Langit sore itu berwarna jingga, seolah mengerti bahwa aku sedang menunggu seseorang yang dulu selalu datang di bawah langit yang sama—dengan senyum dan mata yang teduh.
Aku duduk di beranda rumah tua peninggalan ibu, rumah kecil penuh kenangan, tempat segalanya bermula.
“Ma, kenapa Papa nggak pernah datang lagi?” tanya Lulu, anak semata wayangku yang baru berusia 7 tahun.
Aku menelan ludah, mencoba tersenyum. “Papa sedang kerja jauh. Tapi Mama yakin, dia selalu sayang sama Lulu.”
Anak itu mengangguk pelan. Ia duduk di pangkuanku, memeluk boneka kelincinya yang sudah agak pudar warnanya.
---
Empat tahun lalu, kami masih lengkap. Aku, Ciko, dan bayi kecil yang baru belajar memanggil “Mama” dan “Papa”.
Kami tak sempurna, tapi kami saling mencintai. Ciko, lelaki yang jatuh cinta padaku sejak bangku kuliah, rela membanting tulang sebagai pengajar les privat demi menafkahi kami. Kami memutuskan menikah muda, dengan modal nekat dan doa yang tak pernah putus.
Tapi cinta kadang diuji di tempat paling rapuh: di rumah sendiri.
Pekerjaan yang tak kunjung stabil, tekanan keluarga besar, dan luka kecil yang tak kunjung dibicarakan—semuanya menumpuk dan menjauhkan kami. Sampai akhirnya, Ciko pergi. Bukan dengan orang lain, tapi dengan luka yang terlalu diam untuk disembuhkan.
---
Hari ini, aku tidak menunggu siapa-siapa. Aku hanya duduk, menatap langit, dan berdoa agar senja membawanya pulang—atau setidaknya membawakan kabar, bahwa dia baik-baik saja.
“Ma…” suara Lulu pelan, “Ada orang… mirip Papa…”
Aku menoleh.
Dan di depan pagar rumah itu, berdiri seseorang yang kukenal betul. Rambutnya sedikit beruban, matanya masih teduh seperti dulu. Tapi kini, ada keraguan di wajahnya.
“Ciko…” aku berdiri.
Ia menunduk. “Boleh aku masuk? Hanya sebentar.”
Kami duduk berhadapan, ditemani teh hangat dan suara jangkrik yang mulai muncul.
“Aku cuma mau lihat Lulu… dan… bilang terima kasih.” katanya pelan.
“Terima kasih untuk apa?”
“Karena kau kuat. Karena kau bertahan. Karena kau menjaga rumah ini, dan anak kita, tanpa pernah membenciku.”
Aku menatap matanya. Dalam diam, aku ingin menangis. Tapi aku memilih tersenyum.
“Lulu nanya tentangmu setiap malam. Tapi aku nggak pernah bohong. Aku cuma bilang, kamu sayang dia. Dan aku yakin kamu masih.”
Ciko mengangguk. Ia menatap ke arah Lulu yang sedang mencoret-coret buku gambar di lantai.
“Boleh aku… mulai lagi dari awal?” tanyanya lirih.
Hatiku bergetar. Ini bukan tentang cinta yang manis seperti di novel. Ini tentang rumah yang pernah retak dan seseorang yang berani kembali memperbaikinya—meski telat.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak janji semua akan sama. Tapi kalau kamu sungguh mau belajar dari awal…”
Ciko menggenggam tanganku, “Aku mau. Bukan hanya karena kamu. Tapi karena kita.”
---
Bagian 2: "Sarapan yang Kaku dan Kacau"
Esok paginya, aroma telur dadar dan roti bakar menyelimuti dapur kecil kami. Lulu duduk di kursinya sambil memeluk kelinci boneka kesayangannya, si Cimol. Di hadapannya ada sepiring roti isi selai stroberi yang sudah dijilat satu sisi—kebiasaan aneh yang selalu bikin aku geleng-geleng.
Seseorang masuk ke dapur dengan langkah canggung.
“Pagi…” suara itu terdengar pelan. Ciko berdiri di ambang pintu, masih dengan hoodie warna mustard yang kusam tapi entah kenapa tetap berhasil bikin aku senyum sendiri.
