Pemandangan saat senja di sudut kota sama seperti biasanya, tetapi sore itu terasa berbeda. Jalanan basah karena hujan, lampu-lampu jalan menyala, dan ada aroma khas di udara. Sore itu, kamu datang.
Aku duduk di bangku taman yang terlihat sederhana, tetapi sudah tua dan catnya sudah mengelupas. Aku menunggu, tapi aku tidak yakin apa yang kutunggu. Mungkin aku sedang menunggu sore berganti malam, seperti yang biasa kulakukan. Tapi kamu datang dengan payung kecil berwarna jingga cerah, yang terlihat menonjol di langit kelabu yang mulai turun hujan.
"Aku pikir kamu sudah pulang," katamu sambil menutup payungmu, lalu duduk di bangku di sampingku. Jarak kita tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Cukup untuk merasakan kehadiranmu.
"Sorenya terlalu indah untuk dilewatkan," jawabku, pandanganku masih pada jejak-jejak air hujan di jalanan. "Lagipula, aku tidak punya tempat lain untuk berlindung."
Kamu hanya tersenyum. Senyummu selalu menenangkan, seperti secangkir teh hangat di sore hari. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku selalu merasa nyaman di dekatmu, bahkan dalam diam sekalipun.
Kita pernah saling tidak mengenal, dua orang asing yang kebetulan bertemu di bangku taman yang sama. Aku dengan buku-buku tebal dan kacamata, kamu dengan sketsa dan pensil warna. Awalnya, kita hanya saling melempar senyum, hingga suatu sore kamu mulai bertanya tentang buku yang sedang kubaca.
"Buku tentang self-improvement. Agak berat, ya?" kataku saat itu.
"Tidak apa-apa," jawabmu. "Aku suka hal-hal yang membuatku berpikir. Lagipula, aku juga suka hal-hal yang tidak bisa dibayangkan."
Sejak saat itu, setiap sore kita selalu bertemu di bangku taman yang sama. Aku akan bercerita tentang dunia yang kubaca, tentang pemikiran-pemikiran rumit dari para self-help. Kamu akan bercerita tentang dunia yang kamu lihat, tentang warna-warna yang ingin kamu tuangkan ke dalam sketsamu.
Kita seperti dua dunia yang berbeda, tapi entah bagaimana, kita bisa saling melengkapi. Aku, yang selalu hidup di dunia kata-kata, dan kamu, yang selalu hidup di dunia penuh warna.
Sore itu, di bawah langit mendung, kita tidak banyak bicara. Aku hanya memandangi kamu yang sesekali menatap langit, entah apa yang sedang kamu pikirkan. Kamu tampak seperti seseorang yang sedang mencari inspirasi, atau mungkin sedang mencari jawaban.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku, memecah keheningan.
Kamu menoleh, lalu mengangguk pelan. "Tentu."
"Kenapa kamu selalu membawa payung jingga?"
Kamu tersenyum. "Karena jingga itu cerah. Aku suka warna jingga. Rasanya seperti matahari di tengah langit senja."
Aku terdiam. Kamu memang seperti matahari di tengah menja, datang membawa kecerahan di sore-soreku yang kelabu.
"Aku juga suka warna jingga," kataku.
Mata kita bertemu. Ada semacam percikan yang tidak bisa dijelaskan. Percikan yang membuat jantungku berdetak lebih cepat, dan membuat napasmu tertahan sesaat.
"Benarkah?" tanyamu, suaramu sedikit bergetar.
Aku mengangguk. "Ya. Sejak kamu datang, aku jadi suka warna jingga."
Sore itu, langit mulai gelap. Lampu-lampu jalan menyala lebih terang, tapi tidak seterang binar matamu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Mungkin kita akan pulang, kembali ke dunia kita masing-masing. Tapi aku tahu, sore itu akan selalu menjadi sore yang berbeda. Sore itu akan selalu menjadi sore yang kurindukan.
Kita pulang bersama. Berjalan perlahan di bawah gerimis yang mulai turun kembali. Payung jinggamu kembali terbuka, tapi kali ini aku juga ada di bawahnya. Jarak kita tidak lagi jauh. Sangat dekat. Aku bisa mencium aroma hujan dari rambutmu, dan merasakan kehangatan dari bahumu yang menyentuh bahuku.
Kamu tidak banyak bicara, hanya tersenyum. Aku juga tidak banyak bicara, hanya menatapmu. Rasanya seperti kita tidak membutuhkan kata-kata untuk mengerti satu sama lain. Kita hanya perlu saling merasakan.
Di depan rumahmu, kita berhenti. Aku tidak ingin sore ini berakhir. Aku tidak ingin melepaskanmu.
"Terima kasih, Untuk sore ini." katamu.
"Sama-sama," jawabku. "Terima kasih juga, karena sudah datang."
Kamu tersenyum, senyum yang paling indah yang pernah kulihat. Lalu, kamu mencium pipiku.
