Cerpen horor komedi by ESTEH
Event b'day kakak OTTAN
---
Aku, Teka, mahasiswa semester akhir yang tinggal di rumah kontrakan tua bareng tiga teman lainnya. Mereka adalah Yayan, Roni, dan Gopal.
Kami menyebut rumah ini “Istana Setan,” bukan karena horor, tapi karena listrik sering mati, genteng bocor, dan pintu kamar mandi yang selalu bunyi ‘krek’ sendiri meskipun gak ada angin.
Tapi satu hal yang paling bikin kami deg-degan adalah, jemuran di belakang.
Bukan karena ada tuyul, bukan pula karena ada kuntilanak. Tapi karena sejak kami pindah, selalu ada satu daster merah yang nongkrong di tali jemuran, padahal kami semua laki-laki dan nggak ada yang punya daster pastinya.
Awalnya kami pikir itu sisa penghuni sebelum kami datang, tapi anehnya daster itu nggak pernah kotor dan selalu wangi. Kayak baru dicuci tiap hari gitu, dan anehnya lagi, kalau daster itu dilepas atau diangkat dari jemuran, besoknya muncul lagi tuh daster.
“Apa kita buang aja ke kali tuh daster?” usul Yayan sambil pakai helm, diruangan dapur.
Dia tuh kek trauma sejak malam kemarin waktu ke belakang buat cuci piring, dan daster merah itu bergerak-gerak sendiri, melambai-lambai kayak ngajak tos gitu.
“Jangan! Kalau itu memang ada penunggunya, nanti kita dikutuk! Nanti pas tidur, tahu-tahu lo bangun-bangun udah pakai daster juga,” kata Gopal, si penakut yang percaya semua konten horor di konten-konten TokTok itu berkomentar.
Akhirnya kami bikin kesepakatan.
Siapa yang kalah suit tiap minggu, harus cuci baju malam hari dan ngecek daster merah.
“Sepakat!”
Sialnya, aku kalah minggu ini.
Jam 11 malam, aku ke belakang bawa ember. Udara terasa dingin, lampu belakang cuma satu dan itu pun kedap-kedip kayak lampu disko gagal keren. Daster merah itu melambai pelan-pelan, seperti melambai dan mengucapkan selamat tinggal.
“Wussshh…”
Aku menelan ludah, antara panik dan berusaha untuk tidak takut sambil ngelantur ngomong sendiri.
“Nenek-nenek penunggu jemuran, maaf saya numpang nyuci ya. Saya cuma pengen hidup tenang dan skripsi saya kelar, udah gitu aja.”
Hening, tentunya tidak ada yang menjawab. Tapi saat aku mulai nyuci baju, tiba-tiba saja daster merah itu menghilang.
“Eh, lo semua pada iseng ya?!” Aku teriak kenceng, kaget dan takut pastinya.
Tapi nyatanya nggak ada jawaban, sepi dan sunyi. Lalu tiba-tiba daster merah itu jatuh dari atas kepala, menutupi mukaku.
Dan... BAU MELATI CAMPUR MINYAK ANGIN, memenuhi indera penciumanku.
“Arghh… sial!”
Aku kabur secepat kilat, bawa ember dan deterjen yang masih tumpah-tumpah.
---
Keesokan harinya, daster itu kembali tergantung di jemuran. Tetap dalam kondisi kering, wangi dan rapi. Dan mulai hari itu juga, kami semua mulai diganggu.
Roni tiap malam mengigau, ngomong sendiri dalam kondisi tidur.
“Jangan setrika daster saya, Bu… saya belum kering…”
Sementara Yayan, dia selalu nemuin daster merah itu di jok motor tiap pagi.
Gopal lebih aneh lagi. Dia ketahuan lagi manggil-manggil daster itu dengan sebutan “sayang” pas dini hari. Entah bercanda atau kesambet cinta, kita kita juga pada bingung.
Kami seperti mulai kehilangan akal sehat. Sampai akhirnya Gopal yang paling takut itu punya ide cemerlang.
“Kita undang ustaz, suruh rukyah daster merah itu! Gimana?”
“Ok, bisa dicoba.”
Tiga hari kemudian, Ustaz Hasan datang.
Baru masuk halaman belakang, beliau justru tersenyum-senyum sendiri kemudian berkata dengan sesuatu yang tidak pernah kamu sangka.
“Duh, ini bukan jin jahat, Mas. Ini jin, haus perhatian.”
“Hah?!”
Kami berempat melongo mendengar perkataan pak ustad Hasan.
“Iya. Biasanya jin kayak gini tinggal di rumah kosong terlalu lama. Dia numpang jemur kenangan, eh maksud saya daster. Makhluk kayak gini cuma perlu diajak ngobrol saja kok.”
Pada akhirnya, sesuai dengan kesepakatan bersama, kami pun akhirnya menggelar acara "temu jin akrab". Kami duduk melingkar di belakang rumah, sementara daster merah digantung di tengah-tengah.
“Assalamu’alaikum, Mbak Jin. Kami minta maaf kalau selama ini kurang menyapa. Kami bukan sengaja mengabaikan, tapi... ya kami pikir Mbak itu cucian nyasar”.
Tiba-tiba daster merah itu melambai, seakan-akan merespon ucapan kami.
“Wa’alaikumussalam, Mbak Jin!”
Kami semua langsung reflek mengakhiri sesi temu. Dan sejjak saat itu, gangguan berkurang. Setiap malam kami gantian menyapa “Mbak daster merah” supaya dia tidak kesepian.
“Selamat malam, Mbak Daster!”
Dan sebagai gantinya, semua cucian kami selalu kering, wangi, dan terlipat rapi. Bahkan Gopal pernah nemu surat kecil di saku celananya.
“Cintamu belum kering, tapi aku sudah setrika semua kenangan.”
Sekarang Gopal pacaran sama Mbak daster itu. Kami biarin aja, yang penting cucian beres.
Sepertinya, nggak semua yang terlihat horror itu menakutkan. Kadang, yang seram itu cuma kesepian. Apalagi kalau dia cuma pengen dipanggil, “Mbak.”
***
GENRE CERPEN = Horor + komedi
CERPEN INI SAYA BUAT UNTUK EVENT GC OPEN HEART