Lulu melirik ke arahku, lalu ke Ciko. “Papa bisa masak telur ceplok? Tapi jangan gosong kayak Mama.”
Aku terkesiap. “Lulu!”
Ciko malah tertawa. “Dulu waktu Mama kamu lagi ngambek, dia juga pernah bakar air.”
“Lah?! Air kok bisa dibakar?” Lulu membelalakkan mata.
Aku pura-pura mengaduk teh. “Itu air bekas masak mi instan, kebetulan kompornya rusak…”
Kami bertiga tertawa. Suara yang lama hilang dari dapur itu akhirnya kembali.
---
Setelah sarapan, Ciko duduk di ruang tamu sambil membantu Lulu menggambar. Aku mengintip dari dapur, mendengar potongan percakapan aneh mereka.
“Papa, kamu dulu bisa gambar gajah pakai angka 2?”
“Gajah? Pakai angka 2? Wah… Papa dulu cuma bisa gambar stickman.”
“Kasian.”
Aku hampir tersedak air.
---
Malamnya, setelah Lulu tidur, aku dan Ciko duduk di beranda. Sunyi, tapi bukan canggung. Kami hanya butuh waktu.
“Aku tahu aku belum pantas langsung minta kembali,” katanya, menatap ke langit. “Tapi aku pingin mulai dari jadi ayah dulu. Yang datang tiap minggu, bawa bekal, dengerin cerita Lulu, dan… kalau kamu izinkan, bantuin belanja bulanan.”
Aku nyengir. “Asal kamu nggak beli mi instan 30 bungkus sekaligus, boleh lah.”
Ciko ketawa. Lalu mendadak serius.
“Dulu aku takut. Takut jadi suami gagal. Takut ngeliat kamu kecewa tiap bulan. Tapi sekarang, aku lebih takut kalau Lulu tumbuh tanpa tahu gimana rasanya punya ayah yang hadir.”
Aku menunduk. Rasa marah, rindu, sayang, dan nyeri bercampur jadi satu. Tapi malam ini, aku tidak ingin menuntaskan semuanya.
Aku hanya ingin percaya, bahwa seperti senja yang selalu kembali, cinta juga bisa pulang—walau jalannya pelan.
---
Bagian 3: "Papa Baru, Drama Lama"
Sudah seminggu Ciko rutin datang tiap pagi Sabtu. Tidak tinggal di rumah, tapi cukup sering untuk mulai bikin tetangga julid menatap dari balik tirai sambil bisik-bisik, “Itu mantan suaminya si Nara, ya? Ih, sekarang gantengannya naik, ya?”
Ya. Aku, Nara—ibu dari Lulu, dan mantan istri dari Ciko si cowok hoodie mustard yang sekarang entah kenapa jadi lebih rajin bawa tas belanja reusable ke warung.
---
Pagi ini, Ciko datang sambil menenteng dua kantong. Satu berisi roti gandum, satu lagi... brokoli.
“Buat apa kamu bawa brokoli?” tanyaku curiga.
“Katanya Lulu mau jadi kelinci sehat di pentas drama sekolah.”
“Terus?”
“Terus Papa-nya mau bantu latihan. Kita masak sop brokoli biar dia masuk peran.”
Lulu muncul dari kamar, memakai kostum kelinci dengan telinga yang jatuh sebelah. “Papa, aku jadi Presiden Kelinci. Aku harus bisa pidato sambil kunyah wortel.”
---
30 Menit Kemudian...
Dapur seperti kapal pecah. Ada brokoli di lantai, wortel mentah di wastafel, dan Ciko nangis gara-gara kecipratan bawang merah.
“Aku... nyerah... kenapa bawang masih jahat kayak dulu?” Ciko meringis sambil kipas-kipas mata pakai buku Lulu.
“Karena kamu selalu motongnya sambil curhat,” kataku sambil ngakak.
Lulu berdiri di kursi sambil berpidato, “Rakyat Kelinci sekalian, kita harus makan sayur agar bulu kita kinclong dan gigi kita makin kuat!”
Aku dan Ciko tepuk tangan. Jujur, ini salah satu Sabtu paling absurd tapi paling hangat yang pernah kami lewati.
---
Malamnya,
Aku dan Ciko duduk di beranda lagi. Langit cerah. Lulu sudah tertidur dengan kostum kelinci masih dipakai. Cimol, bonekanya, tidur di sebelahnya seperti asisten pribadi presiden.