Semuanya terjadi begitu cepat. Aku terkejut, tapi juga merasa bahagia. Pipi kiriku terasa hangat, seperti ada matahari kecil yang bersinar di sana.
"Sampai jumpa, besok," katamu, lalu berbalik dan masuk ke dalam rumah.
Aku berdiri di sana, mematung, menatap pintu rumahmu yang tertutup. Payung jinggamu, yang kini tergeletak di teras, tampak seperti sebuah janji. Janji untuk bertemu lagi, janji untuk sore-sore yang indah lainnya.
Aku pulang dengan hati yang penuh bunga. Pikiranku tidak lagi dipenuhi oleh self-help rumit, tapi oleh bayangan senyummu, binar matamu, dan rasa hangat di pipiku. Aku akhirnya mengerti, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi hanya bisa dirasakan.
Sore-sore berikutnya, kita selalu bertemu. Di bangku taman yang sama, di bawah payung yang sama. Kita tidak lagi hanya berbicara tentang buku dan sketsa, tapi juga tentang mimpi-mimpi kita, tentang ketakutan-ketakutan kita.
Suatu sore, saat langit mendung, dan gerimis mulai turun, kamu tidak datang. Aku menunggumu. Menunggumu di bangku taman yang sama, tapi kamu tidak datang.
Satu jam berlalu, lalu dua jam. Aku mulai khawatir. Aku mencoba meneleponmu, tapi tidak ada jawaban. Aku mencoba mengirim pesan, tapi tidak dibaca.
Sore itu, aku pulang dengan hati yang hampa. Bangku taman itu terasa dingin, dan payung jingga yang biasa kamu bawa terasa jauh. Aku merasa seperti sore yang mendung itu telah mengambilmu dariku.
Aku menunggu, hari demi hari, sore demi sore. Tapi kamu tidak pernah kembali. Bangku taman itu kembali menjadi tempatku sendiri. Aku kembali membaca buku, tapi tidak ada yang bertanya tentang isinya. Aku kembali melihat jejak-jejak air hujan di jalanan, tapi tidak ada yang menemaniku.
Aku kembali ke duniaku yang kelabu.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita lain. Dia juga suka membaca buku, tapi dia tidak pernah bertanya tentang filsafat. Dia juga suka sore hari, tapi dia tidak pernah membawa payung jingga. Dia baik, dan dia membuatku merasa nyaman. Tapi ada sesuatu yang hilang.
Suatu sore, aku kembali ke bangku taman itu. Aku duduk di sana, memandangi jejak-jejak air hujan di jalanan. Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari ke arahku, membawa sebuah sketsa.
"Om, om!" katanya. "Ini, om."
Dia memberiku sebuah sketsa, gambar seorang pria dengan kacamata, sedang duduk di bangku taman, sambil membaca buku. Di sekelilingnya, ada warna-warna jingga yang cerah.
"Ibuku yang gambar," kata anak itu. "Dia bilang, ini untuk om."
Aku menatap sketsa itu, dan tiba-tiba mataku basah. Aku tahu siapa yang menggambar sketsa ini.
"Ibumu ada di mana?" tanyaku, suaraku bergetar.
Anak itu menunjuk ke arah rumah di seberang jalan. Rumah dengan jendela yang terbuka, dan ada seorang wanita yang sedang berdiri di sana, melambaikan tangannya kepadaku.
Kamu.
Kamu, dengan senyum yang sama, binar mata yang sama, tapi dengan perut yang membesar.
Aku berjalan ke arahmu, perlahan. Setiap langkah terasa berat, tapi juga penuh harapan.
Kita bertemu di depan pintu rumahmu. Kamu tidak lagi membawa payung, tapi kamu membawa sebuah kehidupan baru di dalam perutmu.
"Maaf," katamu. "Aku tidak bisa datang menemuimu."
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya memelukmu, erat. Air mataku jatuh di bahumu.
"Maaf," kataku. "Aku tidak tahu."
Kamu hanya tersenyum. "Aku ingin memberimu kejutan. Dan kurasa, ini kejutan yang paling indah."
Aku memandang perutmu, lalu menatap matamu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi aku tahu, aku tidak akan lagi sendirian. Kita tidak akan lagi sendirian.
Dan di sore itu, di depan pintu rumahmu, aku mengerti. Bahwa sore itu bukan hanya tentang kita berdua, tapi juga tentang kehidupan yang akan datang. Kehidupan yang akan membawa warna baru ke dalam sore-sore kita, dan membuat sore-sore kita menjadi lebih indah.
Sore itu, aku tidak lagi hanya melihat jejak-jejak air hujan di jalanan, tapi juga melihat bayangan kita berdua, dan bayangan anak kita, berjalan di bawah payung kuning, di bawah langit yang cerah.
Aku, kamu, dan sore. Selamanya.