Putih Biru Abuku berakhir di kantor
Author: senja
Teen;Romantis
Pagi ini matahari cukup terik tapi udara terasa dingin menusuk kulit. Aku berlari ke arah sekolah menengah pertama dengan atribut aneh. Tas kresek besar dengan sebuah tali menggantung dibahuku, kalung permen dan sebuah papan nama besar didadaku. Ini kali pertama Aku menginjakkan kakiku ke sekolah yang termasuk 3 Besar Sekolah Favorit.
Sudah berkumpul teman-teman seangkatanku di lapangan. Aku berdiri kebingungan diantara mereka yang sudah mengetahui grup mereka. Kebetulan hanya Aku yang masuk sekolah ini dan tak ada satupun kenalan atau temanku masuk sekolah ini. Seseorang menepukku dari belakang, Dia tersenyum lalu mengantarku ke arah papan pengumuman dimana nama dan grup terpajang disana. Sorak kakak-kakak pembimbing terdengar dari belakang kami, hanya kami yang berdiri berdua di papan pengumuman yang letaknya menghadap mereka yang sedang berbaris. Dia lalu mengantarku ke barisan, yang membuatku makin digoda kakak-kakak pembimbingku. Pagi-pagi, mukaku sudah memerah.
Kami dibimbing untuk masuk kelas sesuai grup. Aku sendirian duduk dibelakang. Kakak pembimbing kami memperkenalkan dirinya. Ada Mbak Sena dari kelas 2B, Mas Alvin kelas 3D, Mas Febri kelas 3D , Mas Candra 3A, Mbak Dena dari kelas 3C. Ternyata kakak yang membantuku adalah Mas Alvin. Ufh.. mungkin karena Aku duduk sendirian di belakang, Aku jadi bulan-bulanan mereka. Tidak seperti lainnya yang hanya berdiri dari kursinya, Aku berdiri di depan kelas sendiri.
"Sudah punya pacar,dek?" Aku cukup terkejut dengan pertanyaan Mbak Sena. Mas Alvin langsung menegur teman-temannya agar tidak bercanda seperti itu. Aku kembali ke bangkuku. Sempat kulihat, Mas Alvin memperhatikanku.
Bagaimana bisa mereka menanyakan hal itu? Pikirku. Jaman itu masih disebut dengan Masa Orientasi Sekolah dengan atribut aneh serta berbagai game dan aktifitas memperkenalkan sekolah dan staff. Belum ada smartphone dan Handphonepun masih terbilang Aku belum mampu membeli.
Sejam serasa 10 jam, waktu terasa lambat. Tak henti-hentinya setiap game, namaku dipanggil. Akhirnya bel pulang berbunyi, Aku membereskan atribut aneh yang kukenakan masuk ke dalam tas ransel yang kulipat di dalam kresek. Kulihat teman segrupku terburu-buru keluar kelas. Mas Alvin yang duduk dipinggir meja, 2 bangku di depanku sedang memperhatikanku. Setelah tinggal 4 siswa, Aku berdiri melewati Mas Alvin sambil pamit.
Didepan gerbang, Aku menunggu angkot. Saat itu belum ada ojek online. Tiba-tiba Mbak Sena menghampiriku, memberiku kertas dan pulpen.
"Boleh Aku minta nomer telfonmu?"
Tanpa mengatakan apapun, kutulis nomer telfon tetanggaku. Bukan karena Aku gak punya nomer rumah tapi malas menanggapi mereka karena seharian sudah mengerjaiku.
Keesokkan paginya, dari rumah sebelah Budhe Ambar memanggilku. Beliau mengatakan seorang laki-laki menelfonnya malam-malam mencariku.
"Kamu ini gimana? Masih kecil udah pacaran. Udah gitu pake nomer Budhe! Kamu takut ketahuan Mamamu?"
Aku nyengir.
Mama yang baru keluar dari rumah, terlihat kebingungan.
"Kamu punya pacar?" Tanya Mama.
Aku ceritakan ke Mama kalau kakak kelasku kemarin yang minta nomer tapi entah kenapa Aku terfikir memberikan nomer Budhe Ambar.
Lagi-lagi sampai sekolah, Aku tiba saat semua sudah berkumpul dalam kelas. Aku menyapa kakak-kakak pembimbingku sebelum masuk, mereka melihatku menahan tawa. Kulihat Mas Alvin diam menatapku. Aku jalan ke arah bangkuku diikuti Mas Alvin. Teman-temannya malah keluar ke depan kelas, tertawa bersama. Teman-teman sekelasku memperhatikan mereka yang tertawa lalu melihat kami berdua kebingungan. Mas Alvin duduk disampingku. Aku hanya diam saja, takut terkesan centil. Seperti belum berakhir, Aku dipanggil disetiap game. Kenapa waktu terasa lambat?
H-1 menjelang hari terakhir penyiksaanku, kami berbaris sesuai grup di lapangan. Kegiatan hari ini hanya jalan keliling lingkungan diluar gedung sekolah. Setiap baris dua orang. Ufh.. dalam grupku jumlahnya ganjil dan yang menemaniku seharusnya Mbak Sena atau Mbak Dena tapi mereka dipanggil ke belakang barisan akhir. Aku jalan sendiri dibelakang disusul grup lainnya. Kakak pembimbing dari grup dibelakangku mendekatiku, badannya tinggi tegap lalu tersenyum kepadaku.
"Hai, Aku Angga dari kelas 3A."
Aku hanya membalas dengan tersenyum lalu menghadap ke depan. Dia tetap berjalan disampingku. Melihat papanku namaku dengan pelan membaca namaku.
"Sofia sendirian masuk sekolah ini?" Tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk.
'Plak!' Aku dan Mas Angga sambil berjalan menoleh ke orang yang memukul kepala Mas Angga. Ketua OSIS, Mas Agus. Dia menarik Mas Angga kembali ke grupnya.
Kami melewati sawah yang basah, jalan yang hanya bisa dilewati 1 orang dan tidak rata. Naik turun, melewati jembatan bambu. Aku sempat terdiam mematung melihat jembatan bambu, sebuah tangan membuyarkan pikiran kosongku. Mas Alvin didepanku dengan sigap membantuku. Hmm.. sorakkan yang lain membuatku makin panik dan hampir terpeleset. Beruntung kedua lengan atasku langsung dipegangi Mas Alvin. Mukaku makin memerah dan terasa panas. Aku terlalu gugup untuk mengatakan apapun, ucapan terimakasih juga tidak keluar dari mulutku. Aku langsung berjalan cepat diikuti Mas Alvin.
Sampai dikelas, semua sepatu kotor berlumpur. Aku masih terdiam duduk dibangkuku sedang yang lain sudah bersiap pulang. Kakak pembimbing kami satu persatu masuk membawa snack dan minum membagikan pada kami secara berkeliling. Mataku memandang kosong ke depan. Setelah selesai, kakak-kakak pembimbing mempersilahkan kami menyantap yang ada didepan kami. Sebotol kecil air mineral dan roti. Tanganku masih gemetar untuk membuka botol, botolku diambil dari tanganku. Kulihat Mas Alvin membuka tutup botolku lalu duduk disampingku. Kulihat ke arah kakak pembimbingku yang berada di depan kelas, mereka langsung mengalihkan pandangannya dari kami. Air mineralku belum kuminum, mereka mengumumkan kalau besok ada acara penutup dan bersiap-siap besok akan dipanggil secara acak untuk mewakili grup. Makin panas dingin badanku. Aku hanya bisa berharap segera berakhir.
Semua teman sekelasku satu persatu keluar kelas. Pulang. Aku berdiri bersiap keluar tapi Mas Alvin menahan tanganku. Dia memberi kode ke arah botol mineral yang belum kusentuh dan roti untuk dibawa. Kututup botolnya lalu kumasukkan dalam tas ranselku.
Mas Alvin mengikutiku keluar gedung sekolah. Aku hanya berfikir Dia sama denganku naik angkot tapi saat Aku sudah masuk dan angkot berjalan, Dia justru kembali masuk gedung sekolah.
Akhirnya, hari ini hari terakhir. Kakak pembimbing memilihku untuk mewakiliki grup untuk bernyanyi pada rangkaian acara hari penutupan Masa Orientasi Siswa.
"Maaf kak, Saya buta nada" Kali ini kutolak, Aku gak mau mempermalukan diri didepan banyak orang. Mas Alvin lalu mengambil kertas berisi nama siswa dikelas. Mereka yang dipanggil berdiri di depan kelas. Sama halnya denganku, mereka beralasan buta nada.
"Buta nada tapi bisa perform di berbagai acara?" Tanya Mas Alvin.
"Apa karena gak ada bayarannya" sindir Mas Candra.
Mas Febri dan Mbak Dena mengantarkan mereka walau awalnya masih menolak ke tempat kumpul untuk mempersiapkan diri.
Acara sore ini, ufh.. hal yang tak kusukai.
Jam menunjukkan pukul 3 siang, Kami semua yang ada di dalam kelas dibimbing ke lapangan. Kata sambutan Kepala Sekolah sampai ketua OSIS hingga acara pertunjukkan dimulai. Kami semua mencari tempat duduk. Aku cari tempat pojok yang cukup sepi. Mas Alvin tersenyum duduk disebelahku. Aku abaikan. Karena kulihat dari arah samping, didepan kelas 3D teman seangkatan Mas Alvin bersorak ke arah kami. Aku berdiri mencari tempat duduk lain diikuti Mas Alvin yang berjalan di belakangku. Kutemukan tempat di samping panggung. Mas Alvin menemaniku.
"Nempel muluu,kamu.Vin. Bantuin,kek!" Kata Mbak Anna yang sedang kerepotan memegang kabel. Aku berdiri membantunya. Akhirnya Aku malah membantu kakak-kakak pembina dibelakang panggung.
Hari pertama masuk dengan pelajaran yang tak sukai. Masih sendiri, Aku duduk di bangku paling belakang. Istirahat, Aku masih duduk didalam kelas. Membaca buku pelajaran, bukan karena Aku gak haus atau gak lapar. Aku sudah bawa bekal minum. Tapi tidak mau kehilangan uang sakuku karena pas-pasan untuk naik angkot.
'Tok..tok..!' Kulihat didepanku ada Mas Alvin tersenyum membawa 1 kotak susu dingin dan sebungkus snack. Kulihat sekeliling,teman-teman sekelasku memperhatikan kami. Didepan kelas ada Mas Febri dan Mas Candra mengitip ke arah kami. Aku tolak halus, "terimakasih" kudorong pemberiannya ke arah Mas Alvin tapi perutku gak bisa diajak kompromi. Perutku berbunyi membuat Mas Alvin tersenyum lebar lalu membantuku membuka sedotan dari plastik dan menyodorkan ke arahku. Mau gak mau kuterima, Dia juga membukakan snack.
Pulang sekolah, Mas Alvin berdiri di sampingku.
"Kamu naik angkot jurusan apa?"
"Kemana motormu?" Tanyaku balik.
"Lagi gak bawa"
Aku berjalan diikuti Mas Alvin. Mau marah, tapi takut keGeEran. Sebuah angkot jurusanku tiba-tiba berhenti menurunkan seorang penumpang, Aku langsung naik. Karena sudah penuh, angkot langsung tancap gas.
Hari kedua, jam istirahat Aku coba membaur dengan lainnya tapi karena merasa aneh dan takut ditolak jadi kuurungkan niatku. Aku langsung menuju perpustakaan. Seseorang memanggilku dari belakang. Kulihat sekeliling mereka memperhatikan kami bahkan beberapa guru juga memperhatikan kami.Aku menunduk jalan cepat ke arah perpustakaan. Mas Alvin terus mengikutiku. Di rak buku, Aku memperhatikan judul buku dan Mas Alvin disampingku mengambil sebuah buku. Ku dengar bisik-bisik orang disekitar memperhatikan kami. Aku keluar perpustakaan, Mas Alvin tetap mengikutiku tanpa mengatakan apapun. Pulang sekolah seperti kemarin Dia pergi saat angkot yang ku naiki berjalan.
Hari berganti minggu, Akhirnya ada yang memanggilku untuk bergabung dengan mereka. Yang awalnya Aku hanya mendengar, Akhirnya ikut ngobrol dan selama Aku mendapat teman, Mas Alvin tidak muncul sama sekali.
Mungkin Dia kasihan karena Aku belum ada teman, pikirku. Pulang sekolah, mereka mengajakku main ke rumahnya tapi ku tolak halus dengan alasan mau bantu Mama jualan pada kenyataannya aku hanya bantu beberes rumah. Iyaa, uang sakuku tidak cukup untuk bisa nongkrong atau jajan yang mungkin bagi mereka hanya 5 ribu rupiah. Aku melambaikan tanganku ke mereka yang naik angkot.
"Kenapa gak ikut? Besok hari Minggu?"
Tanya Mas Alvin dari belakangku. Sempat aku terkejut, kucoba menenangkan diri.
Aku hanya diam memperhatikan angkot yang lalu lalang di depanku. Kenapa nggak ada angkot jurusan rumahku? Pikirku.
"Aku anter mau,nggak?" Tanyanya lagi.
Beruntung Angkot jurusanku datang. Aku langsung masuk tanpa mengatakan apapun ke Mas alvin.