Ciko menyentuh gelas tehnya yang mulai dingin. “Aku nggak tahu hubungan ini akan ke mana, Nar.”
Aku menatapnya. “Aku juga. Tapi kalau kamu mau mulai dari temani Lulu, itu sudah cukup buat sekarang.”
Dia tersenyum kecil. “Aku juga nggak mau buru-buru. Tapi… kamu tahu nggak? Aku suka hari ini.”
Aku mengangguk. “Aku juga.”
---
Bagian 4: “Joget Balon dan Pertanyaan Jebakan”
Hari Minggu datang dengan suara toa mushola yang terlalu semangat, dan grup WA RT yang mendadak heboh:
> Bu Tini RT 03: “Bapak2 dan ibu2 harap hadir arisan jam 9, ada lomba joget balon! Jangan ngumpet ya! 😆🎈”
Aku menatap ponsel sambil menyendok nasi untuk Lulu.
“Cik, kamu ikut arisan RT nggak?” tanyaku setengah menggoda.
Ciko yang lagi memotong semangka nyaris menjatuhkan pisaunya. “Joget? Di depan warga? Yang ada saya diculik balik ke masa SMA.”
“Aku daftarin ya.”
“Nara… kamu tega.”
Lulu tertawa sambil berkata, “Aku pengen lihat Papa joget! Joget kayak TikTok ya Pa, yang putar-putar sambil loncat-loncat!”
---
Jam 9:30 WIB
Lapangan kecil di tengah kompleks mulai ramai. Ibu-ibu pakai daster mewah. Bapak-bapak berusaha terlihat santai padahal takut dipanggil maju.
Ketika namanya disebut, Ciko hanya mengelus wajah. “Ya Allah, ini ujian hidup.”
Lawan joget balonnya? Pak Danu, Ketua RW yang punya perut seperti guling dan gerakan seperti robot lemot.
Permainan dimulai. Balon ditaruh di dahi. Musik diputar: “Goyang Dua Jari”.
Lulu teriak, “Ayo Pa! Goyangin balonmu!”
Aku ngakak sampai sakit perut.
Ciko, sambil berusaha menjaga harga diri dan keseimbangan balon, entah kenapa malah mirip burung bangau sedang kedinginan. Tapi… dia menang. Pak RW terjatuh karena teriak terlalu semangat, “YAKIN NIH???”
---
Sore harinya, di rumah, suasana mulai tenang. Lulu duduk di karpet sambil menggambar Presiden Kelinci naik pesawat berbentuk wortel. Aku dan Ciko duduk di sofa, masih ngelap keringat dan tertawa-tawa soal arisan.
Lalu, tiba-tiba...
“Pa…”
“Hmm?”
“Kalau Papa sering ke sini… kenapa Papa nggak tidur di sini kayak dulu?”
Ciko terdiam. Aku pun ikut membeku.
Lulu menatapnya, polos tapi serius. “Kamu berantem ya? Apa Papa dulu pernah bikin Mama sedih banget?”
Aku menelan ludah. Ini bukan pertanyaan dari anak biasa. Ini jebakan psikologis rasa vanilla strawberry marshmallow.
Ciko menarik napas, lalu duduk lebih dekat.
“Papa dulu pernah nggak bisa jadi Papa dan suami yang baik, Lulu. Tapi Papa nggak pernah berhenti sayang sama kamu dan Mama.”
“Hmm…” Lulu mengangguk. “Kalau Papa mau tidur di rumah lagi… Mama harus setuju, ya?”
Aku dan Ciko saling pandang. Waktu berhenti sejenak.
“Aku sih bolehin,” kata Lulu cuek. “Asal Papa nggak ngorok.”
---
Malam itu, aku dan Ciko duduk di beranda lagi, seperti dua orang asing yang mengenal terlalu dalam.
“Aku nggak mau Lulu hidup dalam pertanyaan,” ucapku.
Ciko menatap langit. “Aku juga. Tapi aku juga nggak mau buru-buru ngisi ruang yang belum selesai.”
Aku mengangguk.
Mungkin belum waktunya berkata ‘kembali’. Tapi sudah waktunya berkata: ‘aku ada di sini’.
