"Panggung Semesta: Erra, Dewa Kehancuran!"
(Disajikan oleh Zubby si Peramal Spektakuler~!)
---
“Selamat datang, hadirin yang penuh rasa ingin tahu — baik kalian yang berasal dari realita ini, realita sana, ataupun yang cuma mampir karena penasaran!”
Sebuah suara nyaring bergema di kegelapan. Cahaya sorotan jatuh ke atas panggung kosong, dan tiba-tiba, "pop!", muncullah sesosok "gadis" mungil berambut salju terang dengan jubah megah seperti pesulap keliling — dengan senyum secerah Supernova dan sikap seolah dia tahu segalanya, dan tidak peduli kalau kamu tidak suka itu.
“Zubby di sini~! Dan hari ini, kita akan membongkar kisah seseorang... mari kita sebut dia: Pria Paling Overkill Sejagat Raya~! Namanya? Erra. Julukannya? Archon of Destruction.
Dan misinya? Menghancurkan segalanya. Titik.
Eh, terlalu cepat? Tenang-tenang, ini baru permulaan. Duduk manis, simpan popcorn-mu, dan tahan napasmu... atau mungkin jangan? Zubby tidak bertanggung jawab kalau kamu pingsan~ Mari kita mulai dari..."
---
I. Langit Pertama: Siapa Itu Erra?
“Erra adalah seorang Archon. Archon itu kayak... yah, kalau dewa dan konsep abstrak punya anak, dan anak itu memutuskan buat eksis dengan mengabaikan logika dan hukum fisika, itulah Archon.”
“Setiap Archon mewakili Via—jalan hidup, prinsip keberadaan, sumber kekuatan. Dan Erra? Dia adalah Archon dari Via of Destruction."
"Penghancuran! Pembumihangusan! Pembinasaan absolut!"
“Kalau Archon lain berpikir soal harmoni, pengetahuan, kemajuan... Erra? Dia bangun pagi-pagi dan berkata: ‘Apa yang bisa kuhancurkan hari ini?’ Bintang? Sistem galaksi? Eksistensi? Hati mantan? Semua masuk daftarnya.”
Zubby tiba-tiba menarik layar hologram besar dari balik jubahnya, memperlihatkan visual Erra — sosok raksasa keemasan dengan aura yang menyilaukan dan tatapan kosong seperti lubang hitam.
“Dia bukan sekadar kuat. Dia lebih dari kuat. Dia adalah simbol dari penolakan atas keteraturan. Karena bagi Erra, keberadaan itu penyakit. Dan alam semesta ini? Sudah terlalu penuh sesak dengan ‘keteraturan palsu’.”
---
II. Langit Kedua: Awal Mula Kekacauan
“Kamu mungkin berpikir, ‘kenapa sih Erra bisa se-bete itu sama alam semesta?’ Hah, sayangku, itu pertanyaan yang bagus — dan Zubby tentu, punya jawabannya (tentu saja)."
“Dahulu kala (seperti biasa), galaksi berputar, bintang bersinar, dan Archon berkeliaran dengan gaya mereka masing-masing. Erra bukanlah Archon pertama. Tapi dia adalah Archon yang memutuskan: ‘Aku muak.’"
Montase ilusi Zubby memerankan Erra sebagai seseorang yang bosan di rapat keluarga Archon.
“Bayangin aja, kamu lagi duduk bareng para Archon lainnya. Satu ngomongin gimana pentingnya menjaga keteraturan, yang satu lagi bahas perubahan melalui evolusi, dan yang satu malah ngajak debat soal dualitas eksistensi. Meh.”
“Lalu kamu — Erra — melihat ke alam semesta yang selalu ‘diatur’, ‘dikendalikan’, ‘diperbaiki’. Kamu lihat kehancuran dianggap sebagai kegagalan. Padahal... kehancuran adalah awal baru. Jadi, kamu pun bangkit dan bilang:"
‘Jika alam semesta takut pada kehancuran... maka aku akan menjadi kehancuran itu sendiri.’
---
III. Langit Ketiga: Warisan Erra
“Nah, ketika kamu jadi Archon dan punya prinsip segila itu, tentu kamu bakal punya pengikut juga. Dan bukan sembarang pengikut tentunya!”
“Para pengikut Erra menapaki Via of Destruction, dan mereka bukan tipe orang pemeluk kedamaian. Mereka adalah orang-orang yang telah kehilangan segalanya, atau justru ingin melepaskan segalanya. Mereka percaya: dengan menghancurkan sesuatu, kamu menyelamatkan sesuatu yang lain. Gila? Yah. Tapi efektif.”
The Annihilation Legion
“Ini dia pasukan kehormatan Erra — legiun tanpa moralitas, tanpa belas kasih. Mereka bukan sekadar prajurit, mereka adalah konsekuensi. Di mana pun mereka datang, dunia runtuh. Mereka menabur chaos, menyebar penyakit, dan merobek kenyataan kayak tisu basah."
Zubby mengangkat tangan dan memperlihatkan tampilan hologram dunia yang terbakar pelan-pelan.