Istirahat siang, Sandra,Dewi,Inge,Marsya mengajakku ke kantin. Akhirnya pagi sebelum berangkat sekolah, Aku pecah celengan agar tidak membuat mereka kecewa terus kutolak. Mereka tahu Aku masuk sekolah ini jalur prestasi dan dari keluarga kurang mampu tapi mau gimanapun mereka sudah mengajakku main.
Dikantin, Mereka memintaku traktir mereka makan karena hari sabtu Aku tidak ikut mereka pergi. Setelah mereka memilih dan ibu kantin memberiku totalan belanjaan, mereka mencari tempat duduk. Aku memperhatikan mereka lalu membuka dompet yang lembarannya terlihat lipatan-lipatannya.
"Ini Bu, buat bayar belanjaannya" kata Mas Alvin tiba-tiba disebelahku menyodorkan uang 50 ribu. Kalau orangtuaku kaya, mungkin gak akan Aku bingung berteman atau traktir temanku.
Mas Alvin lalu memilih beberapa snack dan sekotak susu dingin.
"Ini buat kamu." Dia menyodorkan sekeresek jajanan yang Ia beli. Aku hanya terpaku.
"Bisa ngomong bentar,gak?" Tanyaku membuat Mas Febri yang sedari tadi berdiri disebelah Mas Alvin tersenyum lalu menjauh dari kami.
Kami berdua duduk di taman depan ruang guru. Didepan kami duduk adalah ruang kelas 2C. Banyak siswa yang juga duduk bergerombol, ada juga yang membaca buku.
Aku sodorkan uang belanjaanku tapi Dia menolak dengan alasan ingin mentraktirku. Aku tarik tangannya, kuberikan uangku ketelapak tangannya.
"Aku gak mau berhutang. Terimakasih udah bantu Aku"
Aku berjalan ke arah kelas meninggalkan Mas Alvin yang bengong.
Di kelas Aku lupa kalau teman-temanku masih di kantin, jadi Aku berbalik dan kulihat Mas Alvin di depan kelas memperhatikanku.
"Kita masih bisa bertemen.kan?" Ucapnya membuat seisi kelasku bersorak ramai.
"Temen apa demen,Mas?" Teriak Dio dari bangkunya.
Aku mengangguk lalu berjalan cepat melewatinya. Dibalik dinding samping kantin, kudengar suara tawa mereka.
"Bisa-bisanya Dia mau bayarin kita. Sayangnya Mas Alvin malah yang bayar!" Ucap Inge.
"Emang Mereka pacaran?" Tanya Marsya.
"Ya gila aja Mas Alvin mau sama otaknya. Muka juga pas-pasan! Orang juga tahu, Dia cuma kasihan!" Jawab Dewi.
"Tapi denger-denger udah dari awal kita masuk loh, mereka deketnya!" tambah Marsya.
"Ya mikir aja, siapa yang ngejar dulu?" Lanjut Dewi sambil ketawa.
"Saya yang ngejar bukan karena kasihan. Memang apa yang salah?" Tegas Mas Alvin ternyata mengikutiku. Perlahan Aku mengintip mereka. Lalu mundur, berbalik dan kulihat Mas Febri melihatku iba. Aku berjalan menunduk menahan tangis.
Pulang sekolah, seolah tak terjadi apapun. Mereka menghampiri bangkuku. Aku sedang memasukkan buku dan peralatan tulis ke dalam tas. Mereka mengajakku pergi. Aku langsung tolak dengan alasan seperti biasa. Mereka saling pandang,
"Kamu kenapa nggak ke kantin abis ngobrol sama Mas Alvin?" Tanya Sandra.
"Aku tadi lupa kalau ninggalin kalian di kantin." Jawabku sambil nyengir. Mereka tak mengatakan apapun lalu pergi lebih dahulu. Senyumku langsung hilang, kecewa melihat mereka tidak meminta maaf atas ucapannya di kantin.
Suasana kelas hening. Tidak satupun siswa di dalam kelas, semua sudah pulang. Aku menatap ke depan kelas berfikir bagaimana bisa lepas dari mereka. Berjalan perlahan keluar kelas. Suasana di luarpun sama. Sepi.
Paginya, Mama dan Budhe ambar sedang menyiapkan jualan mereka. Aku menonton Tv sambil tidur menyamping ditemani snack dan segelas air mineral dingin. Hari ini Aku sengaja gak masuk sekolah, Mama paham sifat burukku yang mudah bosan dengan suasana sekolah justru tidak memarahiku untuk membolos sesaat. Mama buatkan surat ijin untuk 2 hari.
Keesokkan harinya. Sore hari saat Mama pergi dengan Budhe Ambar, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ku buka, Mas Alvin dengan masih menggunakan seragam. Tersenyum sambil menyodorkan sekeranjang buah-buahan. Kupersilahkan Dia masuk.
Aku ke dapur, kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas es teh dan cake buatan Mama. Dia memperhatikanku.
"Kenapa kamu gak masuk?"
"Bolos" jawabku singkat sambil meletakkan teh dan snack di atas meja dekatnya.
Tak tampak terkejut, "Apa karena temanmu?"
"Apa Aku pindah aja,ya?" Tanyaku yang justru buat Dia terkejut.
"Yaa jangan!" Jawabnya setengah teriak.
Aku hanya diam. Kulihat kaki Mas Alvin tidak berhenti bergoyang. Dia akhirnya bercerita kalau tahu rumahku dari Budhe Ambar, padahal Aku gak tanya dan gak mau tahu juga!
Karena Aku masih diam, akhirnya Dia pamit pulang. Aku mengantarkan Dia keluar, kulihat sopirnya sudah menunggu didalam mobil. Dia melambaikan tangannya dari balik kaca mobil yang setengah terbuka. Budhe Denok menepuk bahuku saat mereka pergi. Aku tahu salah satu penggosip ini akan bertanya hal yang membuatku muak. Aku langsung cepat masuk ke dalam dengan alasan harus mengerjakan PR.
Disekolah, Mas Alvin menungguku diluar gerbang. Bukan bermaksud kePDan tapi nyatanya, Dia tersenyum menghampiriku ketika Aku turun dari angkot. Kami jalan berdampingan ke arah kelasku tanpa mengatakan apapun. Di depan kelas Dia berdiri memperhatikanku yang disambut para munafik ini. Aku hanya tersenyum. Edo, ketua kelas memberiku selembar kertas yang isinya tugas yang harus kukumpulkan hari ini. Tanpa mendengarkan ucapan munafik-munafik itu, kukerjakan tanpa hambatan lalu mengembalikan ke Edo. Edo menanyakan apa Aku sudah mendapatkan kelompok belajar. Aku langsung menggeleng meski munafik-munafik itu mengatakan Aku masuk kelompoknya. Edo membuka catatannya,ada 2 kelompok yang masih kurang anggota. Edo menanyakan Selvi ketua grup dan menyambutku ketika Aku meminta ijin masuk grupnya. Seperti terlihat kecewa, Sandra dengan ketus berkata,"kamu kok gak mau masuk grup kita? Kan kita udah baik sama kamu?"
Dibalas Selvi," Masuk grup gak mesti harus baik dulu. Dia itu niat cari kelompok belajar,sama-sama belajar bukan mau ngajar."
Mereka dikenal karena kecentilan,banyak gaya dan minim nilai akademis. Masuk sekolah ini dengan urutan terakhir dan agak gak masuk di akal kenapa bisa masuk sekolah favorit ini.
Jam pelajaran dimulai, kami mulai duduk bersama kelompok yang sudah dibentuk. Masih 'protes'. ketika Pak Imam akan memberikan materi, Dewi mengangkat tangan, "Pak, ada anak yang tiba-tiba masuk grup. Kemarin Bapak kan yang pilih anggotanya"
Pak Imam memperhatikanku, "Kemarin Saya sudah minta tolong Edo buat carikan Sofia kelompok"
Muka Dewi terlihat kecewa. Mukanya melihatku sinis.
"Kemarin Sofia bolos.Pak." Kata Sandra.
"Dia bolos tapi masih bisa ngumpulin tugas,San. Kalau kamu yang bolos yaa tinggal kelas!" Sahut Dio disambut tawa yang lain. Pak Imam hanya tersenyum tipis.
Aku patut bersyukur sampai sini. Memang setiap istirahat Aku sendiri. Nggak pernah nongkrong seperti anak-anak remaja pada umumnya, tapi saat Aku dijatuhkan atau dihina selalu ada yang menghiburku.
Tugas kelompok sudah dibagi Selvi. Aku memperhatikan teman sekelompokku lalu mulai mengerjakan. Istirahat, Selvi minta kami untuk mengulang soal dan ada sesi tanya jawab. Hal yang menyenangkan bagiku.
Pulang sekolah, Selvi minta waktu kami untuk mengumpulkan tugas. Kami semua bekerja sama memeriksa tugas anggota lain dan saling berdiskusi sampai tidak terasa jam menunjukkan pukul 5 sore.
Diluar gerbang, semua anggota dijemput. Selvi dan Antok menawarkan untuk mengantarku pulang karena rumah kami searah tapi kutolak takut merepotkan mereka. Mereka juga mau menungguku sampai dapat angkot tapi tiba-tiba Mas Alvin datang dengan motornya sudah berganti pakaian. Dengan kaos ditutupi jaket dan celana selutut. Mereka pamit begitu tahu Mas Alvin akan mengantarku pulang. Aku menunggu mereka pergi baru kutolak tawaran Mas Alvin.
"Udah gak ada angkot jam segini, entar abis maghrib baru muncul lagi"
Aku berdiri dekat gerbang sekolah, Dia memarkirkan motornya didekat pos satpam. Pak Abeng,satpam sekolah juga mengatakan hal serupa dan meminta Aku untuk pulang bersama Mas Alvin.
Aku diam saja, karena tahu angkot akan datang. Benar saja, meski harus menunggu 15 menitan akhirnya angkot tujuan rumahku datang. Mas Alvin mengikutiku dari belakang. Sampai turun dari angkot, Mas Alvin berbalik arah.
Sikap orang yang kukira temanku itu justru makin memperlihatkan sifat buruknya. Ketika Aku menghampiri grupku, tiba-tiba kaki Sandra sudah menghalangiku sampai Aku tersungkur. Selvi dan Arif membantuku berdiri.
"Punya kaki kepanjangan tapi otak dangkal banget sih, San.. san!" Ucap Dio yang baru masuk kelas, melewati kami lalu duduk di bangkunya.
Aku bersihkan lututku di toilet. Rok pada tahun 2003 masih selutut tidak sepanjang sekarang. Saat akan kubuka pintu, seakan pintu ini terkunci. Aku gedor-gedor bahkan teriak tapi tidak ada yang menghampiri. Bel masuk berbunyi, Aku panik. Pintu kugedor sambil teriak. Tak lama suara seorang laki-laki,
"Tunggu, Aku panggil Pak Sabar buat bantu bukain!" Teriaknya, terdengar suaranya berlari. Pak Sabar salah satu staff yang membersihkan taman sekolah.
'Klek!' Pintu terbuka.
"Ayoo cepet masuk kelas, biar ini pintunya Saya benerin dulu"
Aku berterimakasih lalu berlari ke arah kelas. Di dalam kelas, Bu Siti terlihat khawatir melihatku yang mandi keringat.
"Kamu darimana?" Tanya Beliau. Aku langsung bercerita kalau terkunci di toilet tapi..
"Palingan pacaran,Buk!" Sahut Marsya. Suasana hening, hanya tatapan sinis terlihat ke arah Marsya.
"Permisi,Buk." Pak Sabar berdiri di depan kelas dihampiri Bu Siti. Cukup lama mereka mengobrol. Dio yang duduk di depanku memberiku air mineral dari botolnya. Aku berterimakasih lalu ku tunjukkan kalau Aku bawa botol minum.
Bu Siti kembali lalu menghampiriku memberikan dompet yang terjatuh saat Aku berlari ke kelas.
"Pak Sabar bilang ada yang sengaja ngunci Sofia. Kalau memang gak suka, apa harus sampai melakukan hal buruk seperti itu?" Bu Siti menatap kelompok Sandra dan kawan-kawannya sambil tersenyum tipis.
"Alangkah baiknya, bersaing sehat dengan cara belajar bersama atau bisa ambil kursus diluar jam sekolah" lanjut Bu Siti lalu melanjutkan pelajaran.
Kasak kusuk, gosip tanpa Handphone ternyata juga mudah tersebar dan sampai ditelinga Mas alvin. Pulang sekolah, Mas alvin sudah menunggu di depan kelas bersama Mbak Sena dan Mas Febri. Kelasku belum diijinkan pulang, kami mendapatkan materi tambahan tentang belajar mengelola emosi dan bagaimana menyikapi seseorang yang tidak kita sukai dari Bu Anggi, Guru BK. Satu jam lebih beliau memberikan kami materi, Sandra dan kawan-kawannya diminta diam di kelas sedang yang lain termasuk Aku dipersilahkan meninggalkan kelas. Aku disambut mereka bertiga. Mereka menemaniku keluar gedung sekolah.
"Kamu beneran gak papa,dek?" Tanya Mbak Sena. Aku tersenyum mengangguk lalu berterimakasih kepada mereka karena sudah mengkhawatirkan Aku. Kami mengobrol sampai angkot tujuan rumahku datang. Aku tersenyum melambaikan tanganku ke mereka.
Ufh, kulempar tasku ke atas kasur. Aku duduk di tepi kasur. Mama masuk melihatku lalu duduk disebelahku.