---
Bagian 5: "Guru Seni dan Cemburu yang Tak Diakui"
Hari Senin pagi, rumah kecil kami seperti pangkalan ojek dadakan. Lulu berdiri di depan pintu dengan rambut dikuncir miring—hasil eksperimen Papa barunya yang mengaku “pernah bantuin adik dulu.” Hasilnya? Simpul karet yang miring 37 derajat ke barat daya.
“Aku cantik kayak kucing hutan, kan, Ma?” tanya Lulu sambil nyengir.
“Cantik banget, Sayang. Tapi kucing hutannya lagi habis tabrakan kayaknya.” kataku sambil rapiin kuncirnya.
---
Ciko kini rutin ngantar Lulu ke sekolah. Katanya, “Mumpung kerjaan bisa remote, dan… aku juga lagi nyari waktu bareng Lulu.”
Jujur, aku senang. Tapi juga… takut. Takut nyaman. Takut berharap.
Hari itu, aku iseng ikut ke sekolah. Katanya ada rapat wali murid. Dan di situlah semua kekonyolan dimulai.
---
Ruang Aula SD Harapan Cita
Seorang wanita berdiri di depan papan tulis. Rambut pendek rapi, pakai blouse warna lavender, dan sepatu yang kalau dilihat kayak mahal tapi nyaman. Namanya?
Bu Vira. Guru Seni.
Juga... mantan gebetan Ciko waktu kuliah.
Mataku langsung melirik Ciko.
Ciko menunduk. Gigit bibir bawah. Bahaya.
---
“Selamat pagi, Ayah dan Bunda. Saya Bu Vira, wali kelas Lulu dan juga pengampu seni. Kami sedang persiapkan pentas drama akhir semester dan…”
Aku berhenti mendengar ketika melihat Bu Vira menyebut nama Ciko.
“Wah, ternyata Ayah Lulu dulu teman sekelas saya. Dulu dia jago bikin puisi lho, teman-teman.”
TEMAN-TEMAN?!
Ciko senyum tipis. “Dulu saya juga jago kabur pas disuruh tampil,” jawabnya cepat.
Beberapa ibu-ibu tertawa. Salah satu dari mereka bisik ke temannya, “Yang mana sih itu? Lumayan ya…”
Aku yang duduk dua kursi di belakang Ciko hampir lempar notes.
---
Selesai rapat,
Bu Vira menghampiri kami. “Nara, ya? Kamu istrinya Ciko?”
Aku mengangguk. Mantan, tepatnya. Tapi aku nggak bilang.
“Saya senang banget bisa jadi wali Lulu. Dia unik banget. Pidatonya tentang ‘Kelinci Anti Hoaks’ tuh... aduh, satir banget buat anak umur tujuh.”
Kami tertawa kaku. Ciko pamit duluan karena katanya “motor kena tilang parkir” — padahal bawa motor listrik, dan parkirnya legal.
---
Di perjalanan pulang, aku diam. Tapi dalam hatiku: Kenapa ada sensasi panas di tengkuk saat dengar “Ciko dan puisi” dari mulut wanita rapi itu?
Dan Ciko, tentu merasa.
“Maaf ya, kalau tadi... kayak gimana gitu,” katanya sambil nyetir.
Aku tetap diam.
“Aku nggak pernah ada apa-apa sama dia. Dulu juga nggak berani ngomong. Jadi cuma sekedar ‘mantan naksir’ aja.”
“Ciko.”
“Hah?”
“Kunciran Lulu besok, kamu latihan lagi ya. Kasihan telinga anak orang bisa ketarik permanen.”
---
Malamnya, di beranda, kami duduk lagi. Kini aku membawa dua gelas teh dan… satu ikat karet rambut.
“Aku nggak cemburu, kok,” kataku sambil menyeruput teh.
Ciko senyum, “Aku juga nggak ngarep kamu cemburu. Tapi kalau kamu cemburu dikit, aku seneng.”
“Ngimpi. Fokus ngelurusin kunciran dulu, Pa.”
Kami tertawa. Dan malam itu, tak ada bintang. Tapi ada pelan-pelan yang tumbuh lagi—rasa yang sederhana, hangat, dan mulai berakar.