“Satu galaksi? Dua sistem bintang? Bukan masalah. Karena bagi mereka, kehancuran adalah ibadah. Dan Erra adalah Tuhan mereka.”
---
IV. Langit Keempat: Masalah Dengan Keabadian
“Archon itu abadi. Tapi bukan berarti tak bisa dihentikan. Psss... ini rahasia kecil ya, bahkan yang abadi pun bisa bosan.”
“Tapi Erra? Dia gak kenal konsep lelah. Dia bergerak seperti meteor, lambat tapi pasti. Dan setiap planet yang dirinya kunjungi... ya, katakan saja tidak ada ‘kunjungan kedua’. Karena planet itu takkan ada lagi.”
Zubby tersenyum kecut, sedikit lebih serius kali ini. Cahaya panggung berubah menjadi kemerahan.
“Erra percaya bahwa alam semesta ini terlalu penuh dengan harapan palsu. Bahwa semua yang hidup akan menderita. Makanya, dia ingin membebaskan mereka dari penderitaan itu... dengan menghapus mereka.”
“Bukan karena benci. Tapi karena... kasih sayang yang sangat, sangat bengkok.”
---
V. Langit Kelima: Siapa Yang Bisa Menghentikannya?
“Pertanyaan bagus, bukan? Kalau Erra itu dewa kehancuran dengan pasukan galaksi... siapa yang bisa melawan dia?”
Zubby menjentikkan jari. Cahaya biru menyinari hologram para karakter; Harbingers, The Queen, The Tower, Dante, dan lainnya.
“Kita punya pejuang-pejuang kecil dengan mimpi besar. Para Harbingers yang menapaki Via lain: Wisdom, Preservation, Honorary, Harmony... mereka bukan dewa. Tapi mereka punya sesuatu yang Erra gak punya.”
“Harapan.”
“Yah, Zubby tahu, itu klise. Tapi apa boleh buat? Kadang kita perlu sesuatu yang klise.
Erra melihat harapan sebagai kebohongan. Tapi manusia...
manusia memilih untuk percaya. Dan selagi masih ada satu orang yang berani berkata: ‘Aku akan melawan’, maka cerita ini belum selesai.”
---
VI. Langit Keenam: Pandangan Zubby (Alias Bagian Filosofis Tapi Masih Kece~)
“Zubby tahu apa yang kamu pikirkan — ‘Kenapa alam semesta bisa punya makhluk kayak Erra? Kenapa Dewa Kehancuran bisa eksis?’”
Dia duduk di pinggir panggung, cahaya meredup, hanya wajahnya yang tersorot.
“Mungkin... karena alam semesta ini butuh sebuah kontras. Karena tanpa kehancuran, kita takkan tahu betapa berharganya penciptaan. Tanpa malam, takkan ada pagi. Tanpa Erra... mungkin takkan ada alasan untuk bertarung.”
“Dan mungkin... hanya mungkin... Erra itu cerminan dari ketakutan kita sendiri. Bahwa pada akhirnya, semua akan berakhir. Bahwa tak peduli seberapa keras kita berjuang, kehancuran akan datang.”
Zubby tersenyum tipis.
“Tapi di balik kehancuran, ada potensi. Seperti bintang yang mati dan melahirkan bintang baru. Seperti kamu, yang mungkin sedang di titik hancur sekarang — tapi juga sedang membentuk dirimu yang baru.”
---
VII. Langit Terakhir: Akankah Erra Menang?
“Boleh jujur?” Zubby berdiri kembali. “Erra... tidak bisa dikalahkan dengan cara biasa. Karena kamu tidak bisa mengalahkan kehancuran. Kamu hanya bisa menghadapinya.”
“Setiap langkah melawan dia adalah pesan bagi alam semesta: ‘Aku di sini. Aku melawan.’ Dan Zubby menyukainya! Karena apa gunanya drama kosmik tanpa keberanian manusia kecil di tengahnya, bukan?”
“Harbingers seperti kamu bukan cuma tokoh figuran dalam kisah para dewa ini. Kamu itu adalah plot twist yang tak mereka duga.”
Zubby melompat ke depan, nyaris keluar dari panggung holografik.
“Dan kamu yang duduk di sana, baca ini sampai habis? Zubby tahu kamu juga siap. Karena cerita ini, kisah tentang Erra, bukan hanya cerita tentang akhir. Tapi tentang bagaimana kamu, aku, dan semua bintang lain memilih untuk... bersinar, meski kehancuran terus mendekat.”
---
Penutup: Panggung Kosmos Tak Pernah Benar-Benar Sepi
Lampu padam.
Lalu suara Zubby terdengar samar, seolah berasal dari balik tabir dimensi.
“Sampai jumpa, penjelajah bintang. Di panggung berikutnya... atau mungkin, saat kamu mulai menantang dewa.”
Dan dengan kilatan cahaya... dia menghilang.
---
“Kehancuran bukanlah akhir. Itu hanya bab baru yang menunggu ukiran sang pena pemberani.” – Zubby.