"Mama masih sanggup kalau kamu berat sekolah disana" Mama menjelaskan melihatku selalu tidak bersemangat sekolah disana. Apalagi banyak siswa dengan keluarga mampu. Mama bercerita kalau ingin bekerja di kota besar. Ada teman Mama yang ingin mengajak kerjasama berbisnis kue disana dan ada lowongan karyawan di pabrik Tapi entah kenapa, Aku merasa bukan sekedar teman.
Besoknya, lagi-lagi mereka nggak biarin Aku diem. Tiba-tiba mereka menumpahkan es teh ke arah bukuku. Beruntung bukuku diselamatkan Dio yang duduk di depanku. Tapi baju seragamku basah. Suasana kelas gaduh, Dio emosi melihat sikap sandra dan teman-temannya. Kata-kata kasar keluar dari mulutnya sampai harus dipegangin beberapa teman sekelasku karena Ia akan siap memukul. Kami berenam masuk ruangan BK. Dio, Aku, Inge, Sandra,Marsya,Dewi, semua menunduk mendengarkan nasehat Bu Anggi. Aku dan Dio keluar ruangan lebih dulu. Tanpa sadar Aku berulang kali mengucapkan terimakasih pada Dio sampai Dio bilang, "terimakasih sekali lagi, Aku suruh traktir! Kamu juga, harus pinter milih temen. Dari awal mereka cuma pengen manfaatin kamu"
Dia kemudian berjalan mendahuluiku ke arah kelas. Sebuah jaket tiba-tiba tergantung dibahuku. Mas Alvin berjalan cepat melewatiku. "Darimana Dia tahu kalau Aku di ruang BK?" Pikirku.
Aku melipat jaket Mas Alvin ketika sampai di bangkuku. Kami kembali fokus belajar. Sampai jam istirahat, mereka berempat masih belum kembali ke kelas. Dio yang daritadi keluar kelas dari bel istirahat berbunyi, kembali dengan sebuah seragam. Dia memintaku mengganti seragamku, Aku melihat tulisan harga di plastik tapi Dio mengatakan Dia bener-bener mau kasih. Aku kembali ke kelasku dengan seragam baru,sempat kulihat wajah-wajah sinis mereka berempat saat Aku melewatinya.
Sampai di rumah, Mama melihatku mengucek baju seragamku. Beliau heran,
"Kamu diganggu,Sof?" Mama mengambil baju seragamku lalu memperhatikan secara seksama. Nodanya sudah hilang.
Mama memanggilku ke ruang tengah, Beliau bersikeras akan pindah saat Aku naik kelas. Terlebih Beliau merasa tidak tenang Aku sekolah di tempat favorit dengan siswa-siswa yang keluarganya tergolong kaya.
Aku kurang semangat ketika masuk kelas, kelas yang kurasa cukup nyaman meski harus bertemu keempat orang menyebalkan. Aku melewati Dewi, kakinya sengaja diluruskan keluar meja agar Aku terjatuh. Kutendang cukup keras kakinya sampai Ia berteriak keras. Bukan khawatir, teman-teman sekelasku justru tertawa dengan sikapku. "Maaf" ucapku lesu lalu duduk ke bangkuku. Sandra membesar-besarkan sikapku dengan mengatakan kakinya akan patah atau akan melapor tindakanku. Aku hanya melihatnya lalu mengeluarkan bukuku.
"Lihat aja kamu bakalan di diskors" tambah sandra.
"Tenang aja, kelas 2 kita udah gak ketemu." Kataku sambil membuka buku pelajaran. Dio yang ada di depanku langsung menanyakan kenapa Aku pindah.
"Daripada kalian bertengkar, Aku yang mundur" ucapku tanpa melihat Dio. Dio akan beranjak keluar kelas tapi bel masuk berbunyi.
Hari-hariku sudah tidak semangat, mereka berempat masih sering menjahiliku tapi Aku selalu membela diri entah dengan cara ucapan atau tindakan kasar. Mas Alvin hanya lewat kelasku memperhatikanku saat jam istirahat. Pulang sekolah, Ia diam menemaniku menunggu angkot.
Hingga seminggu sebelum siswa kelas 3 Ujian Nasional. Mas Alvin datang ke kelasku duduk disampingku. Ku kembalikan jaketnya yang berminggu-minggu dalam tas ranselku karena lupa. Aku memperhatikannya, Dia terlihat bingung.
"Kenapa?" Tanyaku menutup buku menatapnya.
"Ehm..Kamu jadi pindah?"
Ufh.. kubuka kembali buku pelajaranku. Dia masih menunggu jawabanku. Bel berbunyi, Dia langsung keluar kelas. Dio memperhatikanku.
"Kenapa?" Tanyaku. Dia berbalik tanpa mengatakan apapun.
Ujian Nasional kelas 3 dimulai, Aku masih di rumah. Mama minta Aku beberes untuk bersiap-siap pindah rumah, pindah kota. Budhe Ambar yang sudah jadi teman dan seperti keluarga hanya memperhatikan kami membungkus perabotan dengan plastik dan kertas dengan wajah lesu. Rencana Mama, Aku akan tinggal disini sampai ujian kenaikkan kelas selesai. Nanti untuk surat kepindahan akan dibantu Budhe Ambar. Aku hanya tinggal bawa koper menyusul Mama.
Hari kedua Ujian Nasional Aku masih di rumah. Sampai Ujian Nasional kelas 3 berakhir, Kelas 1 dan 2 diliburkan. Budhe Ambar dan Mama sedang berjualan. Pintu rumah sore ini ada yang mengetuk.
Ku buka, Mas Alvin yang cukup kaget karena melihat beberapa perabotan sudah terbungkus rapi. Aku mau masuk ke dapur tapi Mas Alvin sudah membawa 2 jus apel, roti,2 botol air mineral dan 2 kotak nasi lengkap dengan sendok plastik. Dia ijin belajar disini.
"Apa? Mas, emang gak ada temen? Kok belajar disini!?"
Tanpa melihatku, Dia sudah menata makanan dan buku di atas meja dan duduk dilantai. Aku juga duduk di lantai, didepannya. Dia mempersilahkanku makan yang ia bawa. Aku masuk ke kamar mengambil buku dan pensil. Suasana hening. Dia belajar sambil menyendok nasi. Sesekali minum jus.
"Ini bukannya pelajaran kelas 1 ya?" Dia memberiku buku latihan UAN. Kulihat, benar ini soal kelas 1. Dia memintaku mengajarinya karena sudah lupa rumus tersebut. Dia pindah kesebelahku. Aku memberikan penjelasan dengan pelan-pelan lalu kulihat Dia justru memandang wajahku bukan ke buku. Aku bergeser sedikit menjauh, Dia langsung memperhatikan buku yang kupegang. Kembali kuulangi lagi menjelaskan ke Mas Alvin. Waktu berlalu, langit juga sudah gelap. Mama terkejut ketika masuk melihat kami berdua sedang bertengkar gara-gara rumus matematika.
Mas Alvin melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 8 malam. Dia langsung bergegas merapikan bukunya. Aku mengumpulkan bungkus plastik makanan dan botol air mineral yang sudah kosong. Dia pamit sambil membawa sekresek sampah makanan dan minuman tadi yang ia bawa ke dalam tong sampah di depan rumah. Dia pergi dengan motornya.
Mama langsung menanyakan Mas Alvin, aku hanya menjelaskan kalau Ia hanya kakak kelasku. Mama mengingatkanku untuk membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Aku hanya mengangguk.
Esoknya, Mas Alvin datang lagi ke rumah. Kali ini Mama duduk di ruang tengah, diam-diam memperhatikan kami. Sebelum pulang, Mama membawakan Mas Alvin cake buatannya.
"Ehm.. Tante, kalau boleh tahu kalian mau pindah kemana?" Tanya Mas Alvin sebelum pergi.
Secara singkat, Mama menjelaskan kalau mereka akan pindah ke kota kelahiran Mama tanpa menyebut nama yang membuat Mas Alvin sesaat terdiam lalu pamit pergi.
Mama berpesan agar Aku fokus belajar, terlebih umurku bukan waktunya memikirkan pacaran. Mama masuk ke dapur dengan wajah seperti menahan marah.
Hari pertama masuk setelah siswa kelas 3 Ujian, kami sudah dibekali pelajaran untuk persiapan ujian kenaikkan kelas. Mama sudah pamit pagi-pagi pergi lebih dahulu bersama sebagian barang-barang. Sebelum masuk kelas, Aku dipanggil Bu Anggi ke ruang BK. Beliau menanyakan perihal kepindahanku.
"Nggak ada kaitannya dengan masalah sebelumnya. Bu. Hanya kebetulan Kami pindah bersamaan setelah masalah itu." Jawabku.
Dio memperhatikanku ketika melewatinya. Kubuka bukuku.
"Kamu jadi pindahh?" Tanyanya. Aku jawab dengan mengangguk tanpa melihat wajahnya.
Waktu ujian tiba, Mas Alvin sudah tidak lagi muncul di hadapanku. Mama juga sudah mulai mengurus surat kepindahanku dari sekolah dan surat-surat dari RT/RW sampai kelurahan. Aku fokus untuk bisa tetap dengan peringkatku yang masuk 3 besar agar bisa mendapat beasiswa.
Ujian telah berakhir, rumahku hanya tinggal kasur dan koper serta kardus-kardus berisi barang-barangku. Kalau mau bertamu hanya ada selembar karpet ukuran 1x1 meter.
Pagi ini Aku masih masuk, tiba-tiba Edo memberiku sebuah kotak besar.
"Ini dari kami, maaf kalau kami ada salah kata atau sikap. Semoga kamu betah dan dapat banyak teman disana." Kata Edo, dia kembali ke bangkunya.
Aku melihat sekelilingku lalu berterimakasih. Mereka tersenyum sambil bersorak. Suara sempat gaduh dan berhenti saat Bu Anggi masuk.
"Kabar duka." Kata beliau membuat seisi ruangan langsung hening.
"Baru semalam Ibu dapat kabar kalau Inge kecelakaan dan yang buat Ibu sempat gak habis pikir. Dia nyetir mobil sendiri. Kondisi kritis. Tiba-tiba pagi ini, Ibu dapat kabar kalau Inge menghembuskan nafasnya subuh tadi. Semoga ini jadi pembelajaran bagi kalian. Di usia yang belum cukup umur, Ibu menghimbau kalian untuk TIDAK berkendaraan sendiri entah itu motor bahkan mobil sekalipun. Nanti kalian akan dibimbing oleh Pak Daru dan Pak Ilham untuk datang ke rumah duka. Untuk Sofia kalau memang waktunya mepet, bisa pulang terlebih dahulu karena ini juga hari terakhir kamu disini"
Aku putuskan ikut dengan teman sekelasku meski hanya 10-15 menitan. Kami bersiap diluar gedung sekolah naik 2 angkot ke rumah Inge.
Saat akan masuk rumah, tampak Mas Alvin dengan wajah sembab menyambut kami. Mas Alvin dan Aku sama-sama terpaku. Kulihat nama akhir inge dipapan karangan bunga sama dengan Mas Alvin. Ufh.. ternyata Dia kakak adik!
Aku lewati Mas Alvin, ku salami keluarga Inge sekaligus pamit pulang. Jenazah masih ada di rumah sakit. Aku pamit dengan teman dan guru-guru yang menemani kami sekelas. Salah satu guru menawarkanku untuk dibonceng sampai halte tapi kutolak halus. Cukup jauh dari rumahnya ke halte. Tapi hal biasa untukku yang terbiasa naik angkot. Mas Alvin mencoba menahanku, Aku langsung tepis kasar.
Ditengah jalan, Dio menyusul dengan motor tanpa helm. "Udah naik aja sampai depan" katanya.
Aku naik motornya karena satpam komplek memperhatikan kami. Di halte Dia bercerita kalau Mas Alvin sepupu Inge. Hari ini harusnya Inge mau minta maaf ke Aku. Dio tahu karena Dia juga sepupu mereka berdua. Ufh! Pantes segampang itu dia bisa pinjem motor Mas Alvin.
Sorenya Aku tiba di stasiun, Mas Alvin dan Dio berdiri di pintu masuk stasiun. Mereka langsung menghampiriku, membantuku membawakan koper tapi kutolak. "Percuma juga, kalian gak bisa masuk!" kataku ketus.
Mereka menahanku, ingin meluruskan kesalahpahaman.
Masih ada waktu 40 menit, kami duduk di kursi tunggu. Dio menjelaskan kalau Inge penasaran dengan perempuan yang dekat dengan Mas Alvin. Yang awalnya hanya penasaran justru jadi pembullyan karena ketiga temennya. Inge sudah berkali-kali diperingatkan untuk tidak berteman dengan ketiga temannya. Mas Alvin gugup mau mengatakan sesuatu tapi ragu.
"Kalau nggak ada lagi yang mau diucapin, Aku mau masuk dulu."
Dio dengan muka kesal memukul kepala Mas Alvin. Mas Alvin menggeleng kepala. Dio meminta kertas dan pinjam pulpen ke Aku. Kubuka tas ranselku. Mencari buku catatan lalu kurobek selembar kertas.
Dia menulis lalu memberikan kembali keduanya. Kulihat sebuah alamat dan nomer telfon rumah.
"Kalau kamu sampai sana. Jangan lupa kabari Aku. Kirim surat ke alamat itu atau telfon Aku.ya" kata Dio.
Aku pamit ke dalam. Dio masih pasang muka kesal ke arah Mas Alvin. Aku melambaikan tanganku ke arah mereka.