---
Bagian 6: “Tidur di Tengah-Tengah”
Hari itu, Lulu pulang sekolah dengan wajah merah padam dan tubuh lemas. Biasanya dia langsung nyerocos soal “kelinci berpidato” atau “tempe yang mirip dinosaurus,” tapi kali ini hanya berkata pelan, “Ma… aku pusing.”
Aku panik.
Termometer menunjukkan angka 38.7°C. Dan dalam hitungan satu jam, Lulu menggigil sambil memeluk boneka Cimol yang basah oleh keringatnya.
Tanpa pikir panjang, aku telepon Ciko.
---
30 menit kemudian...
Ciko sudah duduk di lantai kamar, memegangi tangan Lulu sambil mengipasi pelan. Rambutnya berantakan. Jaketnya terbalik. Tapi matanya penuh kecemasan.
“Maafin aku telat.”
Aku geleng pelan. “Kamu datang. Itu yang penting.”
Lulu terlelap, sesekali mengigau. “Papa… jangan pergi lagi ya… Jangan jauh…”
Kami saling pandang. Ada yang meremas hatiku. Ciko memalingkan wajah, matanya berkaca-kaca.
“Gimana aku bisa nebus itu semua, Nar…”
Aku tak menjawab. Tapi aku mengambil bantal kecil dan meletakkannya di samping Lulu. Lalu berkata, “Tidur di sini aja malam ini. Lulu butuh kamu. Tapi, aku juga nggak bisa jawab kamu hari ini.”
---
Pukul 2 dini hari.
Lulu masih tidur dengan wajah pucat, tapi demamnya mulai turun. Tangannya menggenggam jari kami berdua—aku di sisi kanan, Ciko di kiri.
Dan di tengah-tengah kami, anak kecil dengan mimpi yang entah sedang bertemu siapa.
Pelan-pelan, Ciko bicara. Suaranya nyaris berbisik.
“Dulu aku pikir, pergi itu cara dewasa buat nggak saling menyakiti. Tapi ternyata... pergi justru cara paling gampang untuk kabur dari hal yang layak diperjuangkan.”
Aku menoleh ke arahnya. Matanya menatap langit-langit.
“Aku nggak minta kamu balikan. Aku cuma minta waktu. Untuk buktiin kalau yang pulang itu nggak akan pergi dua kali.”
Aku tak sanggup menjawab. Tapi aku genggam tangan Lulu erat, dan secara tak sadar... jari-jariku menyentuh tangan Ciko.
Sekilas, terasa seperti dulu lagi. Tapi juga… seperti baru.
---
Esok paginya, Lulu sudah jauh lebih segar. Minta bubur ayam dua mangkok. Dan kembali jadi Presiden Kelinci yang cerewet.
“Papa tidur ngorok ya? Aku mimpi ada traktor lewat kamar.”
Aku dan Ciko saling pandang. Lalu tertawa. “Bukan traktor, itu Papa sayang.”
---
Bagian 7: “Surat dari Lemari Tua”
Hujan turun sore itu, pelan tapi pasti. Aroma tanah basah menyeruak dari celah jendela. Lulu sedang tidur siang setelah kelas daring. Di ruang tamu, Ciko sibuk memperbaiki laci meja tua yang sudah lama ngadat—lemari warisan dari almarhumah Ibu.
“Aku nggak ngerti mekanisme rel laci begini…” gerutunya sambil nyoba buka paksa dengan sendok kayu.
KRAAAK—
Laci terbuka. Dan di dalamnya, ada sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya: amplop kuning tua, bertuliskan tanganku sendiri—dulu waktu masih SMA, saat iseng belajar kaligrafi di depan TV.
Tulisan di amplop itu:
> Untuk Nara.
Dari Mama, kalau kamu udah jadi ibu.
Tanganku gemetar saat membukanya.
---
Isinya:
> Nara sayang,
Kalau kamu sudah jadi ibu, pasti banyak hari kamu merasa lelah. Lelah secara fisik, dan juga perasaan.
Mungkin suatu hari kamu akan merasa kecewa pada seseorang yang kamu cintai. Atau mungkin... kamu sendiri akan mengecewakan orang lain.
Tapi ingatlah, menjadi dewasa bukan tentang tahu semua jawaban. Tapi tentang terus memilih untuk hadir, untuk tetap tinggal, meski rasanya ingin pergi.
