Detak Rindu di Setiap Gerbong serasa berjalan di atas pecahan kaca,ya.., sangat menyakitkan.
Malam itu, gerbong kereta terasa bagaikan peti mati yang berjalan.
Dinginnya bukan cuma menembus kulit, tapi juga merasuk sampai ke tulang sumsum, membekukan setiap sisa harapan yang masih menempel di hati gue. Di luar jendela, hanya nampak pemandangan dari siluet bayangan bayangan hitam yang berlalu-lalang begitu cepat, seolah ikut buru-buru melarikan diri dari kesedihan yang memenuhi rel kereta malam itu.
Bunyi roda kereta yang berderit, sumpah...., kayak senandung lagu gugur bunga yang kadang di nyanyiin saat pemakaman, dan itu terus-menerus kaya kaset yang di ulang-ulang di otak gue, nyanyiin lirik itu lagi dan lagi: Betapa hatiku,Takan pilu...,telah gugur pahkawanku..., Ampunnn,Lirik yang sekarang, entah kenapa, terasa begitu personal, begitu menyayat nggak-nggak lebih tepatnya kaya merinding gitu.
Malam itu Gue pulang. Bukan, ini bukan kepulangan yang gue inginkan. Ini lebih cocok di bilang pelarian. Pelarian dari kota yang pernah jadi saksi bisu setiap tawa dan janji manis. Kota yang kini, rasanya, cuma punya reruntuhan kenangan pahit. Ya,Kenangan tentang kamu, tentang kita, yang kini cuma jadi debu di dalam hati. Gue udah coba bertahan, mencoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi akhirnya, hati ini menyerah. Terlalu berat menanggung semua beban sendirian.
Di bangku seberang, gue ngeliat ada seorang ibu-ibu yang cukup tua, Rambutnya putihnya udah kayak kapas, tangannya kurus agak keriput, tapi genggamannya pada tas kain lusuh itu kuat banget, seolah tas itu satu-satunya sandaran dia di dunia ini. Matanya, ya ampun, matanya itu lho. Kosong, tapi keliatan banget penuh dengan kilatan cerita yang nggak bisa di ucapkan,emh..kaya sedang membayangkan sesuatu yang entahlah.
Dia menatap keluar jendela, ke arah kegelapan yang sama denganku, tapi gue yakin apa yang dia lihat itu jauh lebih kelam dari siluet-siluet pohon dan bayanga-bayangan yang gue lihat. Entah kenapa, kesedihan dia itu kayak gelombang, narik gue ke dalam pusaran duka yang lebih dalam.
Iseng, gue buka ponsel, nyari lagu Franky & Jane.gak tahu kenapa rasanya gue Pengen banget dengerin lagu itu sampai kuping gue panas, sampai hati gue mati rasa. Dan pas lirik, "Pada Ayah yang menunggu, pada Ibu yang mengasihiku..." itu sampai,nggak tahu kenapa gue nggak bisa nahan lagi rasanya lagu,suasana hati gue,serta keadaan kereta malam itu ,di tambah ibu-ibu tua yang duduk di sebrang gue itu,rasanya kaya cocok banget sama lagu nya. Air mata ini langsung aja netes ,gak gak bukan cuma netes tapi keluar deras banget,kaya bendungan yang selama ini tertahan dan baru aja jebol.
Ini bukan cuma air mata buat diri gue yang patah hati, ini juga buat ibu di seberang sana. Gue yakin, di balik tatapan kosong itu, ada sepasang mata Ayah dan Ibu yang menunggu, yang mungkin sudah lama menutup mata tanpa sempat bertemu.
"Nangis, Nak?" Suara ibu itu, serak dan rapuh, tapi menusuk. Sumpah, gue kaget pas ibu itu nanya, buru-buru gue nyeka pipi yang basah kuyup.
"Eh, maaf, Bu. Saya Nggak apa-apa,Bu" gue berusaha senyum, tapi rasanya malah kaya jadi ringisan.
Ibu itu balas senyum, senyum yang getir banget gue ngerasa di balik senyum nya itu ada banyak luka yang dia pendam,gimana gue bisa tahu? Ya,karna gue juga gitu persis kaya ibu itu.
"Nggak apa-apa kok,Nak kalau emang mau nangis. Kereta malam ini emang tempatnya air mata. Ibu juga sering nangis di sini,tapi itu dulu, sekarang paling sesekali aja nggak sesering dulu"
Tanganku otomatis terhenti di layar ponsel,ketika ibu itu bicara seperti itu.
"Maksud Ibu?"tanyaku dengan nada sedikit penasaran tapi bukan kepo loh.
"Dulu pas masih agak muda, Ibu sering pulang kampung naik kereta ini. Sama kayak kamu sekarang,tapi dulu ibu seneng banget kalo naik kereta ini malam malam" suaranya makin lirih, kayak bisikan angin.
