Di balik gerbang besi tinggi dan dinding marmer yang berkilau dalam cahaya senja, berdiri rumah mewah milik Raymond — lelaki tampan yang wajahnya bisa membius siapa pun, namun menyimpan kegilaan yang tak terlihat di permukaan. Rumah itu disebut-sebut orang sebagai istana, tapi bagiku, Sheylin, ia tak lebih dari penjara berdinding emas. Sebuah neraka dengan lampu gantung kristal dan langit-langit ukiran Italia.
Raymond mencintaiku — begitulah katanya. Tapi jika itu cinta, mengapa tubuhku penuh luka? Mengapa aku dikurung dalam kamar tanpa jendela, dengan rantai di pergelangan kaki dan bau darah yang tak pernah hilang dari dinding?
"Ini cinta," bisiknya di telingaku malam itu, saat tangannya yang dingin mengusap bekas luka yang baru ia ukir dengan pisau kecil. Namanya. Raymond. Ia ukir di punggungku, katanya agar aku tak pernah melupakannya, agar aku tahu bahwa aku miliknya. Seutuhnya. Selamanya.
Aku menangis, tapi ia tersenyum. "Tangismu indah. Seperti lagu duka dari seorang bidadari yang jatuh," katanya, lalu memelukku erat, membuat tubuhku yang lemah terjepit di dadanya yang hangat namun menyesakkan. Aku ingin berteriak. Tapi jeritanku tak pernah bisa melewati dinding kamar itu.
Hari-hari berlalu seperti kabut — samar, dingin, dan menyakitkan. Kadang ia datang membawa bunga, meletakkannya di pangkuanku lalu berkata, “Sheylin, aku mencintaimu lebih dari hidupku.” Tapi kadang, ia datang dengan cambuk, atau pisau, atau hanya wajah dingin tanpa emosi. Lalu menyiksaku, katanya agar aku tahu seberapa besar obsesi dan cintanya padaku. Obsesi gelap yang menghanyutkan… namun berbahaya.
Setiap malam aku berdoa agar semua ini hanya mimpi buruk. Tapi pagi selalu datang membawa kesadaran bahwa mimpi itu adalah kenyataan — kenyataan yang membunuhku perlahan. Aku mulai kehilangan siapa diriku. Hanya ada rasa sakit, ketakutan, dan Raymond. Selalu Raymond.
“Suatu hari,” bisikku pada diriku sendiri, “aku akan bebas. Entah dengan cara apa.” Kadang aku berpikir, mungkin kematian adalah satu-satunya pintu keluar. Jika kematian bisa membebaskanku dari pelukan dingin Raymond, maka aku rela menjemputnya.
Tapi sebelum itu... aku harus mencoba. Aku harus bertahan.
Karena meski Raymond mengurung tubuhku... jiwaku belum sepenuhnya mati.
Untuk sekarang.