Dan soal cinta…
Jangan takut mencintai lagi, kalau hatimu tahu dia pantas pulang.
Mama tahu kamu keras kepala. Tapi kamu juga punya hati yang paling hangat.
Jangan simpan hangat itu sendiri.
—Mama
Aku menangis. Pelan, dalam, tanpa suara.
Ciko menatapku dari kejauhan, masih memegang rel laci di tangan. “Nar… kenapa?”
Aku hanya mengangkat surat itu, menatapnya, lalu berkata pelan, “Mama ninggalin ini buat aku… buat sekarang…”
---
Malamnya, setelah Lulu tidur, aku dan Ciko duduk di dapur. Teh sudah dingin, tapi obrolan malam itu justru hangat luar biasa.
“Kalau Mama kamu bilang aku pantas pulang… kamu percaya nggak?”
Aku terdiam lama. Lalu berkata, “Aku percaya, tapi dengan syarat.”
Ciko tegak duduk. “Apa?”
“Besok kamu bawa aku makan mi ayam langganan kita dulu waktu kuliah. Terus cerita semua hal yang nggak pernah kamu cerita. Kenapa kamu ninggalin aku waktu itu. Bukan versi hemat kata-kata. Aku mau tahu semuanya.”
Ciko mengangguk, pelan. “Kalau kamu siap dengerin, aku akan buka semuanya.”
---
Keesokan harinya,
Kami duduk berdua di warung mi ayam langganan lama. Lulu lagi sekolah, dan warung itu sepi, hanya ada angin sore dan suara motor sesekali lewat.
Ciko mulai bercerita: tentang tekanan yang dia rasakan dulu. Tentang rasa rendah diri yang membuatnya yakin bahwa pergi lebih baik daripada jadi beban. Tentang bagaimana ia menangis sendirian di indekos sambil mendengarkan voice note Lulu waktu masih cadel bilang, “I love you, Papa.”
Aku mendengarkan. Tak memotong. Tak menangis. Hanya menyimak, dan merasa… ini mungkin kali pertama aku benar-benar mendengar Ciko dari dalam.
Dan saat mi ayam kami tinggal setengah, aku bertanya, “Sekarang kamu yakin bisa jadi suami lagi? Bukan cuma ayah yang hebat?”
Ciko menggenggam tanganku. Hangat, gemetar, tapi penuh niat.
“Kalau kamu mau… aku nggak akan pergi ke mana-mana lagi. Bahkan kalau kamu nyuruh aku cuci piring sambil nyanyi lagu dangdut.”
---
Bagian 8: “Kontrak Damai dan Lomba Masak Berujung Chaos”
Pagi itu, Lulu bangun dengan semangat berlebihan. Ia membawa kertas lipat warna pink yang sudah dilukis hati besar-besar dan coretan spidol warna-warni. Di atasnya tertulis:
> "KONTRAK PERJANJIAN DAMAI ORANGTUA PRESIDEN LULU"
(Dibuat oleh: Lulu & Cimol)
Kami berdua, aku dan Ciko, hanya bisa menatap kertas itu dengan ekspresi bingung dan geli.
“Jadi gini,” kata Lulu sambil berdiri di atas kursi (padahal sudah dibilangin jangan), “Kalau Papa dan Mama mau balikan jadi tim… kalian harus lolos UJIAN KELUARGA!”
Ciko mengangkat alis. “Ujian apa ini, Bu Guru?”
“Lomba masak keluarga sekompleks! Hari Minggu! Tema: makanan nostalgia!”
Aku langsung menunduk. “Lulu... Mama itu masak nasi aja kadang gosong.”
Ciko menambahkan, “Papa juga cuma bisa goreng telur. Itu pun hasilnya kayak alas sandal.”
“Tapi kalian bisa belajar, kan? Demi jadi pasangan keren kayak di film-film Disney?” Lulu melipat tangan. “Kalau kalian kalah, rambutnya dicat warna pink glitter sama aku.”
Aku dan Ciko saling pandang. “Ya Allah...”
---
Hari Minggu tiba.
Kompleks kami riuh. Warna-warni tenda, aroma dapur dadakan, dan tawa anak-anak yang lari-larian. Di atas panggung kecil, Bu Tini sudah siap dengan mikrofon.
> “Selamat datang di Lomba Masak Keluarga Sejahtera RT 03!
