianati hati.
Beberapa hari kemudian, Maya mendapat email dari Arion. "Aku ingin bertemu denganmu, Maya. Aku tahu kamu takut, tapi aku juga takut. Aku ingin membuktikan, bahwa keindahan yang kita rasakan di dunia kata-kata, bisa sama indahnya di dunia nyata. Bagaimana, mau?"
Maya terdiam. Ia menatap layar laptopnya, hatinya berdebar kencang. Ia tahu, ia harus membuat keputusan. Ia tidak bisa terus bersembunyi.
Ia membalas email itu. "Baiklah. Besok, di kafe 'Purnama'. Pukul empat sore."
Malam itu, Maya tidak bisa tidur. Ia membayangkan bagaimana wajah Arion, bagaimana suaranya, bagaimana ia akan bersikap. Ia merasa gugup, namun juga bahagia.
Di tempat lain, Arion juga tidak bisa tidur. Ia membayangkan bagaimana wajah Maya, bagaimana ia tersenyum, bagaimana ia akan berbicara. Ia merasa gugup, namun juga bahagia.
Mereka berdua tidak tahu, bahwa takdir telah mempermainkan mereka. Ternyata, selama ini, mereka tinggal di apartemen yang sama, di lantai yang berbeda. Kafe "Purnama" adalah kafe yang sering mereka kunjungi, namun tidak pernah saling berpapasan.
Keesokan harinya, Maya datang ke kafe 'Purnama'. Ia duduk di sudut kafe, memesan teh hijau, dan menunggu. Ia menatap setiap orang yang masuk, mencari sosok Arion. Namun, ia tidak menemukan siapa pun yang terlihat seperti seorang penulis.
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya yang merupakan pemilik kafe, Pak Budi, menghampirinya. "Nona Maya, kamu sudah menunggu lama?"
Maya terkejut. "Bapak kenal saya?"
"Tentu," jawab Pak Budi, sambil tersenyum. "Kamu dan Arion, kalian berdua adalah pelanggan setia di sini."
Maya terdiam. "Arion? Maksud Bapak, penulis itu?"
"Ya. Dia sering datang ke sini. Dia duduk di sudut sana, menulis," ucap Pak Budi, menunjuk sebuah meja di sudut kafe. "Dia orang yang baik. Dia selalu memesan kopi hitam."
Maya menatap meja itu. Ia merasa ada yang aneh. "Bapak tahu di mana dia sekarang?"
"Dia bilang, dia akan menemui editornya di sini," jawab Pak Budi, lalu ia menatap ke luar jendela. "Oh, itu dia. Arion!"
Seorang pria muda, dengan jaket kulit cokelat dan tas ransel, berjalan masuk. Itu adalah Arion. Maya menatapnya, hatinya berdebar kencang. Itu adalah pria yang sering ia lihat, pria yang sering duduk di sudut kafe, yang sering ia anggap sebagai 'tetangga' yang ia kenal.
Arion menatapnya, matanya terbelalak. "Maya? Itu... kamu?"
Maya mengangguk. "Ya."
Mereka berdua terdiam, saling menatap. Mereka tidak menyangka, bahwa mereka begitu dekat, namun juga begitu jauh.
Keheningan menyelimuti kafe. Maya dan Arion saling tatap, keheranan tergambar jelas di wajah mereka. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. Perkenalan yang begitu intim melalui kata-kata, kini harus berhadapan dengan realita yang tak terduga.
"Jadi... kau si Maya yang cerewet?" Arion akhirnya memecah keheningan, mencoba mencairkan suasana dengan senyum tipis.
Maya membalasnya dengan tawa kecil. "Dan kau si Arion yang... terlalu puitis?"
Mereka akhirnya bisa bernapas lega. Rasa canggung perlahan menghilang, digantikan oleh tawa dan percakapan yang mengalir begitu saja. Mereka menceritakan semua hal yang tidak bisa mereka ungkapkan di email, dari pertemuan pertama di kafe, hingga bagaimana mereka selalu merasa saling melihat dari kejauhan.
"Aku selalu merasa kau ada di sini," ucap Arion. "Aku merasa kau adalah bagian dari tempat ini."
"Aku juga," jawab Maya, matanya berkaca-kaca. "Aku selalu merasa kita ini seperti purnama di atas lautan kata-kata. Dekat, tapi juga jauh."
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama. Mereka berjalan pulang bersama, dan saat tiba di depan apartemen mereka, mereka terdiam. Mereka berdua tahu, mereka sudah tidak bisa lagi bersembunyi di balik jendela.
