Hujan turun rintik-rintik di luar jendela, namun suasana di dalam vila itu terasa lebih tegang daripada cuaca malam itu. Aurora duduk di sofa empuk, jantungnya berdegup kencang menunggu suaminya pulang. Dia tahu siapa lelaki itu, seorang pemimpin mafia paling disegani di kota, namun di hadapannya… dia hanyalah suami yang selalu menjaganya sepenuh jiwa.
Pintu utama terbuka. Rafael masuk dengan jas hitam yang sedikit basah terkena hujan, wajahnya dingin seperti biasa saat baru pulang dari urusan “pekerjaan gelapnya”. Namun, begitu matanya menangkap Aurora, raut keras itu perlahan mencair.
“Aku pulang,” katanya dengan suara rendah dan berat.
Aurora berdiri, menyambutnya dengan senyum ragu. “Kamu terluka?” Dia melihat sedikit goresan di tangan lelaki itu.
Rafael mendekat, meraih tangannya, dan mengusap lembut pipinya. “Bukan apa-apa. Aku tidak akan pernah membiarkan sesuatu yang buruk mendekatimu, Aurora.”
Nada bicaranya tegas, namun sarat dengan rasa cinta yang tak bisa disembunyikan.
Aurora menarik napas lega. Walaupun dia tahu dunia suaminya berbahaya, dia tidak pernah meragukan kasih sayang lelaki itu. Rafael mungkin kejam bagi musuhnya, tapi untuknya… Rafael adalah lelaki yang rela menghadapi neraka hanya untuk memastikan ia aman.
“Rafa…” Aurora berbisik, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya ingin kamu selamat. Aku tidak butuh semua kekayaan ini, semua kekuasaanmu… aku hanya ingin kita berdua hidup tenang.”
Rafael memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya. “Sayang… aku mungkin tak bisa keluar dari dunia ini, tapi aku bersumpah satu hal…” Ia menunduk, menatap dalam mata Aurora. “…Kamu adalah segalanya bagiku. Selama aku hidup, tidak ada seorang pun yang bisa menyentuhmu.”
Aurora tersenyum tipis sambil menyeka air matanya. “Aku percaya padamu.”
**
Bayangan Bahaya
Keesokan paginya, vila Rafael terasa sunyi. Aurora duduk di ruang makan sambil menikmati teh hangat, sementara Rafael sibuk berbicara di telepon di ruang kerjanya. Wajah lelaki itu serius, nadanya dingin, menandakan ada urusan yang tidak beres.
Tak lama kemudian, Rafael muncul dengan ekspresi tegang. Dia berjalan mendekati Aurora, berlutut di sisinya, dan menggenggam tangannya erat.
“Aurora… aku harus pergi sebentar. Ada masalah yang harus kuselesaikan,” katanya, suaranya lebih lembut dari raut wajahnya.
Aurora menatapnya khawatir. “Masalah seperti apa? Kamu terlihat… berbeda pagi ini.”
Rafael terdiam sejenak sebelum menjawab. “Seseorang berani menyentuh batas kesabaranku. Aku pastikan tidak ada ancaman yang mendekatimu.” Dia mencium punggung tangan isterinya, lalu pergi dengan pengawalan ketat.
Namun, beberapa jam setelah Rafael meninggalkan vila, Aurora menerima sebuah pesan di ponselnya.
"Jika ingin melihat suamimu hidup, ikut instruksi kami. Jangan kabari siapa pun."
Aurora tertegun, jemarinya bergetar membaca pesan itu. Sebelum sempat berbuat apa-apa, pintu belakang vila terbuka secara paksa. Dua lelaki bertopeng masuk, membungkamnya, dan menyeretnya masuk ke dalam van hitam.
Aurora dibawa ke sebuah gudang tua di pinggir kota. Ruangan itu gelap, bau besi berkarat menusuk hidungnya. Seorang lelaki dengan tato di lehernya mendekat, senyum sinis terukir di wajahnya.
“Jadi ini isteri kesayangan sang Raja Mafia?” katanya dengan nada mengejek. “Mari kita lihat, apakah Rafael akan datang jika permata berharganya diancam.”
Aurora berusaha tegar, walau hatinya gemetar. Dia tahu Rafael pasti datang, meski artinya lelaki itu harus mempertaruhkan nyawanya.
