Angin bersiul lembut saat matahari perlahan berjalan ke ufuk barat. Diiringi gesekan daun yang menari-nari serta sekawan burung yang bernyanyi dengan riang dalam perjalanan pulang, mengantarkan perasaan nyaman dalam hati di sore hari ini.
Bangku taman yang semula kosong itu memangku seorang pemuda yang tengah bersandar nyaman sembari memejamkan mata.
Pikirannya terbang melayang dan terhenti di satu nama yang terlukis permanen di pikirannya.
Krak!
“Lee Jeno,” panggil sebuah suara selaras dengan bunyi retakan daun kering yang terinjak.
Mata serupa bulan sabit itu terbuka, netranya menangkap sosok pemuda berwajah serupa kelinci yang tengah berdiri dan memandang dirinya tak jauh dari bangku taman.
“Eoh, Jaemin-ah!” balasnya dengan suara berat yang sarat akan kehampaan dalam hidup.
Jaemin berjalan mendekat, memangkas jarak antara dirinya dan Jeno. Ia mendudukkan dirinya di samping Jeno, sahabatnya. Matanya memandang pepohonan yang menjulang tinggi. “Kau mengingatnya lagi, Jeno-ya?” tanyanya.
“Lantas, kau suruh aku melupakannya, begitu Jaemin-ah?” sahut Jeno dengan mata terpejam kembali.
“Jangan seperti ini, Jeno-ya. Dia sudah pergi, kau harus terus melanjutkan hidupmu. Meraih mimpimu. Bukankah itu janjimu untuknya?” tanya Jaemin.
Jeno mendengus, “Aku tidak apa-apa.”
“Jangan membohongi dirimu sendiri, semua orang yang tidak sengaja melintas pasti akan mengetahui jika suasana hatimu sangat berbanding terbalik dengan sore yang cerah ini. Kau sudah berjanji padanya Jeno-ya. Untuk hidup dengan baik dan meraih mimpimu,” ujar Jaemin panjang lebar.
Jeno tertawa hambar, “Ya, dan aku menempati janjinya, tetapi dia tidak. Dia tidak menepati janjinya untuk selalu di sisiku. Disaat aku berhasil meraih semua yang ia inginkan, dengan teganya ia pergi meninggalkan sejuta kenangan dan kepedihan Jaemin-ah. Lalu apa artinya mimpiku ini jika ia tidak ada?”
“Siapa bilang, ia meninggalkanmu Jeno-ya. Ia selalu di sisimu. Selalu mengawasimu. Meski kau tidak melihatnya. Dia masih hidup meski di tempat yang berbeda. Dia masih sayang padamu dan akan selalu menyayangimu. Terlebih, dia bangga padamu, karena selain kau berhasil mewujudkan cita-citamu, kau juga berhasil mewujudkan mimpinya ....”
“... siapa yang tak mengenal Lee Jeno, seorang penulis lagu, musisi, sekaligus arsitek kenamaan di Korea ini? Aku yakin dia bangga padamu, tetapi ia juga sedih melihat seseorang yang disayanginya terpuruk seperti ini. Jangan membuatnya sedih, Jeno-ya,” ujar Jaemin panjang lebar, tangannya memainkan daun kering yang ia pungut di bawah bangku.
“Aku sendirian, Jaemin!”
“Kau tidak pernah sendirian, Jeno-ya ada kami yang menjagamu. Menggantikan tugasnya,” sahut Jaemin lagi, “sudahlah, ayo pergi cari makan. Aku lapar!”
Jaemin beranjak sembari menyeret Jeno hingga pemuda itu bangun dari duduknya.
Semilir angin yang bergerak dengan lembut, terasa hangat seakan menyelimuti diri Jeno.
Sayup-sayup ia mendengar suara.
“Terima kasih, Puppy. Bahagialah selalu, Hyung menyayangimu.”
Jeno terhenti sejenak setitik kristal bening menetes dari pelupuk mata. “Mark Hyung, aku juga menyayangimu. Kau selalu menjadi Hyung terbaikku, terima kasih.”