Rotterdam, Belanda. Musim gugur 1974. Kabut turun lebih cepat dari biasanya, menyelimuti jalanan berbatu dan bangunan tua yang basah oleh embun. Di sebuah gang sempit dekat distrik pelabuhan, tubuh seorang wanita ditemukan tergantung di antara dua bangunan tua. Lehernya diikat dengan tali piano, dan di bawahnya, sebuah sepatu kulit tunggal diletakkan dengan darah segar menggenang di dalamnya.
Itu adalah korban keempat dalam dua bulan terakhir.
Inspektur Pieter van Dijk sudah kehilangan tidur sejak kasus ini dimulai. Semua korban adalah wanita muda, dengan luka identik, dada disayat membentuk pola menyerupai huruf “L” terbalik, lidah dipotong, dan selalu ada sepatu kulit tunggal, bukan milik korban, yang ditinggalkan di dekat tubuh.
Koran menyebut pelaku sebagai “De Schoenmaker” Si Tukang Sepatu.
Namun Pieter tahu, ini bukan sekadar julukan jurnalis. Sepatu itu... buatan tangan. Ukiran kulitnya terlalu presisi, terlalu artistik. Seolah pembunuhnya adalah seorang seniman yang bekerja dengan darah.
Pieter melangkah ke ruang forensik. Korban keempat, Anna van Loen, hanya 23 tahun. Ditemukan tiga jam lalu oleh seorang pemulung. Darah masih menetes saat tubuhnya diturunkan.
“Lidah dipotong dengan alat presisi. Bukan pisau dapur biasa. Mungkin alat pengukir,” jelas Dokter Mersel.
“Apa dia masih hidup saat dipotong?” tanya Pieter dengan rahang mengeras.
Dokter hanya mengangguk pelan. Pieter menatap tubuh tak bernyawa Anna, dan dalam hati ia bersumpah, ia akan menghentikan ini. Apapun caranya.
Penyelidikan membawanya ke sebuah toko sepatu antik di distrik Schiedam. Toko tua dengan kaca kusam dan papan nama yang mulai mengelupas: "Koenraad's Leathercraft, Since 1899".
“Sepatu seperti ini buatan tangan,” kata Pieter sambil meletakkan salah satu sepatu berdarah di atas meja pemilik toko, seorang pria jangkung, botak sebagian, dengan janggut abu-abu rapi. “Kau tahu siapa pembuatnya?”
Koenraad, si pemilik toko, menatap sepatu itu lama. Lalu ia tersenyum samar.
“Bukan buatan saya. Tapi saya tahu siapa yang bisa membuat seperti ini.”
Pieter menajamkan telinga.
“Anak magang saya. Dulu... sekitar dua tahun lalu. Namanya Elian. Terobsesi dengan kulit. Tapi dia berhenti tiba-tiba. Bilangnya mau ‘menyempurnakan karyanya dari bahan yang lebih... hidup.’ Saya kira cuma lelucon.”
Pieter membeku.
“Elian siapa?”
“Nama belakangnya? Hmm... dia bilang tak punya keluarga. Tinggal di loteng pabrik tua dekat kanal barat.”
Pabrik tua itu nyaris runtuh, tapi jejak lumpur di pintunya menunjukkan bahwa seseorang memang masih tinggal di sana. Pieter menyusup diam-diam di malam hari. Tangga kayu tua berderit, udara dingin membawa bau besi berkarat dan... sesuatu yang lebih busuk.
Lotengnya gelap, tapi ada suara. Seperti gesekan kulit dengan logam.
Pieter menyalakan senter.
Dan di sanalah Elian.
Ia berdiri membelakangi Pieter, di depan meja kerja besar. Di atasnya, tubuh wanita tergolek telanjang, mati. Kulitnya telah disayat rapi, dan potongan daging digantung seperti lembaran cucian. Elian memahat sesuatu, sol sepatu, dari telapak kaki korbannya.
“Kau tahu,” katanya tanpa menoleh, “kulit manusia jauh lebih lembut daripada kulit sapi. Tapi lebih sulit dijahit. Harus sabar.”
Pieter menarik pistol. “Elian... angkat tanganmu. Perlahan.”
Namun Elian justru menoleh dan tersenyum. Wajahnya kurus dengan mata yang besar, bersinar gila. Di belakangnya, tergantung belasan sepatu kulit manusia di rak, seperti trofi.
“Aku hanya ingin menciptakan satu pasang sepatu sempurna... dari dua puluh wanita. Kanan dan kiri... dari tiap pasangan jiwa yang mati dalam ketakutan.”
“Gila kau!” teriak Pieter.
Elian berlari menerjang. Gunting sepatu di tangannya menyambar cepat. Mereka bergulat dalam bayangan. Tembakan meletus. Satu. Dua.
Tubuh Elian terhempas, darah muncrat di dinding yang penuh coretan sketsa sepatu dan tulisan tangan aneh: “Kulit hidup tak pernah berbohong.”
Beberapa bulan kemudian...
Toko “Koenraad’s Leathercraft” kembali buka. Sepasang sepatu kulit indah dipajang di etalase, warna merah tua, mengilat, dengan jahitan sempurna.
Tertempel kertas kecil:
“Limited Edition, Buatan Tangan. Hanya Satu Pasang di Dunia.”
Di belakang toko, Koenraad menatap sepatu itu sambil tersenyum.
Ia menyentuhnya lembut, lalu berkata pelan,
“Terima kasih, Elian. Karyamu... akhirnya selesai.”
---
GENRE CERPEN = Horor + Thriller Psikologis
CERPEN INI SAYA BUAT UNTUK EVENT GC OPEN HEART 💜