Sekolah baru, kelas baru, teman baru. Akan susah kembali untuk berkomunikasi. Sekolah komplek yang berdempetan dengan Sekolah Menengah atas. Kata Mama, "tinggal pindah ke sebelah aja kalau Aku lulus nanti" dan kubalas "nggak akan mungkin, Aku mudah bosan!"
Kulihat di gedung samping, Sekolah Menengah Atas sedang menyambut siswa-siswi kelas 1 dan di gerbang sekolah juga melakukan hal serupa. Ada pengumuman bahwa hari ini kelas 2-3 pulang lebih awal karena banyak diantara kami dan guru yang ikut proses Masa Orientasi Siswa. Aku masuk kelas di dampingi Wali Kelas, beliau memperkenalkanku disambut teriakan sekelas. Kulihat beberapa bangku kosong karena jadi kakak pembina. Beliau mengarahkanku ke bangku kosong di tengah. Aku menyapa mereka lalu duduk. Wali Kelas keluar, Aku menyalami depan belakang dan kanan-kiriku. Jauh berbeda dengan sekolahku yang lama. Mereka lebih terlihat ramah. Tidak ada istirahat, kami langsung pulang. Kelasku ada di lantai 2. Sebelum turun, Kulihat dari tempatku terlihat jelas gedung SMA sebelah.
"Disini kelas paling disukai" kata Erna yang berdiri disampingku. Dia menjelaskan banyak siswi yang Caper melalui gedung ini agar dinotice Siswa SMA. Aku menahan tawa. Kulihat siswa siswi kelas 1 SMA sedang berkumpul. Wajahnya tidak asing, mungkin karena sering melihatnya muncul tiba-tiba yang membuatku halusinasi.
Hari ketiga hingga hari minggu, kelas 2-3 diliburkan. Entah ada alasan apa. Aku juga belum tahu. Aku duduk di teras rumah. Rumahku paling pojok, depan dan samping rumah kosong. Rumah pojok sudah ujung jalan keluar. Kegiatanku selama libur, membaca dan nonton TV.
Hari pertama masuk sekolah, Aku terpaku di depan gerbang sekolah. Lagi-lagi kulihat seseorang yang mirip Mas Alvin di gedung SMA samping sekolah. Dia terburu-buru masuk gerbang sekolah sehingga Aku hanya melihat sesaat.
Di kelas, tidak seperti Sekolahku sebelumnya. Disini terlalu santai. PR dikerjakan saat masuk sekolah, kerja kelompok dikerjakan hanya orang-orang yang pintar sedang yang tidak mengerjakan akan presentasi di depan kelas. Tidak ada persaingan justru seperti memberikan rasa malas pada mereka yang memiliki nilai pas-pasan dengan memberi jawaban tugas yang harusnya dikerjakan sendiri.
Istirahat, beberapa teman mengajakku ke kantin. Kutolak halus. Rasa penasaran membuatku berdiri di luar kelas, disamping siswi-siswi yang juga memperhatikan siswa SMA dari gedung sebelah. Aku perhatikan satu persatu. Tapi yang kucari tidak terlihat. Kembali Aku masuk kelas.
Aku sengaja pulang ketika kelas sepi. Perlahan Aku keluar sambil memperhatikan gedung SMA sebelah yang juga mulai sepi. Aku berlari turun ke bawah. Berjalan ke melewati gedung SMA sambil sesekali memperhatikan siswa-siswa SMA yang ada di dalam gerbang dan diluar gerbang sekolah.
'Buuk!' Aku menabrak seseorang. Aku terpaku, mundur beberapa langkah. Kulihat Mas Alvin dengan berseragam SMA tepat berada di depanku. Dia tersenyum kepadaku. Aku melihat disampingnya ada Seorang siswi yang memegang tangannya sambil memasang muka cemberut kearahku. Kulewati mereka seperti tidak kenal. Mas Alvin menahanku, kulihat siswi disampingnya menatapku sinis. Kutepis tangannya dengan kasar.
Di pertigaan jalan arah rumahku, terlihat Mas alvin duduk diatas motornya depan rumahku. Sepertinya Budhe Ambar yang memberitahu alamatku.
Kutepuk pundaknya, Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku minta motornya masuk ke halaman rumah.
Masih sama-sama berseragam. Ku letakkan es teh dan cake di atas meja dekatnya. Dia sebelumnya minta maaf ke Aku karena beberapa kali hanya mengikutiku ke rumah tanpa menyapaku. Jadi Dia masuk sekolah di SMA disitu karena Budhe Ambar yang cerita, Dia tahu rumahku karena diam-diam mengikuti saat pulang sekolah. Aku garuk-garuk kepala meski tidak gatal. Terlebih saat bilang mengontrak rumah di perumahan yang berjarak 10 menit dari rumahku. Perumahan itu terkenal dengan harga sewa 3x dari sewa rumah disebelah rumahku.
"Kenapa sekolah disitu? Sekolah swasta dengan fasilitas bagus banyak. Terus kenapa juga ngikutin Aku? Kan bisa tanya Dio, Aku sudah kirim surat ke Dia."
Dia hanya menunduk, seperti ragu untuk menjawab.
"Mas. Jangan buat Aku gak nyaman." Lanjutku, Dia memandangku terkejut.
"Kalau nggak ada yang mau diomongin. Maaf,tapi Aku mau istirahat." Kataku sambil berdiri. Dia berdiri, "ehm.. itu Sof"
Aku diam,bingung.
"Itu Sof.." katanya dengan wajah memerah. Disitu Aku sempat berfikir ingin mengusir dengan kasar.
"Apaa?" Tanyaku pelan.
"Ehm.. Aku tahu kamu mau fokus belajar. Apa.. itu." Katanya Ragu.
"Udah.. kalau masih ragu, besok pagi aja ngomongnya" kataku udah greget.
Aku berjalan ke arah pintu, "Aku suka kamu" katanya membuatku berbalik tercengang. Kulihat wajah yang putih kini memerah. Pikiranku kosong, langsung kuusir dengan mendorong punggungnya ke arah teras. Langsung kututup pintu rumahku. Aku duduk di sofa ruang tamu bengong.
"Ak..Aku balik yaa" teriaknya dari balik pintu. Suara motor terdengar makin menjauh.
Semalaman Aku tidak bisa tidur nyenyak. Mama memperhatikanku,khawatir. Dia menanyakan keadaan sekolah baru dan juga teman-teman sekelasku. Ku ceritakan semuanya. Tapi tidak dengan Mas Alvin.
Mama ragu dengan ceritaku karena wajahku terlihat lelah. "Perutku kembung,Ma" jawabku. Mama terlihat khawatir dan kembali mengingatkanku untuk menjaga jarak dengan lawan jenis sampai Aku lulus SMA. Aku mengangguk.
Di gerbang sekolah, Aku melihat Mas Alvin berdiri diantara gedung kami. Dia tersenyum menghampiriku tapi gadis kemarin, yang nempel dengan Mas Alvin menghalanginya. Aku jalan cepat pura-pura tidak melihat mereka. Mas Alvin berjalan cepat,menahan tanganku. Beberapa Guru yang berdiri di depan gerbang sekolahku langsung menegur Mas Alvin agar tidak menggoda siswi di area sekolahku. Aku langsung masuk, sedang Mas Alvin masih ditegur guru-guru yang berada di depan gerbang sekolahku.
Dikelas, tiba-tiba Aku dikerumuni siswi teman sekelasku. Mereka menanyakan bagaimana Aku bisa kenal Mas alvin. Mereka mengatakan bahwa Mas Alvin tipe mereka. Laki-laki dengan kulit putih, tinggi tegap, memiliki senyum manis dan tampan. Aku mungkin sering melihatnya, jadi merasa biasa saja. Tampan darimana? Pikirku.
Aku menjelaskan ke mereka kalau beliau kakak kelasku di sekolah lama, justru membuat mereka berfikir kalau Mas alvin sengaja sekolah karena Aku.
Istirahat sekolah, Satpam sekolah berdiri di depan kelas memanggil namaku. Aku keluar, Dia memberiku sekresek jajanan. Di dalam ada secarik kertas, tertulis nama Mas Alvin dan sebuah pesan agar Aku berdiri di depan kelas menghadap gedung SMA. Aku mengikuti arahannya. Kulihat Mas Alvin melambaikan tangannya dengan berteriak namaku membuat siswa siswi di gedungnya dan di gedungku bersorak menggoda kami. Mukaku panas, malu. "Gila!" Gumamku masuk kelas. Sebelum Masuk kelas, sempat kulihat Mas Alvin diteriaki gurunya. Seperti anak kecil, mereka kejar-kejaran.
Selama pelajaran Aku tidak bisa konsentrasi. Sesekali teman-teman menggodaku. Sampai salah mengerjakan rumus ketika Aku mengerjakan soal di papan. Bu Sri langsung menegurku.
"Ufh.. kalau tidak bisa membagi waktu, setidaknya jangan pacaran."
Kuabaikan ucapannya, kulihat kembali soal yang ada di papan lalu kuhapus dan menulis kembali jawaban yang kurasa benar. Bu Sri telihat puas dengan jawabanku. Beliau mempersilahkan Aku kembali duduk.
Pulang sekolah, Aku harus melewati gedung sekolahnya untuk bisa ke halte. Kulihat Mas Alvin berdiri disamping gerbang dengan gadis yang sama. Aku pura-pura tidak melihat. Jalanku menunduk sampai tak sadar Aku kembali menabrak badan Mas Alvin. "Apa?" Tanyaku setengah berteriak. Dia hanya tersenyum.
Dia menawarkan untuk diantar. Aku langsung menolak. Gadis itu menahan tangan Mas Alvin. Mas Alvin memanggilku lalu memperkenalkan gadis itu. Dia bernama Amira. Badannya yang tinggi, rambut tergerai panjang dengan bando, bisa dibilang dia cantik dan memiliki tubuh yang bagus. Wajahnya terlihat terawat mulus tanpa jerawat. Mereka berdua terlihat serasi. Sedang Aku memiliki rambut panjang tapi Aku lebih suka mengikatnya dengan cara kugulung dibelakang. Aku pamit ke mereka. Mas Alvin menahan tanganku dan kembali mengenalkan Aku sebagai calon.. ehmm.. sepertinya telingaku salah dengar tapi ucapan Mas Alvin membuat Amira terkejut. Iya, Dia bilang , "Calon Istri"! Sepertinya kepala Mas Alvin terbentur pintu rumahku.
Aku berdiri di halte. Dia berdiri disampingku. Amira dengan mata yang berkaca-kaca pamit pulang lebih dahulu.
"Memang siapa yang mau jadi istrimu?" Tanyaku sambil melihat angkot yang lalu lalang didepan kami.
"Kamu gak mau jadi pacarku, yaa jadi istriku" jawabnya. Aku langsung masuk ke angkot tujuan rumahku, Dia ikut masuk.
Dia terus mengikutiku ke rumah. Mama melihat Mas Alvin dengan wajah tidak bersahabat lalu memperhatikan seragam Almamater Mas Alvin. Beliau memastikan nama sekolah Mas alvin. Terlihat wajah tidak suka Mama ke Mas alvin tapi masih berusaha menjamunya dengan baik.
Mas Alvin ijin belajar dirumah ke Mama. Dia lalu mengeluarkan buku-buku pelajarannya. Mau nggak mau yang biasa Aku istirahat setelah pulang sekolah harus menemaninya belajar. Aku masuk kamar mengambil buku pelajaran dan buku tulis. Mama hanya memperhatikan kami dari ruang tengah. Suasana hening. Sesekali Mas Alvin menanyakan soal yang kurasa Dia sebenarnya tahu jawabannya. Hanya saja sengaja ingin duduk disebelahku. Hmm.. ku perhatikan wajah Mas Alvin yang tidak memperhatikan penjelasanku tapi justru memperhatikan wajahku. Dia menahan tawa sambil mengatakan 'maaf'.
Hari sudah gelap, Mas Alvin pamit ke Mama. Mama langsung menegur Mas Alvin.
"Maaf, Mas. Ehm.. kamu pasti paham. Saya pengen Sofia fokus ke pelajarannya. Dia harus dapat beasiswa untuk bisa masuk kuliah impiannya."
"Saya kesini buat bantu Dia belajar,Tante. Saya paham maksud Tante. Tapi kalau nilai Sofia turun. Saya akan mundur." Tegas Mas Alvin.
Aku dan Mama saling pandang. Sepertinya Dia akan terus mengganggu pikiranku.
Ufh.. Setiap pulang sekolah, Mas Alvin sudah seperti guru privateku.
Minggu Pagi, kulihat jam dinding masih jam 5.30. Mama membangunkanku, Mas Alvin sudah di depan ingin mengajakku jogging. Tapi kutarik kembali selimutku. Mama masih berdiri disamping kasurku. Setelah mandi, Aku keluar dengan pakaian olahragaku. Kaos lengan pendek, celana panjang dan sepatu. Kami pamit ke alun-alun kota. Motor terparkir lalu Dia mulai peregangan. Aku hanya memperhatikan. Mas Alvin mulai berlari, tapi mataku ke arah jajanan di pinggir alun-alun. Aku mendekati penjual cilok. Setelah membayar, Aku berbalik. Mas Alvin geleng-geleng,heran. Aku duduk di pinggir Alun-alun, Mas Alvin berlari memutar. Selesai makan, Aku cari minum. Kembali ku lihat wajah Mas Alvin terheran-heran melihatku. 2 putaran sepertinya cukup untuknya. Aku mengajaknya pulang. Motor berjalan ke arah.. ehmm, ini bukan arah rumahku.