Kali ini, pasangan yang sedang ‘ujicoba balikan’ yaitu...
Ciko & Naraaaaaa!”
Tepuk tangan, dan beberapa ibu-ibu berbisik, “Itu loh yang dulunya pisah tapi sekarang manis-manis lagi.” 🙄
---
Kami memasak… nasi goreng kecap legendaris — makanan pertama yang pernah Ciko buat untukku dulu waktu pacaran. Bahannya sederhana. Rasanya... masih misteri.
“Cik, kamu yakin ini aman dimakan?” bisikku sambil mencium aroma gosong tipis.
“Asal juri nggak punya trauma masa kecil soal arang, harusnya lolos.”
---
Sementara itu, Lulu mondar-mandir seperti chef bintang lima.
“Papa, tambahin irisan timun! Mama, plating jangan kayak mi instan musuhan!”
Kami hanya bisa nurut. Rasanya seperti ikut MasterChef edisi Didikte Anak Kecil Berumur 7 Tahun.
---
Penjurian dimulai.
Juri pertama mencicipi dengan ekspresi sulit ditebak. Juri kedua manggut-manggut. Juri ketiga—Pak RW—berkata, “Hmm… unik ya. Ada sensasi crunchy yang… tidak sengaja.”
Akhirnya, diumumkan...
“Juara Harapan 2: Keluarga Luluuuu!”
Kami tidak menang. Tapi kami juga tidak kalah.
Lulu tampak kecewa. “Aku gagal bikin Mama dan Papa jadi juara cinta.”
Aku jongkok di hadapannya. “Sayang... juara cinta itu bukan dari lomba masak.”
Ciko menambahkan, “Juara cinta itu... dari belajar bareng. Gagal bareng. Tapi nggak ninggalin bareng-bareng juga.”
Lulu mengangguk pelan. “Oke. Tapi kalian tetap harus kena sanksi kecil.”
---
Malamnya,
Aku dan Ciko duduk berdua di teras. Rambut kami... disemprot hairspray pink glitter oleh Lulu. Hasilnya? Kami mirip backing vokal penyanyi dangdut 90-an.
Kami tertawa.
“Kalau rambutku pink tiap minggu, kamu masih mau barengan?” tanyaku.
Ciko menatapku. “Kalau tiap minggu kayak gini, aku malah takut kehilangan.”
Kami diam sebentar.
Lalu, dalam pelan, aku berkata, “Cik… kalau aku belajar pelan-pelan percaya lagi, kamu janji nggak kabur?”
Dia menjawab tanpa ragu, “Kalau kamu jatuh, aku akan duduk di sampingmu sampai kamu kuat berdiri lagi.”
---
Bagian 9: “Cincin, Taman Kelinci, dan Rencana Bocor”
Sudah beberapa hari ini, Ciko bersikap agak aneh. Lebih rajin nyapu halaman, sering minta antar ke minimarket yang jaraknya jauh banget padahal cuma beli sabun, dan yang paling mencurigakan: dia nyimpen dompet di kaus kaki lemari.
“Ciko, kamu nyembunyiin utang atau utangin rahasia?” tanyaku suatu malam.
Dia cuma nyengir. “Rahasia negara. Nggak boleh bocor ke ibu negara.”
---
Tapi aku lupa... Ciko tinggal serumah dengan bocah pengintai level dewa bernama Lulu.
Siang itu, Lulu membuka lemari baju Ciko buat ambil kaus untuk tidur siang bareng. Tapi matanya justru tertuju ke dalam kaus kaki abu-abu bolong sebelah.
Dan di dalamnya… kotak cincin kecil warna maroon.
Lulu membuka perlahan, mata membesar. Isinya: sebuah cincin dengan ukiran kecil bertuliskan “Kita Pulang.”
---
Malamnya, di ruang tamu...
“Papa…” Lulu datang dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Hm?”
“Kenapa kamu nyimpen kotak mainan Mama di kaus kaki jelek?”
Ciko panik. “Lulu… itu bukan mainan… dan—dan kamu nggak boleh bilang ke Mama ya!”
“Aku diem... asal Papa nurut.”
Ciko menyipitkan mata. “Nurut apa?”
“Lamar Mama di taman kelinci. Jangan di warung mi ayam! Itu tempat trauma Papa masak mi gosong!”
