Prolog
Tidak semua kisah terukir di lembaran buku yang baru. Ada yang tersimpan di dalam kertas-kertas tua yang menguning, di antara debu-debu masa lalu yang terlupakan. Ini adalah kisah tentang Kiran, seorang kurator museum yang terobsesi dengan masa lalu, dan Bima, seorang jurnalis modern yang selalu mengejar berita terbaru. Mereka adalah dua orang yang hidup di dua dunia yang berbeda. Dunia Kiran adalah dunia yang sunyi dan penuh sejarah, sementara dunia Bima adalah dunia yang bising dan penuh dengan perkembangan. Mereka bertemu saat sebuah kotak tua berisi surat-surat kuno ditemukan. Di dalam kotak itu, mereka tidak hanya menemukan sebuah kisah cinta yang telah lama hilang, tetapi juga sebuah jalan untuk menemukan cinta mereka sendiri. Sebuah kisah tentang menemukan masa depan di dalam jejak-jejak masa lalu.
°°°
Suara ketukan halus pada pintu membangunkan Kiran dari lamunannya. Di dalam ruang kerja museum yang dipenuhi artefak kuno, ia menatap tumpukan buku dan kertas tua di mejanya. Ia adalah kurator yang didedikasikan untuk museum ini. Sejak kecil, Kiran selalu merasa lebih nyaman di antara benda-benda bersejarah daripada di antara manusia. Baginya, setiap artefak memiliki cerita, dan tugasnya adalah menghidupkan kembali cerita-cerita itu.
"Kiran, ada wartawan datang," ucap Ibu Siska, kepala museum, dengan senyum ramah. "Dia ingin meliput penemuan kotak tua yang baru kita dapatkan."
Kiran menghela napas. Ia tidak suka berinteraksi dengan wartawan. Mereka selalu ingin sensasi, bukan cerita. Ia keluar dari ruangannya dan melihat seorang pria muda berdiri di sana, dengan kamera dan tas laptop di bahunya. Pria itu adalah Bima, seorang jurnalis yang dikenal dengan berita-berita investigasi yang tajam.
"Selamat pagi," ucap Bima, mengulurkan tangannya. "Saya Bima dari Harian Kencana. Saya dengar museum ini menemukan sesuatu yang menarik."
Kiran membalas uluran tangan Bima dengan canggung. "Ya, kami menemukan sebuah kotak tua berisi dokumen-dokumen dan surat-surat kuno. Kami belum tahu isinya."
Bima tersenyum, senyumnya begitu cerah hingga membuat Kiran sedikit terkejut. "Kalau begitu, mari kita pecahkan misteri ini bersama."
Bima mengikuti Kiran ke ruang penyimpanan. Di sana, di atas sebuah meja besar, tergeletak sebuah kotak kayu tua yang terlihat rapuh. Bima mengeluarkan kameranya dan mulai mengambil foto. Kiran hanya berdiri di sampingnya, mengamati.
"Kalian tidak membukanya?" tanya Bima, penasaran.
"Kami ingin berhati-hati," jawab Kiran. "Kotak ini sudah sangat tua, kami tidak ingin merusaknya."
Bima mengangguk, mengerti. Ia lalu menatap Kiran. "Kenapa kamu tertarik dengan benda-benda lama ini?"
Kiran terdiam sejenak. Ia tidak pernah menceritakan alasannya pada siapa pun. "Karena... benda-benda ini tidak pernah berbohong. Setiap goresan, setiap noda, menceritakan sebuah kisah yang jujur."
Bima tertegun. Ia menatap Kiran, dan ia menyadari, di balik sikap dinginnya, ada sebuah kerinduan yang mendalam. "Kamu benar," ucapnya. "Terkadang, kebenaran tidak ada di berita yang paling baru, tapi di dalam cerita-cerita yang paling lama."
Mereka berdua lalu bekerja sama membuka kotak itu. Dengan hati-hati, Kiran membuka kunci yang sudah berkarat, dan saat kotak itu terbuka, aroma kertas tua yang khas langsung menyebar ke seluruh ruangan. Di dalamnya, ada tumpukan surat-surat yang terikat dengan pita merah yang sudah pudar.
Bima mengambil sebuah surat, lalu membukanya. Ia mulai membaca, suaranya pelan dan penuh perasaan. Itu adalah sebuah surat cinta dari seorang pria bernama Arjuna, yang ditujukan untuk seorang wanita bernama Ratih. Surat itu penuh dengan janji-janji, dengan kerinduan yang mendalam, dan dengan harapan-harapan yang manis.
Kiran mendengarkan, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seolah-olah ia bisa merasakan semua emosi yang terukir di dalam surat itu. Ia menatap Bima yang sedang membaca, dan ia menyadari, di balik sikap profesionalnya, Bima adalah pria yang sensitif dan penuh perasaan.
Keheningan menyelimuti ruangan. Aroma kertas tua dan wangi teh melati yang dibuatkan Ibu Siska berbaur menjadi satu. Kiran mengambil surat itu, merabanya dengan hati-hati. Di sudut bawah surat, ada sebuah ukiran kecil berbentuk bintang.
"Arjuna... Ratih," gumam Kiran, seolah-olah nama itu memiliki arti khusus.
Bima menatap Kiran. "Siapa mereka, kira-kira?"
Kiran menggeleng. "Tidak ada catatan sejarah tentang mereka. Mereka hanyalah sepasang kekasih biasa yang hidup di masa lalu."
"Kisah mereka indah," ucap Bima. "Surat ini... terasa sangat nyata."
Kiran mengangguk. "Ya. Itulah mengapa aku menyukai sejarah. Di setiap artefak, ada jejak kehidupan yang nyata."