Dia mengajakku ke rumah kontrakannya. Memang dekat dengan rumahku. Tapi Aku ragu masuk ke dalam. Terlihat suasana sepi. Dia berbalik melihatku yang terdiam di dekat motornya yang terparkir di teras rumah. Tiba-tiba pintu rumahnya terbuka, seorang wanita paruh baya menyambutku dengan senyuman manisnya. Kuperhatikan, wajahnya mirip Mas Alvin.
Mas alvin memperkenalkan Beliau adalah Tantenya. Adik bungsu dari Mamanya. Aku mencium tangannya. Kami masuk ke dalam. Aku ragu masuk ke dalam, kucium kaosku. Kalau Aku yang mencium tidak ada bau.
Kami duduk di rumah tamu. Beliau langsung cerita silsilah keluarganya. Ayah Inge Adik kedua Mama Mas Alvin sedang Mama Dio Adik ketiga dari Mama Mas Alvin. Mama Alvin Anak pertama sedang Adik pertama dari Mas Alvin tinggal di luar negeri. Dilihat dari perabotannya sudah terlihat jelas kalau mereka dari keluarga kaya. Beliau, Tante Septi sendiri janda mati tanpa anak. Mama dan Ayah Mas Alvin meninggal saat Mas alvin berusia 10 tahun. Dia awalnya tinggal dengan keluarga Inge karena kakek nenek dan Tante Septi tinggal di luar negeri. Setelah Kakek Neneknya meninggal setahun lalu, Mas Alvin tinggal dengan Tante Inge. Sementara rumah mereka masih direnovasi, Tante dan Mas Alvin tinggal disini. Dari sini Aku juga sudah tidak ada niatan untuk memiliki perasaan dengan Mas Alvin.
Tante Septi lalu bercerita kalau namaku sering disebut. Beberapa kali Tante Septi ingin bertemu denganku. Beliau lalu menanyakan tentangku yang kujawab singkat kalau Mamaku single parent yamg saat ini bekerja di pabrik. Kadang shift tengah malam, seringkali shift siang dan juga Aku bercerita sedang mengejar beasiswa. Tante Septi justru tertarik dengan ceritaku. Ia bertanya kembali tentang rencanaku kuliah dimana dan nilaiku sebelum pindah. Beliau cukup terkejut dengan nilai yang kudapat dan menyarankanku untuk sekolah diluar negeri yang membuat Mas Alvin kesal. Tante Septi tertawa.
Beliau senang Mas Alvin memiliki partner belajar yang membuat keponakannya semangat belajar karena setelah orangtuanya meninggal, Mas Alvin sempat didiagnosa depresi. Meski juara kelas dan sesekali ikut lomba nasional, Ia terlihat murung dan tidak semangat. Mendengar cerita itu Aku merasa serba salah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, Aku pamit pulang. Tante Septi mengajakku makan siang bersama tapi Aku ijin harus pulang karena Mama akan bersiap berangkat kerja dan kunci hanya ada 1. Hari pertama sampai di rumah itu, Aku menghilangkan kunci cadangan.
Sampai di depan rumahku, Aku langsung bilang ke Mas Alvin agar tidak lagi datang ke rumahku. Dia terlihat kecewa.
"Sampai kenaikkan kelas" Ucapnya. Aku berbalik, "Aku yakin banyak yang tulus, baik, pinter dari Aku. Kita banyak perbedaan." Kataku langsung menolaknya.
Lagi-lagi Aku tidak tidur nyenyak. Wajahku sepertinya terlihat. Mama menatapku khawatir. Kembali beliau mengingatkanku untuk fokus belajar.
Di depan gerbang, Aku sempat melihat ke arah gerbang gedung SMA. Di depan kelas, Aku juga sempat melihat ke arah gedung sebelah. Pulang sekolah, melewati gedung SMA tanpa ada tanda-tanda Mas Alvin.
3 hari sudah Aku tidak melihat Mas Alvin di depan gerbang atau tidak juga muncul di hadapanku. Saat akan ke arah halte, Amira menghalangi jalanku. Ku perhatikan wajahnya, "rumahnya dimana?" Tanyanya.
Aku menatapnya bingung. Dia bercerita kalau 3 hari Mas Alvin tidak masuk sekolah, ada surat dari dokter yang menyatakan kalau Mas Alvin harus istirahat. Aku menolak memberitahukannya. Dia menahanku.
"Kamu cemburu?" Tanyanya. Melihat reaksinya, seperti ingin memulai drama ala-ala remaja yang sedang berebut seorang laki-laki. Kulihat sekeliling sekolahnya. Kulihat ada seorang guru keluar gerbang lalu aku berlari ke arahnya dan mengatakan kalau Amira sedang mengintimidasiku. Amira terkejut. Usut punya usut, ternyata guru yang kudekati adalah guru paling galak di sekolah itu. Ufh.. lega! Aku bisa pulang dengan tenang. Pikirku. Sedangkan Amira kena tegur didepan gerbang sekolah.
Saat di angkot, pikiranku kosong. Tahu-tahu minta sopir berhenti di depan perumahan Mas Alvin. Terpaksa turun. Aku terdiam melihat gerbang masuk perumahan lalu berjalan ke arah rumahku, 10 menit dari perumahan itu.
"Sofia" teriak seseorang dengan suara halus. Aku menoleh ke sebuah mobil dengan kaca setengah terbuka.
Tante Septi dari berbelanja buah-buahan untuk Mas Alvin. Dia beberapa hari demam. Dari pemeriksaan, Mas Alvin hanya butuh istirahat. "Kalian bertengkar?" Tanya Tante Septi sambil menyetir.
"Bukan Tante, tapi Saya minta Dia.. ehm Maaf sebelumnya Tante, terimakasih kalian sudah baik sama Saya. Tapi Saya sadar kalau harus mundur."
Muka Tante Septi heran lalu tersenyum. Beliau lalu bercerita kalau Ayah Mas Alvin juga sama denganku. Beliau datang melamar Mama Mas Alvin hanya dengan tekad dan otak. Beliau bekerja di perusahan kakek yang tak lain Ayah Mertuanya. Dengan tekun, perusahan dikelola dengan baik. Tante Septi bercerita, selama Aku santun dan memiliki tujuan hidup tidak akan masalah. Mereka juga akan menghargai pilihan hidupku.
Kami sampai di rumah, Aku membantu Tante Septi membawa belanjaannya. Mas Alvin dengan wajah pucat dan lesu duduk di depan TV membelakangi kami.
"Kamu sudah minum obat,Vin?" Tanya Tante Septi melewati ruangan. Mas Alvin duduk bersandar tanpa menjawab ataupun bergerak.
Di dapur, Tante Septi bertemu dengan ARTnya. Mbak ijah bercerita kalau Mas Alvin belum makan dan belum minum obat. Tante Septi memperhatikanku yang mengeluarkan belanjaannya. Beliau lalu mengambil piring dengan nasi dan lauk diletakkan diatas nampan dengan segelas air dan obat. Dia menyerahkan ke Aku. Beliau minta tolong karena Mas Alvin makan hanya 1-3 sendok hanya karena akan minum obat. Aku duduk disebelahnya. Ku letakkan nampan itu di atas meja di depannya. Dia terlihat pucat memperhatikanku seperti tidak percaya.
"Kamu gak halusinasi, itu Sofia" kata Tante Septi lalu kembali ke dapur.
Dia mengambil piring dengan gemetar. Hampir tumpah, Aku langsung ambil piring darinya lalu kusuapi Dia. Dia diam.
"Aku pulang sekarang kalau gak mau makan" akhirnya Dia mau makan, sempat beberapa kali Dia akan muntah. Aku membelai punggungnya. Kembali kusuapi Dia sampai akhirnya Dia minum obat. Sepertinya Obatnya buat Dia mengantuk. Aku lalu pamit pulang. Tapi Dia tahan. Dia minta sampai Aku tidur, kutolak.
"Kamu laki-laki. Kamu harus kuat, jangan manja!" Kataku, Aku beranjak pergi.
"Besok kamu kesini lagi. Gak?" Tanyanya.
"Ketemu di depan sekolah aja." Jawabku, wajahnya lesu mengharap Aku kembali. Kulihat Tante Septi ditengah pintu dapur juga seperti mengharap Aku kembali.
"Ufh.. gak janji Aku besok balik. Kalau ada PR, Aku gak kesini" kataku membuat Dia tersenyum.
Dirumah, Mama marah-marah karena khawatir Aku pulang terlambat. Aku cerita kalau dari rumah Mas Alvin. Dia sakit dan mengatakan kalau Aku sudah menegaskan untuk tidak ingin memiliki hubungan apapun selain berteman. Mama terdiam.
Esok harinya, pulang sekolah Tante Septi berdiri di dekat mobilnya mengobrol dengan Amira diantara gedung sekolah dan gedung SMA. Aku melewati mereka,pura-pura tidak melihatnya. Tante Septi memanggilku. Beliau menjemputku lalu pamit ke Amira. Amira ijin ingin menjenguk Mas Alvin tapi Beliau berkata Mas Alvin cuma ingin dijenguk Aku. Aku menyusul Tante Septi masuk ke dalam mobil. Diperjalanan, Tante Septi bercerita kalau Mereka habis check up kesehatan Mas Alvin lalu konsultasi ke dokter. Dokter mengatakan Mas Alvin besok sudah bisa kembali bersekolah. Demamnya juga sudah turun dan wajahnya sudah terlihat ceria. Dalam hati Aku berkata, "Sakitnya apa karena Aku tolak?"
Didepan pintu rumahnya, Dia memang terlihat baik-baik saja bahkan seperti tidak sakit. Dia menyambutku dengan ceria. Tante Septi pamit masuk ke dalam. Aku duduk di sofa melihat Mas Alvin yang duduk dibawah sedang mengerjakan tugas. Buku-bukunya berserakan di atas meja.
"Ini hari terakhirku kesini." Ucapku yang membuat wajahnya lesu. Aku berdiri, pamit. Mas Alvin mengejarku di teras.
"Kenapa?" Tanyanya kebingungan.
"Mas, Aku sekolah mengandalkan beasiswa dan bantuan dari pemerintah. Mamaku pernah berhutang buat beli beras. Mamaku memang nggak berharap Aku membalas semua yang beliau berikan tapi hanya ingin Aku bahagia tanpa berhutang. Dapat pekerjaan yang bisa membuatku hidup berkecukupan. Berbeda dengan Mas Alvin yang gak akan bingung besok makan apa. Mau sekolah tinggal pilih. Ke sekolahpun bisa naik mobil. Kita beda,Mas. Aku hanya bisa membalas kebaikkan Mas Alvin dengan doa. Maaf, Aku harus pulang sekarang."
Aku berjalan ke arah pagar, Mas Alvin menghalangiku keluar. Aku melihat Amira dari balik pagar. Mas alvin berbalik, mematap Amira. Dia minta maaf karena akan mengantarku pulang.
"Nggak" kataku. Tante Septi keluar, mempersilahkan Amira masuk dan menggandeng tanganku ke ruang tamu. Aku dan Tante Septi duduk di sofa memperhatikan mereka berdua yang tengah mengerjakan tugas bersama. 10 menit berlalu, Aku lalu pamit ke Tante Septi. Tangan kiri Mas Alvin menahanku. Aku memperhatikan wajah Tante Septi yang pasrah dengan sikap Mas Alvin.
Hari mulai gelap, tugas mereka sudah selesai. Tante Septi akan mengantar kami pulang tapi Aku menolak karena rumahku dekat dari sini. Mas alvin sudah keluar dengan menggunakan jaket dan membawa kunci motor. Ku pegang dahinya, dingin.
"Besok ketemu di sekolah." Kataku dibalas wajah lesunya.
Kami berempat mengantar Amira pulang dengan Tante Septi yang menyetir mobil. Aku dan Mas alvin duduk dibelakang mereka. Amira sesekali memperhatikan kami dari cermin mobil.
"Terimakasih,Tante." Kataku ke mereka. Mas Alvin menatapku lesu. Sebelum pergi, Tante Septi memberitahuku kunci rumah ada dibawah pot teras dekat kursi. Pantas saja lampu teras gelap. Sebelum menjemputku disekolah, Tante Septi sempat bertemu Mama untuk ijin mengajakku ke rumahnya.
Keesokkan paginya, badanku terasa remuk. Mama memegang dahiku, Aku demam.
Di puskesmas, Dokter mengatakan kalau Aku hanya demam. Beliau memberiku resep dan surat keterangan dokter. Aku tidak masuk sekolah. Siang hari Mama sudah berangkat ke pabrik, bekerja sebagai karyawan.
Jam 3 sore, seseorang mengetuk pintu rumah. Dengan malas dan tahu siapa yang datang, kubuka pintu dan memintanya duduk di kursi teras.
"Selain karena itu, apa lagi?" Tanyanya.
Tanpa menatapnya," ehm.. Aku.." Aku menarik nafas panjang, menunduk malu untuk bercerita. "Ehm.. Aku anak yang lahir tanpa tahu siapa Ayahku. Mama single parent tanpa menikah. Itu kenapa Mama mau Aku fokus belajar, jangan mikir hal lainnya terlebih laki-laki." Sesekali Aku melihat Mas Alvin.