Ciko pegang kepala. “Ya Tuhan, aku diperas sama anak sendiri.”
---
Tiga hari kemudian...
Aku diajak jalan sore ke taman belakang rumah RW. Katanya, “cuma mau ngajak Lulu lihat kelinci.”
Tapi aku curiga. Ciko pakai jaket kulit favoritnya (yang biasanya cuma dipakai kalau ketemu dosen), dan Lulu pakai dress warna putih yang dia sebut “baju presiden putri”.
Sesampainya di taman, aku langsung curiga ada yang aneh. Ada karpet piknik. Ada tulisan dari daun kering yang membentuk: “WILL YOU COME HOME… AGAIN?”
Dan di tengah taman kecil itu, Ciko berlutut.
---
“Dulu, aku pergi karena merasa nggak cukup.”
“Sekarang aku tahu, yang cukup itu bukan soal materi, tapi niat buat terus bertumbuh bareng.”
“Nara… maukah kamu pulang... dan izinkan aku pulang juga? Bukan cuma ke rumah ini, tapi ke hatimu?”
Lulu, dari jauh, berteriak, “MAA… TERIAK DULU BIAR DRAMATIS!”
Aku tertawa sambil menangis.
Dan jawabanku? Kupeluk dia. Lama. Tanpa kata. Tapi cukup.
Lulu melompat-lompat sambil teriak, “BERHASIL! BRANDING KELUARGA KELINCI KITA TERSAVE!!”
---
Bagian 10: “Rumah Itu Bernama Kita”
Sabtu pagi, matahari seolah tahu harus bersinar hangat. Taman kecil dekat rumah kami berubah jadi tempat pernikahan sederhana, dengan hiasan pita-pita buatan Lulu dan bunga plastik dari stok dekorasi ulang tahun tetangga.
Aku dan Ciko berdiri di bawah gapura bambu yang dihias daun rambat. Di hadapan kami, Lulu berdiri dengan mikrofon mini, pakai blazer kebesaran milik Pak RT dan pin nama bertuliskan:
“MC + PENGAWAS CINTA ORANGTUA – LULU”
---
“Selamat datang di pernikahan ulang Papa Ciko dan Mama Nara,” katanya dengan nada serius. “Hari ini, mereka akan berjanji buat nggak ribut karena remote TV, dan tetap bareng-bareng walau nasi gosong.”
Tawa hadirin pecah.
Lulu melanjutkan, “Aku akan bacain janji untuk mereka. Kalau mereka nggak nurut, nanti aku coret nama mereka dari daftar keluarga kelinci.”
---
Janji Pernikahan ala Lulu:
📝 “Papa harus peluk Mama tiap pagi meskipun bangun kesiangan.”
📝 “Mama harus cium pipi Papa walau rambutnya jelek.”
📝 “Kalau ada masalah, jangan diem-dieman lebih dari 10 menit, kecuali lagi di toilet.”
📝 “Harus bareng-bareng nonton film kartun sama aku, minimal seminggu sekali.”
Ciko menatapku sambil tersenyum. “Aku bersedia.”
Aku menggenggam tangannya. “Aku juga bersedia.”
Lulu lalu berteriak, “SAYA RESMIKAN KALIAN KELUARGA UTUH LAGI!”
Balon-balon dilepas ke langit. Tepuk tangan meledak. Tapi yang paling meledak… hatiku.
---
Malamnya, setelah semua tamu pulang, kami bertiga duduk di ruang tengah, menyantap mi instan dengan telur dadar buatan Ciko — kali ini nggak gosong. Lulu sudah tertidur di sofa, sambil memeluk boneka kelincinya.
“Cik,” bisikku pelan, “terima kasih sudah balik. Dan bukan cuma secara fisik…”
Ciko mengangguk, mencium keningku. “Dan kamu, terima kasih sudah ngasih aku kesempatan. Dulu, sekarang, dan seterusnya.”
Kami saling diam sejenak. Nyaman. Aman. Damai.
Dan ketika aku menatap Lulu yang tertidur, aku sadar...
Rumah bukan soal dinding dan genteng. Rumah itu... kita. Tiga orang yang jatuh, bangkit, tertawa, dan tetap memilih untuk pulang.
---
🎀 TAMAT 🎀