Bima tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya. Ia mengambil foto surat itu, dan mulai mengetik di ponselnya. Kiran menatapnya dengan bingung.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Aku menulis artikel," jawab Bima. "Kisah mereka layak untuk diketahui banyak orang."
Kiran merasa senang, namun juga khawatir. "Jangan terlalu banyak sensasi. Kisah mereka terlalu suci untuk dirusak."
"Tentu," balas Bima. "Aku akan menulisnya dengan hati."
Artikel Bima tentang surat-surat kuno itu menjadi viral. Banyak orang yang terharu dengan kisah cinta Arjuna dan Ratih. Bima dan Kiran pun menjadi sepasang rekan kerja yang tidak terpisahkan. Mereka menghabiskan berhari-hari di ruang penyimpanan, membaca setiap surat, mencoba menyatukan kepingan-kepingan kisah cinta yang telah lama hilang.
Di antara surat-surat itu, mereka menemukan sebuah peta kuno. Peta itu terlihat seperti peta menuju sebuah tempat rahasia. Di bagian bawah peta, ada sebuah petunjuk yang ditulis dalam bahasa kuno, yang berhasil Kiran terjemahkan.
"Ini... peta menuju tempat di mana mereka biasa bertemu," ucap Kiran, suaranya bergetar. "Tempat di mana mereka menyembunyikan... sesuatu."
Bima menatap Kiran, matanya berbinar-binar. "Kita harus ke sana! Ini bisa menjadi berita besar!"
Kiran terdiam. Ia merasa takut. Takut jika ia menemukan sesuatu yang akan merusak keindahan kisah Arjuna dan Ratih. Namun, ia juga merasa penasaran. Ia ingin tahu, apa yang disembunyikan oleh sepasang kekasih itu.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi. Dengan berbekal peta kuno, mereka memulai perjalanan mereka, melintasi hutan yang lebat, menelusuri sungai yang deras, dan mendaki bukit-bukit yang curam. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Pak Harun, seorang sejarawan lokal yang merupakan teman lama Ibu Siska.
"Kalian mencari 'Tempat Bintang Jatuh'?" tanya Pak Harun, matanya berbinar. "Itu adalah tempat yang sakral. Hanya sepasang kekasih yang bisa menemukannya."
Kata-kata Pak Harun membuat Kiran dan Bima terdiam. Mereka saling menatap, merasa ada sesuatu yang aneh.
Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya sampai di sebuah gua kecil yang tersembunyi. Di dalam gua itu, ada sebuah batu besar yang diukir dengan simbol bintang. Dengan hati-hati, Kiran menyentuh ukiran itu, dan sebuah rahasia terungkap. Di balik batu itu, ada sebuah kotak kayu yang jauh lebih besar.
Bima dan Kiran membuka kotak itu. Di dalamnya, ada sebuah buku harian. Buku harian itu berisi catatan harian Arjuna dan Ratih, dari hari pertama mereka bertemu hingga hari terakhir mereka bersama. Buku itu menceritakan tentang perjuangan mereka, tentang bagaimana mereka harus bersembunyi dari keluarga yang tidak merestui, dan tentang janji mereka untuk saling menunggu.
Di halaman terakhir, ada sebuah tulisan tangan Arjuna yang berbunyi: "Mungkin kami tidak bisa bersatu di dunia ini. Tapi kami percaya, di dunia lain, kami akan kembali bertemu. Karena cinta sejati, akan selalu menemukan jalannya."
Air mata Kiran menetes. Ia menatap Bima. Ia melihat Bima juga menangis. Mereka berdua terharu dengan kisah cinta yang begitu tulus.
"Ini... bukan hanya berita besar," ucap Bima, suaranya parau. "Ini... pelajaran."
"Pelajaran tentang apa?" tanya Kiran.
"Pelajaran tentang cinta. Tentang bagaimana cinta bisa mengalahkan segalanya," jawab Bima, lalu ia menatap Kiran. "Tentang bagaimana, terkadang, kita harus berani melangkah, demi cinta yang kita yakini."
Kiran terdiam. Ia menyadari, ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar artefak kuno. Ia telah menemukan cinta. Ia lalu tersenyum, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak takut untuk melangkah.
Epilog
Setelah mereka kembali ke museum, Bima menulis sebuah artikel yang berbeda. Ia tidak lagi menulis tentang sensasi, tetapi tentang keindahan, tentang cinta, dan tentang bagaimana kisah Arjuna dan Ratih mengajarinya untuk berani mencintai. Artikel itu menjadi viral, dan Bima menjadi jurnalis yang dihormati.
Kiran, di sisi lain, tidak lagi hanya menjadi kurator museum. Ia menjadi penulis, menulis buku tentang kisah cinta Arjuna dan Ratih. Buku itu menjadi bestseller, dan Kiran menjadi penulis yang dihormati.
Mereka berdua menikah. Mereka memiliki seorang putri yang mereka namai Bintang. Bintang tumbuh besar di museum, di antara benda-benda kuno yang penuh cerita. Ia adalah perpaduan sempurna dari masa lalu dan masa kini.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di ruang kerja mereka, Bima menatap Kiran. "Kau tahu, Kiran? Aku selalu bertanya-tanya, apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?"
Kiran tersenyum. "Karena kau membuatku percaya, bahwa masa depan bisa sama indahnya dengan masa lalu."
Kisah mereka menjadi bukti, bahwa cinta sejati bukanlah tentang melupakan masa lalu, melainkan tentang menjadikannya sebuah jembatan, yang akan menuntunmu menuju masa depan yang penuh cinta.