Wajah Mas Alvin terlihat bingung. Dengan polosnya dia berkata, "Mukaku keliatan mesum,ya?"
Aku langsung tertawa. "Maaf" kataku. Aku menggigit bibir atasku agar tidak meneruskan tawaku.
Dia masih terlihat bingung. "kita seperti biasa, belajar. Ngapain punya anak?"
Tawaku lepas. Kuusap air mataku.
"Ehm.. mas." Aku garuk-garuk kepala meski nggak gatal.
"Mas, Aku ini anak yang lahir dari orangtua yang bergaul secara bebas. Mamaku juga gak akan sanggup kasih seserahan mahal ke keluarga Mas Alvin. Memangnya, keluargamu bisa menerima?" Tanyaku meyakinkan Mas Alvin. Mas Alvin ijin pinjam telfon rumahku. Handphone masih belum seperti saat ini. Tidak semua orang membeli. Aku memperhatikan Mas Alvin yang sedang berbicara dengan telfon rumahku.
Kami kembali ke teras. Dia pamit pulang. Setelah dia pergi, kuharap Dia sudah tidak menggangguku.
Keesokkan harinya, di jam istirahat. Lagi-lagi Mas Alvin meminta tolong satpam sekolahku untuk memberikanku sekresek snack dan sekotak susu beserta secarik kertas yang isinya sama seperti sebelumnya. Aku keluar kelas, Mas Alvin teriak menyebut namaku. Aku langsung masuk kelas dengan menunduk malu. Terdengar sorakakkan dari 2 gedung. Sebelum masuk kelas, dia juga berteriak. "KALAU KAMU BISA MASUK KULIAH FAVORIT, SIAP-SIAP KULAMAR JADI ISTRIKU" aku berbalik, tanpa sadar mengatakan
"Waah udah gila nih cowok!" 2 gedung makin bersorak. Mukaku memerah.
Selama pelajaran, guru-guru terus menggodaku.
"Ayoo.. semangat belajar!" Sambil menepuk pundakku. Teman sekelasku tertawa. Aku terus meyakinkan diriku untuk tidak terpengaruh dengan sikap Mas Alvin.
Tapi.. saat rapot tengah semesterku dibagikan, nilaiku jatuh. Dari 3 besar jadi peringkat 10 dan itu membuatku marah,kesal dengan diriku yang merasa gagal.
Pulang sekolah, masih pagi karena hanya membagikan rapot. Aku keluar sekolah melewati Mas Alvin dan teman-temannya yang sedang berkumpul. Aku benar-benar frustasi dengan nilaiku. Sampai meneriaki Mas Alvin yang seperti biasa menungguku.
"BERISIK, JANGAN GANGGU AKU LAGI!" Mas Alvin tercengang. Teman-temannya juga terkejut melihat reaksi berlebihku. Aku berjalan ke arah halte dan langsung masuk ke angkot. Andini menepukku,
"Ini bukan arah kerumahmu."
Aku menjawab, "gak papa. Pengen jalan-jalan aja." Tak lama, angkot berjalan. Angkot sudah masuk ke pemberhentian Akhir, Kami semua keluar angkot. Aku kebingungan mencari angkot ke rumahku.
Aku berjalan ke arah jalan raya lalu masuk gang. Sempat kulihat Mas Alvin duduk diatas motornya memanggilku. Tapi Aku buru-buru masuk ganh. Dia langsung tancap gas mendekatiku.
"Ini tempat terkenal gak aman. Kalau kamu marah, nanti aja" ucapnya pelan. Aku melihat sekeliling. Sepi. Aku juga tidak sadar berjalan kemana. Kuambil helm darinya. Mas Alvin sepertinya ketakutan dengan daerah ini, Dia langsung menaikkan kecepatannya meninggalkan tempat itu. Ditengah perjalanan, Mas alvin cerita kalau gang yang Aku lewati itu pernah bukan sekali kejadian ada siswi yang terbunuh dengan keadaan mengenaskan. Ehm.. pantes andini tadi sebelum turun memintaku segera mencari angkot lain ke arah rumahku. Dan ternyata daerah ini cukup jauh dari rumahku. Mas Alvin memberhentikan motornya di depan warung soto. Dia memintaku turun.
"Aku anter setelah makan." Kulihat Dia lahap memakan soto yang masih panas. Wajahnya yang putih bersih tidak bisa menutupi kalau soto yang Ia makan masih panas. Wajahnya sedikit memerah terkena uap kuah. Dia memberikan kode untuk Aku makan.
Selama perjalanan ke arah rumahku, Dia tetap diam. Cuaca panas membuat seragam bagian belakangnya basah. Kami akhirnya sampai depan rumahku. Mama akan berangkat kerja. Melihat Mas Alvin mengantarku, Mama minta masuk dulu. Mas Alvin melihatku.
"Sof, Alvin buatin es teh dulu. Cakenya ambil aja di kulkas. Baru buat tadi pagi. Tante pergi dulu yaa!" Mama setengah berlari. Biasanya bus pabrik berhenti di halte depan. Mas Alvin sempat menawarkan untuk mengantar Mama tapi ditolak.
Mas Alvin seperti kelelahan. Dia sampai tidak sadar kalau ini bukan rumahnya, Dia rebahan. Aku masuk ke dapur dan keluar membawa senampan es teh dan cake tapi Mas Alvin terlihat sudah tertidur. Aku ambil kipas angin berdiri. Ku arahkan ke Mas Alvin.
Aku duduk dibawah, es teh ku teguk sendiri sambil mengerjakan soal-soal dari buku latihan yang kubeli dari toko buku. Dua jam berlalu, kulihat Mas Alvin masih tidur nyenyak. Akhirnya kutinggal mandi. Setelah ganti pakaian, kulihat Dia duduk setengah sadar. Aku kembali masuk ke arah dapur dan keluar dengan es teh dan cake. Dia meminumnya dan meminta air mineral dingin.
"Lain kali kalau marah, jangan keluar kelas dulu! Kalau Aku gak ngikutin kamu, itu bapak-bapak yang ngikutin kamu dari kamu turun bisa aja ngelakuin hal buruk ke kamu!" Wajahnya marah. Aku hanya menunduk.
"Maaf" katanya lembut. "Aku beneran ketakutan kita gak bisa keluar dari situ" lanjutnya.
Aku akhirnya bercerita kalau nilaiku jatuh jauh. Ini kali pertama Aku turun diperingkat 10. Karena setiap hari teman sekelasnya dan guru-guru menggodanya setelah mendengar ucapan Mas Alvin. Mas Alvin merasa bersalah, berulang kali Dia minta maaf dan akan membantuku belajar tapi kuminta untuk bersikap tidak berlebihan lagi. Dia seperti tidak percaya, "jadi Aku masih boleh deket kamu?" Tanyanya meyakinkan.
Selama perjalanan ke arah rumahku tadi, Aku berfikir menerima saja sikapnya. Pasti hanya karena masa puber. Ketika Ia mendapat seseorang yang bisa membuatnya nyaman, Dia akan pergi dengan sendirinya.
Dia pulang dengan wajah ceria. Sebelum pulang, Dia berjanji untuk tidak bersikap berlebihan ketika di sekolah.
Aku membuka rapotku dengan nilai yang membuatku hampir teriak kesal. Aku menangis melihat nilaiku jatuh jauh.
Pagi-pagi, wajahku sembab. Tapi Aku harus berangkat sekolah. Aku meminta tanda tangan Mama, Beliau memperhatikan nilaiku. Berkali-kali kudengar nafas panjangnya. Aku hanya menunduk lesu duduk disebelahnya. Beliau memperhatikan wajahku.
"Kamu nangis gara-gara nilaimu jatuh jauh?"
Aku mengangguk. Beliau mengatakan bukan salahku tapi pikiranku yang mengerjakan soal dengan memikirkan hal lain. Mama memperingatkanku jika nilaiku jatuh tidak kembali ke tiga besar, Mama akan minta Aku berhenti sekolah.
Aku keluar rumah, mataku susah kubuka lebar. Kulihat Mas Alvin tersenyum menunggu diatas motornya. Mama yang sudah emosi melihat nilaiku seperti ingin melampiaskan ke Mas Alvin. Aku berbisik ke Mama, "Ini salahku"
Motor berhenti di depan gerbang sekolahnya. Aku langsung mengembalikan helmnya. Dia minta Aku langsung pulang atau menunggunya, karena hari ini Dia masih mengikuti ekstrakurikuler sampai sore. Aku mengangguk. Beberapa siswa-siswi melihat kami berdua. Aku fokus berjalan masuk dan sampai dikelas.
"Udah jadian?" Tanya teman-temanku tiba-tiba berkumpul mengelilingi bangkuku.
"Jadian apa,sih? Dia cuma temen. Rumah kita juga deket." Aku mengeluarkan bukuku. Seperti masih penasaran, mereka menanyakan tentang Mas Alvin. Aku hanya diam saja. Andini masuk ke dalam kerumunan dan menanyakan bagaimana Aku bisa pulang. Dia terlihat khawatir karena kemarin pandanganku terlihat kosong. Aku bercerita kalau Mas Alvin ternyata mengikuti angkot yang kunaiki yang membuat mereka makin tidak percaya kalau Kami hanya berteman.
"Kasiaaan Mas Alvin!" Celetuk Dewa yang melewati kerumunanku. Dia minta teman-teman yang berkerumun bubar. Aku berbalik menatapnya.
"Memangnya kenapa?" Tanyaku. Dia menjelaskan kalau posisinya itu Dia dan tahu sudah ditolak, Dia tidak akan menyusul.
Aku makin bingung bagaimana menyikapi Mas Alvin.
Pulang sekolah, Aku lupa ternyata hari ini Aku juga ada ekstra kulikuler. Akhirnya keluar dari gerbang sekolah bersamaan dengan siswa disebelah. Aku keluar perlahan sambil melihat ke arah gerbang sebelah. Kulihat Mas Alvin bercanda, tertawa dengan seorang teman perempuannya. Harusnya lega, tapi ini membuatku kesal. Perempuan itu naik ke motornya. Aku melewati mereka. Mas Alvin langsung mengusir temannya.
"Turun, turun, turuuun!" Ucapnya membuat temannya turun lalu memukul bahunya. Aku menunggu di halte, Dia tersenyum membersihkan helm yang sempat dipakai temannya dengan seragamnya.
Aku menahan tawa. Dia memperhatikan wajahku lalu memberikan helmnya. Sampai depan pagar rumahku, Aku minta Mas Alvin tidak ke rumahku lagi sampai nilaiku kembali naik. Tapi Dia mau mengajariku agar nilaiku kembali naik.
"Mamaku bisa makin emosi. Jadi tunggu sampai nilaiku naik"
Dia mengangguk tapi...
Pagi hari sudah duduk di ruang tamu minta ijin agar jadi guru privateku sampai nilaiku kembali. Mama bukannya marah tapi memberikan izin. Aku menatap Mama heran. Mama tersenyum, melambaikan tangan ke arah kami yang berangkat dengan motor.
Seperti biasa Dia menurunkanku di depan gerbangnya. Hmm.. teman-temannya menggoda kami. Aku langsung berjalan cepat.
Pulang sekolah, Aku melewati gedungnya. Sepertinya Dia masih belum pulang. Aku menunggu di halte. Seorang siswi dari kelas 3 sekolahku bertanya perihal Mas Alvin. Aku pernah dengar kalau Mas Alvin salah satu siswa terpopuler di sekolahnya dan sekolahku. Dari teman-teman sekelasku juga mengatakan kalau Mas alvin sengaja berteriak ke arahku seperti itu karena pernah dikirimi surat cinta dari kakak kelasku. Mereka tahu karena mendengar sendiri saat di kantin ketika siswi yang mengirimi surat tersebut menangis karena ditolak Mas Alvin.
"Maaf?" Tanyaku. Dia langsung mengatakan bahwa Mas Alvin sudah berpacaran dengan dengan temannya. Dia memperingatkanku untuk menjauhi Mas Alvin. Aku tercengang.
"Maaf? Kapan pacarannya ya.kak? Berangkat pulang sama Saya dan sekolah melarang kita untuk keluar sekolah kecuali keadaan terdesak."
Dia melotot. Teman-temannya menariknya. Mas Alvin datang berhenti di depanku.
"Mas Alvin punya pacar?" Suaraku cukup keras sampai terdengar orang-orang disekitar kami. Mereka memperhatikanku, Aku menatap mereka. Terutama Kakak kelasku yang Sok tahu.
"Iya." Katanya. Aku berbalik melihat Mas Alvin. Terdiam. Tangannya sudah menyodorkan helm ke arahku.
"Siapa?" Tanyaku dengan suara keras.
Dia bingung. "Yaa kamu!" Jawabnya membuatku cukup terkejut. Terdiam mematung.
"Ayoo cepet! nanti Mamamu marah kalau Aku anter kamu kesorean." Aku naik ke motornya melihat mereka yang juga terkejut dengan ucapan Mas Alvin.
Aku terdiam. Mas Alvin meminta maaf karena ucapannya tadi. Dia kesal karena melihat kakak kelasku yang semena-mena. Dia mengomel dan terus meyakinkanku kalau tidak dekat dengan siapapun bahkan tidak berpacaran.
Ku persilahkan Dia masuk. Kami belajar di ruang tamu.