**
Neraka Bagi Musuhnya
Petir menyambar langit malam, menerangi jalanan basah yang dilalui Rafael bersama empat lelaki kepercayaannya. Wajahnya kelam, sorot matanya dingin dan tajam siapa pun yang menghalangi akan bernasib sama: hilang dari muka bumi.
Gudang tua itu kini dikepung anak buahnya. Rafael turun dari mobil, jas hitamnya berkibar tertiup angin malam. Dia tak butuh banyak kata, hanya satu isyarat tangan dan pasukannya paham, ini bukan sekadar misi penyelamatan, ini adalah peringatan bagi seluruh dunia bawah tanah: jangan pernah sentuh milik Rafael.
Di dalam gudang, Aurora terikat di kursi, wajahnya pucat namun matanya menyala dengan keberanian. Lelaki bertato yang menculiknya berjalan mondar-mandir, menunggu kedatangan Rafael.
Sebuah bunyi tembakan meledak, pintu gudang terbuka keras. Rafael berdiri di ambang pintu, pistolnya masih berasap. “Kalian benar-benar bodoh,” ucapnya dingin. “Menyentuh isteri aku… berarti kalian menggali kubur sendiri.”
Ketegangan memenuhi udara. Beberapa lelaki berusaha menyerang, tapi tembakan Rafael dan anak buahnya cepat, tepat, mematikan. Dalam hitungan detik, gudang itu menjadi sunyi, hanya tersisa Rafael dan lelaki bertato yang kini gemetar ketakutan.
Rafael menendang pistol musuhnya jauh-jauh, lalu mendekat dengan langkah tenang namun mematikan.
“Kau pikir aku tidak akan datang? Kau pikir aku akan biarkan dia menangis karena kalian?” Rafael meraih kerah lelaki itu, menatapnya dengan amarah membara. “Jika aku mendengar namamu sekali lagi di dunia ini… pastikan itu hanya tertulis di batu nisanmu.”
Lelaki itu membeku, ketakutan hingga tak mampu menjawab.
Rafael melepaskannya begitu saja, seolah tak layak menerima peluru darinya, lalu berlari ke arah Aurora. Tangannya gemetar sedikit saat melepaskan ikatan di pergelangan tangan isterinya.
“Aku di sini, sayang… aku di sini,” bisiknya, suara yang dingin kepada musuh kini berubah penuh kasih saat menyentuh Aurora.
Aurora langsung memeluknya erat, air mata yang ditahan sepanjang malam akhirnya mengalir. “Aku tahu kamu akan datang…” suaranya bergetar. “Aku takut… tapi aku percaya kamu takkan biarkan aku sendirian.”
Rafael mengecup keningnya, menahan gejolak emosinya sendiri. “Tidak ada yang bisa memisahkan kita, Aurora. Tidak malam ini, tidak selamanya. Siapa pun yang mencoba… mereka akan berakhir seperti ini.”
**
Selamanya Milik Rafael
Malam itu, setelah menyelamatkan Aurora, Rafael membawanya pulang ke vila mereka. Hujan masih turun perlahan, namun kali ini tidak ada lagi rasa takut di hati Aurora—hanya kelegaan kerana berada di sisi lelaki yang paling dicintainya.
Di ruang tamu, Rafael duduk di hadapan isterinya, menggenggam tangannya erat. “Maafkan aku,” katanya lirih, “kerana dunia ini selalu menyeretmu ke bahaya.”
Aurora menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Aku tak peduli siapa kamu di mata dunia, Rafa. Yang aku tahu, kamu adalah lelaki yang melindungiku dengan seluruh jiwa. Itu cukup bagiku.”
Rafael menariknya ke dalam pelukan hangatnya, bibirnya menyentuh kening isterinya dengan lembut. “Selama aku bernafas, hanya satu hal yang tak akan berubah,” ucapnya penuh tekad. “Kamu adalah segalanya bagiku… isteri kesayangan yang tak seorang pun boleh sentuh.”
Aurora tersenyum dalam tangisnya. Dalam dekap Rafael, ia merasa aman seakan dunia luar tak lagi wujud. Mereka mungkin hidup di tengah bahaya dan rahsia gelap, tetapi cinta mereka lebih kuat dari segala ketakutan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah badai panjang, keduanya tertidur dalam pelukan, dengan keyakinan bahwa tidak ada kuasa mana pun yang dapat memisahkan mereka.
⚠︎ ini cerita fiksi semata-mata