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Mereka mulai sering bertemu, tidak hanya di kafe, tetapi juga di apartemen mereka. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan membaca buku, menulis, dan hanya sekadar berbincang. Maya, yang tadinya takut untuk mencintai, kini menemukan dirinya jatuh cinta pada Arion, pada kesederhanaannya, pada idealismenya. Arion, yang tadinya takut untuk menulis, kini menemukan dirinya jatuh cinta pada Maya, pada kecerdasannya, pada kehangatannya.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Suatu sore, saat mereka sedang duduk di kafe, seorang pria paruh baya menghampiri meja mereka. Pria itu menatap Arion dengan wajah marah.
"Arion, akhirnya aku menemukanmu," ucap pria itu. "Kau sudah merugikan perusahaan kami! Kenapa kau menolak tawaran kami? Padahal, kami sudah siap untuk berinvestasi padamu!"
Maya menatap Arion dengan bingung. Arion menunduk, tidak berani menatap pria itu. "Maaf, Pak. Saya sudah terikat dengan penerbit lain."
Pria itu, yang merupakan seorang produser dari perusahaan penerbitan besar, menatap Maya dengan sinis. "Jadi ini yang kau sebut penerbit? Wanita ini yang menghalangimu untuk sukses? Arion, pikirkan baik-baik! Ini adalah kesempatan emasmu!"
Arion menggeleng tegas. "Bukan dia yang menghalangi saya, Pak. Saya yang memutuskan. Saya tidak akan mengkhianati idealisme saya."
Pria itu tertawa sinis, lalu pergi, meninggalkan Arion dan Maya dalam keheningan yang menyakitkan. Maya merasa bersalah. Ia merasa, Arion telah mengorbankan impiannya demi dirinya.
Malam itu, Maya tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk menemui Arion di apartemennya. Ia mengetuk pintunya. Arion membukanya, wajahnya terlihat lelah.
"Aku tahu kau marah," ucap Maya, suaranya parau.
"Aku tidak marah," jawab Arion. "Aku hanya... bingung."
"Aku akan pergi," ucap Maya, matanya berkaca-kaca. "Aku akan pergi dari sini. Aku tidak ingin menjadi penghalangmu untuk sukses."
Arion terkejut. "Apa yang kau bicarakan, Maya? Kau tidak pernah menjadi penghalangku. Kau adalah inspirasiku!"
"Tapi..."
"Dengarkan aku, Maya," potong Arion. "Aku sudah membuat keputusan. Aku akan tetap bersama penerbit yang ini, dan aku akan tetap bersamamu. Karena bagiku, kau adalah segalanya. Jika aku harus memilih antara karier yang gemilang dan dirimu, aku akan memilihmu."
Maya menatap Arion. Ia melihat ketulusan di matanya. Ia lalu memeluk Arion dengan erat.
"Aku juga," bisik Maya. "Aku juga akan memilihmu, apa pun yang terjadi."
Mereka berjuang bersama. Maya dan Arion bekerja keras untuk naskah itu. Dengan bantuan dari Pak Budi, pemilik kafe yang memiliki koneksi dengan dunia penerbitan independen, mereka berhasil menemukan penerbit lain yang idealis dan menghargai karya-karya Arion.
Naskah Arion akhirnya diterbitkan. Buku itu sukses besar, dan Arion menjadi penulis terkenal. Ia menuliskan sebuah kalimat di buku itu, yang didedikasikan untuk Maya. "Untuk Maya, editor terbaikku, inspirasiku, dan cinta pertamaku."
Suatu malam, Arion mengajak Maya ke atap apartemen mereka. Di sana, mereka bisa melihat keindahan kota di bawah rembulan. Arion mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya.
"Maya," ucapnya, berlutut di hadapan Maya. "Kau adalah kalimat yang paling indah yang pernah aku baca. Kau adalah purnama yang menerangi lautan kata-kataku. Maukah kau... menjadi istriku, menjadi editor dan cinta sejatiku, sampai akhir hayatku?"
Maya tersenyum, air matanya menetes. Ia mengangguk.
"Ya, Arion. Aku mau."
Mereka berciuman, di bawah purnama yang bersinar terang, di atas lautan kata-kata yang telah menyatukan mereka.
°°°
Epilog
Arion dan Maya menikah. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang cantik, yang mereka namai Luna. Mereka hidup bahagia di apartemen mereka, di mana Maya masih menjadi editor, dan Arion masih menjadi penulis. Kisah mereka menjadi legenda di dunia penerbitan. Sebuah kisah tentang cinta yang dimulai dari kata-kata, dan berakhir dengan kalimat utuh, yang penuh dengan kebahagiaan.