Hari-hari seperti itu, sampai akhirnya kuterima rapot kenaikkan kelas. Mama yang mengambil rapotku. Aku menunggu diluar kelas. Ufh.. kenapa Aku dipanggil paling akhir?! Kulihat Mama mengobrol lama dengan Wali kelasku. Keluar kelas, Mama memelukku dengan wajah ceria. Kulihat rapotku. Aku kembali ke peringkat 3 besar. Mama langsung pamit pulang lebih dahulu karena harus pergi bekerja. Aku menunggu Mas Alvin di depan gerbang sekolahku. Seseorang menarik tanganku dengan kasar ke arah berlawanan dengan arah halte. Tapi Tante Septi memegangiku lalu memarahi siswi itu.
"Siapa kamu seenaknya narik-narik seragam Sofia?" Tanya Tante Septi dengan kesal. Siswi itu tanpa takut berkata kalau Aku merebut pacarnya. Aku pasang wajah heran. Tante Septi menatapku.
"Siapa pacar kamu?" Tanyaku. Dia menjawab sesuai perkiraanku. Tante Septi lalu memperkenalkan diri sebagai Tante dari pacar kakak kelasku itu. Aku menunduk menahan tawa. Dia salah tingkah, Mas Alvin berlari ke arah kami. Kakak kelasku itu sempat akan menghindar tapi Tante Septi memegang tangannya.
"Gimana sih, Vin?! Kamu pacaran dengan dua perempuan?" Tanya Tante Septi menahan tawa. Mas Alvin yang baru datang memasang wajah bingung. Disekeliling kami memperhatikan kami. Tante Septi mengajak kami bertiga ke sebelah gedung sekolahku. Disini cukup sepi. Beliau ingin masalah kami bertiga selesai hari ini juga yang membuatku dan Mas Alvin bingung. Aku merasa tidak ada masalah.
Beliau minta kakak kelasku yang menarikku tadi menjelaskan ke Mas Alvin. Dia hanya menunduk. Tante Septi menjaga jarak dari kami. Mas Alvin lalu bertanya padaku.
"Dia kira Aku pacarmu" Aku langsung membuang muka ke arah Tante Septi yang ternyata sedang jajan.
Mas Alvin langsung memperingatkan Dia agar tidak mengangguku. Dia dengan tegas mengatakan bahwa hanya Aku pacarnya. Aku tercengang. Dia menarik tanganku ke mobil Tante Septi. Membukakan pintu mobil, Aku naik di samping Tante Septi lalu membanting pintu mobil. Aku dan Tante Septi sesaat terdiam. Tante Septi mengatakan kalau Mas Alvin membawa motor. Kami ke arah rumahku.
Mas Alvin sudah duduk diatas motornya di depan pagar. Tante Septi harus pergi. Bukan masuk ke dalam rumah, Mas Alvin mengajakku ke toko perhiasan. Dia menunjuk sebuah cincin lalu menarik tanganku. Aku tarik kembali tanganku. Dia tarik lagi tanganku mencoba sebuah cincin ke jari manisku. Aku duduk setelah diukur jariku. Kuperhatikan sikapnya, bukannya makin mundur tapi makin menunjukkan keseriusan.
Setelah membayar, dia menyerahkan cincinnya. Aku sempat dengar beberapa pegawai mengatakan, "paling juga entar pisah. Namanya juga masih kecil. Belum tahu nikah kayak gimana!" sambil tertawa.
Didepan rumah, Aku bilang ingin liburan sendiri. Setelah rapot kenaikkan kelas dibagikan, kami semua diliburkan. Dia terlihat kecewa. Meski demikian, dia akan mencoba mengikuti ucapanku.
Aku rebahan di atas kasur. Ku lihat kotak cincin yang dibeli Mas Alvin. Mama masuk, terkejut melihat kotak perhiasan yang kupegang. Mama minta Aku kembalikan. Nilaiku harus naik lagi. Aku mengangguk. Ufh.. Aku sudah kelas 3.
Aku berdiri di papan pengumuman. Kulihat Aku kelas mana,sekelilingku bersama teman-temannya. Seseorang menepuk bahuku, Aku berbalik. Afni, Theo, Aris tersenyum.
"Kita sekelas. Kamu mau nggak, sebangku sama Aku?" Tanya Afni. Mereka tidak sekelas denganku ketika kelas 2 tapi Aku mengenal mereka karena prestasi mereka. Afni peringkat pertama, Aku kedua, Theo ke enam dan Aris ke delapan. Meski Theo dan Aris masuk 10 besar, mereka sering ikut lomba Nasional. Aku pernah melihat muka mereka bertiga dipajang di depan gedung sekolah. Aku baru tahu kalau rumah Theo dekat dengan Mas Alvin hanya beda 1 blok.
Bangku yang kurang kusukai, didepan. Aku duduk di bangku nomer 2 dari depan. Di depanku ada Aris dan theo. Akhirnya ada teman sepemikiran dan sama-sama menyukai baca buku atau hanya sekedar nonton di rumah. Mereka menceritakan kebiasaan di rumah dan ternyata kami banyak kesamaan. Istirahat juga salah satu dari kami ke kantin, sisanya kami bertukar pemikiran di kelas. Uang jajanku akhirnya naik. Keuangan Mama juga mulai stabil sejak bekerja di pabrik.
Setelah makanan datang, menghabiskan makanan dan minuman. Kami sempatkan di perpustakaan. Disana kami bertukar pemikiran. Hal yang sangat disayangkan jika nanti kami tidak melanjutkan ke sekolah yang sama.
Pulang sekolah, Theo menawarkan pulang dengannya. Afni langsung menyenggol Theo dan memberitahu Theo kalau Aku akan pulang bersama Mas Alvin. Theo seperti tidak peduli, Dia tetap mengajakku pulang bersamanya. Afni dan Aris pulang lebih dahulu, mereka harus berlari karena harus melanjutkan ke tempat kursus yang ada di seberang gedung sekolah kami. Theo dan Aku berjalan berdampingan. Di depan gerbang sekolah Dia kembali menawarkan pulang bersamanya. Aku langsung menolak. Dia tersenyum melambaikan tangan dari balik kaca mobil yang setengah terbuka.
"Siapa?" Tanya Mas Alvin dari belakangku, membuatku terkejut. Dia cemberut memperhatikanku yang diam. Kami berjalan ke arah motor yang terparkir di gang jalan masuk motor siswa SMA. Aku kembalikan kotak perhiasannya. Dia terlihat menahan marah.
"Apa karena cowok tadi?" Tanyanya yang membuatku berfikir Dia cemburu. Aku tertawa.
"Apa sih!" Aku pukul bahunya. Duduk dibelakang lalu mengenakan helm. Dia menengok ke belakang. "Udaah, ayoo jalan!" Kataku.
Terlihat wajahnya cemberut. Kami tiba di depan rumahku. Kukembalikan helmnya. Dia masih menunggu jawabanku.
"Dia temen belajarku." Ku letakkan helmnya di kaca spion. Aku mau masuk, Dia menahan tanganku.
"Kamu.. ehm, kita ini arahnya kemana?" Tanyanya membuatku geli mendengarnya. SMA aja belum, ini pakai acara drama remaja! Pikirku. Ku jelaskan kalau Aku masih mau berteman dengannya dan fokusku sekarang cuma beasiswa.
Fokus beasiswa? Sepertinya masa puberku datang. Kulihat Theo mengajariku, mataku fokus bagaimana Dia mengajariku. Berbeda dengan Mas alvin, Dia mengajakku berdiskusi dan menjelaskan dengan kata-kata yang mudah kuingat. Kami berempat berdiskusi dan ini sangat menyenangkan. Istirahat bergiliran salah satu dari kami ke kantin dan yang lain menunggu dengan berdiskusi. Seperti kemarin, setelah makan kami ke perpustakaan.
Pulang sekolah, mereka berdua seperti biasa harus ke tempat kursus. Theo berjalan denganku. Kali ini Dia mau mengajakku ke toko buku dan kebetulan Aku juga ada yang ingin kubeli. Jadi ku cari Mas Alvin. Theo berdiri disampingku, kami berdiri di dekat mobilnya. Aku menahan tawa, wajah cemberut Mas Alvin membuat sekitar kami juga menahan tawa melihatnya. Aku pamit pergi dengan Theo untuk beli buku. Theo sudah siap membuka pintu mobilnya. Tapi Mas Alvin akan mengantarku. Ku lihat Theo dan meminta maaf kepadanya. Aku gak mau ribut. Theo menahan tanganku saat Aku mengikuti Mas Alvin. Mas Alvin yang sudah jalan lebih dulu ke arah motornya, tidak sadar kalau Aku ditarik Theo. Mulutku ditutup tangan Theo. Theo memaksaku masuk ke mobilnya. Mobil pun berjalan. kulihat dari balik kaca mobil yang gelap, Mas Alvin terlihat kebingungan. Kulihat Theo yang duduk disampingku.
"Keliatan banget kalian kayak kakak adek. Dia yang ngejar Kamu duluan.kan?" Tanyanya. Aku menggaruk kepala meski tidak gatal. Kulihat ke depan. Di toko buku, Dia benar-benar membuatku nyaman. Begitu Aku minta bayar sendiri-sendiri, Dia tidak memaksa. Aku hanya melihat tempat penjual minum, Dia langsung mengajakku ke tempat minum. Awalnya Aku menolak, Dia bilang nggak buru-buru.
Kulihat dari mobil, Mas Alvin sudah duduk diatas motornya di depan pagar rumahku. Aku dan Theo turun dari mobil. Theo menahan tawa.
"Ngapain Mas capek-capek nunggu?" Tanyanya. Wajah Mas Alvin tidak bisa menutupi kalau Dia cemburu. Theo langsung pamit. Mas Alvin juga pamit pulang karena Aku mengatakan padanya kalau mau istirahat. Sebelum pergi, Dia kembali memberi kotak cincin itu. Memberiku waktu sampai Ujian Nasional. Dia mengatakan kalau memang sedang menungguku karena usiaku yang masih sangatlah muda. Dalam hati, "Dia juga masih dibawah umur? Gimana,sih?!"
Kuletakkan kotak cincin di laci meja belajarku. Aku tidak ingin nilaiku terperosok jatuh seperti dulu.
Aku tiba-tiba tersenyum sendiri memegang buku dari Theo. Theo memberiku buku latihan Ujian dan buku belajar bahasa inggris.
Di depan pagar rumah, pagi-pagi sudah ada Theo dan Mas Alvin. Sepertinya memang Theo sengaja menggoda Mas Alvin agar Dia marah. Theo membukakan pintu mobilnya, Aku menolak halus. Aku melewati mereka. Berjalan ke arah halte. Di halte, Theo berdiri disampingku dan Mas alvin mengikutiku dengan motornya. Aku minta Mas Alvin pergi lebih dulu. Aku dan Theo masuk angkot. Ini kali pertama baginya naik angkot. Dalam hatiku, "emang beda kalau kaya dari lahir." Dia awalnya mau membayar, uangnya 50 ribuan. Tentu saja ditolak, ini masih pagi. Akhirnya Aku yang membayar.
Didepan gerbang, muka Mas Alvin makin kusut. Kami hanya menahan tawa melewati Mas Alvin.
Dikelas, mereka berdua heran Theo bisa datang bersama denganku. Theo bercerita kalau rumahnya dan rumahku dekat jadi sekali jalan. Afni memperingatkannya kalau Aku sudah punya pacar lalu ditepis Theo kalau Aku tidak pacaran. Afni melihatku.
"Oh, Mas Alvin cuma anter jemput. Kalau ada Mamaku di rumah, Dia mampir jadi guru private dadakan." Jelasku nyengir.
"Tuh, kan!" Sahut Theo. Afni dan Aris makin penasaran dengan hubunganku dan Mas Alvin.
"Nggak pernah jalan-jalan bareng?" Tanya Afni.
"Hah? Ngapain jalan-jalan?" Tanyaku bingung.
Theo tertawa puas dengan jawabanku. Afni dan Aris sampai geleng-geleng. Kami melanjutkan diskusi kami kemarin.
Pulang sekolah, Mas Alvin berdiri diantara gedung sekolahnya dan gedung sekolahku. Begitu melihatku, Dia menarik tanganku. Aku meringis kesakitan. Dia membuka pintu mobil, Tante Septi hanya tersenyum ke Aku. Beliau menghidupkan mesin mobilnya.
Di jalan, Mas Alvin minta jemput. Ternyata Aku yang disuruh masuk. Tante Septi sampai tertawa cerita kalau keponakannya itu cemburu dengan Theo. Aku menahan tawa. Semalaman Mas Alvin mengomel menyebut nama Theo.
Mobil terparkir di teras rumah Mas alvin, Tante Septi harus pergi. Jadi begitu Aku turun dari mobilnya, mobil itu berjalan mundur keluar. Mas Alvin menepuk pundakku. Dia sudah ada di dalam ruang tamu daritadi.
Dia duduk disampingku. Suasana canggung. Dia berkali-kali menatapku lalu melihat ke depan sambil menarik nafas panjang.
"Kalau nggak ada yang diomongin. Aku pulang" kataku yang sebenarnya mengantuk.
"Jadi pacarku,yuk!" Katanya. Aku tercengang, geleng-geleng. Aku beranjak pergi tapi Dia menarikku untuk duduk. Kepalanya bersandar ke bahuku. Tangannya menggenggam erat tangan kananku. Terus merayuku agar Aku mau jadi pacarnya. Aku hanya diam saja. Gak ada perasaan apapun. Jantungku juga berdegup normal. Mataku mulai terasa berat.
"Mas, Aku balik dulu. Ngantuk!" Dia beranjak duduk. Mukanya memelas. Semakin Dia meminta, semakin mataku terasa makin berat. Kali ini Aku tidak bisa menahan untuk menguap lebar. Dia sampai menutup mulutku dengan tangannya.
Didepan rumah, Dia minta besok sudah ada jawaban. Aku diam lalu masuk ke kamar. Masih dengan seragamku, Aku tertidur.
Aku terpaksa pergi sekolah lebih pagi. Sampai sekolahpun hanya ada beberapa siswa. Aku sarapan di kantin. Bel Masuk berbunyi, Aku berjalan ke kelas dengan santai. Kelasku ada di lantai 3. Lebih terlihat jelas dari kelasku yang sebelumnya. Di depan kelas, mataku tiba-tiba ke arah gedung sekolah SMA. Melihat sekelilingnya lalu masuk ke dalam. Kukeluarkan buku pelajaranku. Theo dan Aris menyapaku. Afni diam memperhatikanku. Istirahat, giliranku yang ke kantin tapi Afni minta tolong Aris. Afni meminta Theo berhenti menggangguku. Theo merasa tidak ada niatan seperti itu. Mukanya memerah lalu mengalihkan ucapannya.
"Kamu ada rencana sekolah SMA.mana?" Tanya Theo. Aku menjawab akan sekolah swasta. Mama minta Aku benar-benar fokus untuk bisa kuliah dengan beasiswa dan menjauhi Mas Alvin. Afni dan Theo hanya saling berpandang.
2 minggu menjelang Ujian Akhir Nasional, Aku sudah disibukkan dengan latihan soal. Theo sering kerumahku untuk belajar. Di sekolah kami berempat juga lebih banyak fokus belajar. Hanya ada minum. Mama minta Mas Alvin tidak menemuiku karena Aku harus fokus belajar di sanggupi oleh Mas Alvin.
Ujian mulai, kali ini Aku benar-benar frustasi. Aku sekelas dengan Theo. Aris dan Afni sekelas dan kelas mereka ada di lantai bawah diseberang gedung kelas kami. Jadi kami sepakat selama Ujian hanya fokus berdua. Mereka juga ada kelas lagi setelah pulang sekolah.
Pagi ini Aku benar-benar gugup menunggu di depan kelas. Tangan Theo tiba-tiba menggenggam erat tanganku membuat semua siswa disekeliling kami berteriak. Aku langsung menarik tanganku. Mukaku terasa panas.
Selama Ujian Nasional, Theo ke rumah untuk belajar dan anehnya Mama bersikap biasa saja. Berbeda dengan menghadapi Mas Alvin
Ujian selesai, tidak dengan Aris dan Afni. Mereka makin sibuk belajar agar masuk sekolah SMA favorit. Theo mengajakku makan siang bersama. Dia mengatakan jenuh belajar. Tapi diluar gerbang, Mas Alvin memakai kemeja hitam dan celana panjang sudah menunggu dekat sebuah mobil hitam. Dia tersenyum ke arahku. Membukakan pintu. Theo tiba-tiba menyerobot masuk. Aku duduk dibelakang mereka. Kami mengantar Theo lebih dulu, Theo menolak.
"Kamu mau ganggu orang pacaran?" Tanya Mas Alvin kesal. Theo berbalik mengintipku lalu mengatakan, "Siapa pacarmu?"
Mas Alvin menghentikan mobilnya di depan gang blok rumah Theo. Dia minta Theo jalan kaki dari sini. Theo menggeleng karena berencana jalan-jalan denganku.
Aku menghela nafas panjang, Aku mencoba membuka pintu mobil. Mereka lalu diam memperhatikanku.
"Bisa minta tolong buka pintunya sekarang?"
Mas Alvin memundurkan mobilnya. Mobil berhenti di depan rumahku. Mereka berdua ikut turun. Aku minta mereka pulang, karena Aku sudah mengantuk.
Didalam, Mama tersenyum memberiku sebuah hadiah. Tanpa kue ulangtahun, Beliau memelukku dan mendoakan kesuksesanku. Beliau juga mengingatkanku untuk menjaga jarak dengan lawan jenis agar Aku fokus sekolah. Beliau lalu pamit pergi.
Malamnya,saat Aku menonton di depan TV dengan snack di tanganku. Seseorang mengetuk pintu rumah. Aku membuka pintu, sebuah buket bunga berbentuk keranjang dikirim ke rumah melalui kurir. Kulihat dari Theo dengan ucapan ulangtahun. Kututup pintu, Buket kuletakkan di atas meja sebelah sofa. Kembali Aku duduk didepan TV. Belum 5 menit Aku duduk, seseorang mengetuk pintu rumahku. Ufh.. mungkin Mas Alvin. Kubiarkan Dia mengetuk cukup lama. Sesaat terdiam lalu mengetuk kembali. Akhirnya mau nggak mau Aku buka pintu.
"Ngapain malem-malem disini?" Tanyaku ke Aris. Dia salah tingkah memberiku sebuah tas berisi kado. Tanpa pamit Dia lari keluar rumah. "Gak jelas!" Kataku melihatnya lari.
Di depan TV yang masih menyala, kukeluarkan isi dalam tas jinjing tersebut. Sebuah lampu tidur. Dengan pesan :
"Selamat bertambah usia. Semoga Kamu diterima sekolah yang kamu inginkan. Terimakasih sudah jadi temanku. Tapi kalau besok, Apa bisa jadi pacarku? Heheee"
Aku langsung robek kertas ucapannya takut Mama melihat tulisan ini.
Pagi-pagi Mama sudah marah. Untungnya sudah selesai pelajaranku disana. Tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Hanya karena sebuah kartu ucapan dari Theo yang belum kubaca. Isinya hampir sama dengan milik Aris. Aku hanya diam menerima kata-kata menyakitkan dari Mamaku sendiri. Masih diatas kasur dengan rambut berantakan beliau hampir 2 jam mengomel masalah hamil diluar nikah. Aku paham, Aku terlahir dari hubungan tanpa menikah dan harus fokus dengan belajar agar mendapatkan kehidupan yang layak.
Dengan lesu Aku keluar kamar. Kulihat keranjang bunga sudah masuk dalam tong sampah. Sobekan kertas berantakan disekitarnya. Mama pamit berangkat. Kubereskan rumah. Sampah ku masukkan dalam kantong sampah besar, kubuang ke tong sampah depan rumah. Mas Alvin memperhatikanku dari dalam mobilnya.
"Pulang sana, Aku habis dimarahi Mama."
"Kenapa?" Tanyanya dari balik pintu mobil.
"Dikira kita pacaran. Udah pulang sana, Aku lagi pengen sendiri."
Dia malah buka pintu mobilnya, mempersilahkanku masuk. Aku menggeleng lalu masuk ke dalam.
Sambil rebahan, ngemil di depan TV diatas sofa. Seseorang mengetuk pintu. Kubuka, Theo dengan senyumnya. Justru kupersilahkan masuk. Dia bertanya tentang sekolah dan rencana-rencanaku ke depan. Aku hanya menjawab semua sudah diatur Mama jadi tinggal tes aja. Dia bercerita rencananya ke depan lalu mengajakku keluar tapi ku tolak. Aku bercerita juga kalau habis dimarahi Mama karena mengira Aku berpacaran.
Wajahnya langsung terlihat lesu. Dia sempat ragu untuk berbicara. Hanya ada kata 'maaf' yang bisa Dia ucap.
Waktu berlalu, 12 tahun lalu Aku masih menggunakan seragam putih biru. Kini Aku berdiri di cermin dengan kondisi hamil. Sesekali kutarik nafas panjang. Seperti membawa ransel dengan banyak buku didepanku. Mas alvin tersenyum masuk ke kamar melihatku berdiri di depan cermin.
Hmm.. begini rasanya berkencan dalam kondisi hamil! Setelah Aku masuk SMA di kota besar yang jauh dari rumah. Aku mulai mandiri. Tinggal dikosan dan pulang sekolah bekerja, meskipun Mama juga masih membayar uang kost, harian dan keperluan sekolahku. Selama itu Mama tidak memberiku izin bertemu dengan orang-orang yang pernah menyatakan perasaannya. Bahkan tidak boleh memberitahu mereka dimana Aku tinggal saat itu. Tapi saat kuliah, Aku memutuskan kembali tinggal di rumah Mama dengan perjanjian tidak boleh bertemu dengan mereka. Mama juga memfasilitasiku HP dan motor.
Dijauhi justru satu kampus dan Mas alvin lagi-lagi jadi kakak pembinaku saat Ospek! Masih teringat jelas muka Mas Alvin seperti tidak percaya begitu tahu Aku jadi juniornya. Dia terpaku didepanku sampai-sampai teman-temannya menariknya. Aku hanya menunduk. Teman-temannya bercerita kalau Mas Alvin berkali-kali menolak perasaan cewek-cewek yang mau jadi pacarnya.
Sesuai janjiku ke Mama, Aku hanya fokus kuliah. Dan Dia pun juga menjaga jarak dariku. Meski wajahnya tidak bisa disembunyikan kalau sedang marah saat ada pria yang mengajakku ngobrol di kantin.
Aku lulus dengan nilai terbaik. Sedang Mas Alvin entah disengaja atau nggak masih harus tinggal di kampus itu.
Waktu berlalu setelah Aku wisuda. Kami kembali bertemu di Mall saat Aku dan teman-teman kantorku makan di dalam Mall depan kantor. Mas Alvin saat itu juga sedang istirahat. Ternyata kami bekerja di komplek perkantoran yang sama. Disini Dia mulai berani mendekatiku. Sekalinya datang setelah sekian tahun kami berpisah. Dia berani datang ke rumah bukan lagi mengajakku belajar. Tapi datang dengan Tante Septi dan mengingatkanku tentang kotak perhiasan yang dulu pernah Ia berikan. Aku sempat terdiam saat Dia mengatakan itu. Karena lupa kutaruh mana.
Mama mengajak ngobrol Mas Alvin dan tante Septi sedang Aku mencari di kamar. Kubuka laci meja samping tempat tidur, buka lemari. Kamar sudah kacau balau. Aku duduk di kursi disamping meja belajar.
Seseorang mengetuk pintu. Aku berbalik, Aku terkejut Mas Alvin diijinkan masuk oleh Mama. Kamarku sudah seperti kapal pecah. Aku hanya nyengir berusaha merapikan barang yang bisa kurapikan. Mas Alvin duduk di kursi meja belajar, Dia menarik laci meja belajar. Lalu memperlihatkan ke Aku. Aku terkejut. Baru ingat kalau kumasukkan ke dalam situ!
Singkat cerita, dari pertemuan itu tidak ada lagi acara lamaran. Karena Aku minta tidak ribet. Kami menikah di KUA lalu makan-makan dengan mengundang hanya teman-teman dekat. Sisanya, bawa souvenir untuk dibagikan ke kantor. Kami hanya cuti sehari, meski tanpa acara besar sudah buat badan kami lelah. Pulang dari acara makan-makanpun, kami masih kembali ke rumah masing-masing dan itu membuat Tante Septi dan Mama bingung. Karena Kami tidak seperti pasangan suami istri umumnya. Mas Alvin ternyata sudah menyiapkan rumah untuk kami berdua yang masih dalam perumahan dekat rumahnya, tapi Aku minta kalau berbagi waktu tinggal dengan Tante Septi dan Mama.
Hari kedua pernikahan baru kami tinggal bersama di rumah yang disiapkan Mas alvin. Awal canggung karena kami tidak pernah sedekat ini. Hanya sehari kami bisa tidur tenang berdua, setelahnya kami disibukkan dengan pekerjaan. Aku pergi kantor, Dia masih tidur. Aku sudah tidur, Dia datang. Terus seperti itu sampai bulan pertama pernikahan kepalaku pusing,mual di pagi hari. Saat itu Kami tinggal di rumah Tante Septi. Tante Septi yang memperhatikanku langsung ke kotak obat lalu memberiku testpack compact. Aku langsung meyakinkan Tante Septi kalau tidak mungkin hamil. Mas Alvin hanya terpaku diam. Aku teriak di kamar mandi setelah beberapakali meyakinkan kalau itu garis 2 yang masih samar.
Pintu digendor-gedor Mas Alvin. Aku keluar, wajah Mas Alvin sudah panik. Tidak demikian dengan Tante Septi yang sudah tahu hasilnya. Beliau memelukku lalu menghubungi Mama.
"Kita kecepetan.ya?" Tanya Mas Alvin. Dengan pikiran yang kosong, Aku menatap Mas Alvin.
"Kita belum honeymoon!" Aku menangis keras membuat Tante Septi yang duduk di depan kami tertawa.
Pertama kali pacaran sekaligus honeymoon dalam kondisi hamil dengan usia kandungan 21 minggu.
Putih Biru dan abuku mungkin tidak kunikmati seperti remaja pada umumnya. Tapi Aku amat berterimakasih kepada Mama yang benar-benar memperjuangkan kehidupanku. Beliau kini dengan kebahagiaannya. Meski sekarang tinggal sendiri, beliau sering jalan bersama teman-temannya sampai keluar kota. Aku juga hidup layak dan berkecukupan bersama Mas Alvin yang sabar menungguku hingga kami bisa menjadi keluarga.