"Ibu punya anak perempuan. Cantik. Pinter. Baik hati. Anak Ibu itu... suka banget sama bintang jadi ibu seneng kalau pulang naik kereta malam sama dia.mungkin KLO dia ada di sini usianya sama kaya kamu" Dia menatap ke arah jendela, ke gelapnya malam yang cuma dihiasi bintik cahaya jauh.
"Setiap kali kita naik kereta ini, dia selalu nempel di jendela, minta Ibu ceritakan setiap bintang. Dia percaya, setiap bintang itu punya ceritanya sendiri."
Nggak tau kenapa hati ku itu kaya di remas remas saat mendengar ibu itu cerita. Dinginnya gerbong mendadak jadi kaya musim dingin di kutub Utara,menusuk banget. Tatapan mata ibu itu berubah. Dari kosong, kini jadi penuh rindu. Rindu yang sakit. Ada cinta yang tumpah ruah di sana, tapi juga duka yang rasanya nggak akan pernah bisa kering.
"Tapi sekarang..." Ibu itu berhenti, menelan ludah. Suaranya pecah.
"Bintangnya ibu udah pulang ke langit. Pulang duluan,bahkan dia pulang lewat tempat ini,tempat yang dia sukai banget,dia pulang bahkan sebelum Ibu."
Deg....dada gue sesak, perih. Rasa sakitku sendiri yang tadinya sebesar gunung, mendadak jadi kerikil kecil dibanding luka ibu ini. Seorang ibu yang jiwanya terkoyak karena kehilangan anaknya. Seorang ibu yang mungkin setiap detik hidupnya, masih melihat wajah putrinya di antara taburan bintang di langit gelap. Perihnya rindu seorang ibu, siapa yang bisa menandingi?.
satu hal yang penting banget tiba tiba terlintas di otak gue,dulu sekitar 10 tahun atau lebih kayanya nya deh, gue gak inget persis soalnya gue masih bocil waktu itu,gue pernah denger ada kejadian kecelakaan kereta api dan kerta yang gue naikin saat ini adalah kereta api yang waktu itu ngalamin kecelakaan,tapi tenang aja sekarang ini kereta api nya udah normal kok kan udah di perbaiki, pokok nya kecelakaannya parah banget sampe nelen korban jiwa yang lumayan banyak. Pas gue denger cerita ibu ini kok gue jadi kepikiran kecelakaan kereta waktu itu ya,atau jangan-jangan anak ibu ini salah satu korbannya ,entahlah,yang pasti gue gak mau,gak-gak bukan gak mau tapi lebih kek gak bisa bertanya ,gue takut ibu itu inget kejadian itu lagi.
"Ibu masih sering naik kereta ini,sendirian?" tanyaku, suaraku nyaris nggak terdengar.
Ibu itu mengangguk pelan. Ada tetesan air mata yang mengalir di pipi keriputnya. "Ibu masih suka naik kereta malam. Biar rasanya kayak masih sama dia. Biar rasanya, dia masih di sini, di bangku ini,lagi nunjuk bintang-bintang. Biar rasanya dia nggak pernah pergi."
Air mataku kembali mengalir, lebih deras dari sebelumnya. Kali ini, bukan hanya untuk diriku sendiri. Ini untuk ibu ini, untuk setiap ibu di dunia yang merindukan anaknya, untuk setiap rindu yang tak akan pernah bisa tergapai, bahkan dalam mimpi sekalipun. Perjalanan ini, bukan lagi cuma tentang aku yang patah hati. Perjalanan ini, adalah tentang bagaimana rindu bisa jadi beban paling berat di hati, bahkan sampai membuat kita merasa dingin di gerbong kereta yang seharusnya hangat. Bagaimana rindu bisa membekukan jiwa.
Ketika kereta mulai melambat, tanda sudah mendekati stasiun tujuan, ibu itu menatapku lagi. Ada ketenangan yang begitu mendalam di matanya, seolah ia sudah lama berdamai dengan luka yang begitu dalam.
"Kamu pulang ke siapa, Nak?"
"Ke orang tua, Bu," jawabku, lirih.
"Untuk mencoba mencari diri sendiri lagi. Untuk mencoba sembuh."
Ibu itu tersenyum, "Syukurlah kalau kamu masih punya tempat untuk pulang. Jangan pernah sia-siakan. Rindu itu, Nak, beratnya bisa sampai ke tulang. Dan kalau tulang itu sudah membeku, sulit sekali untuk mencairkannya."
Aku hanya bisa mengangguk, tenggorokanku tercekat. Ketika pintu kereta terbuka dan kami berpisah di tengah keramaian stasiun yang riuh, aku menoleh ke belakang. Ibu itu berjalan perlahan, punggungnya sedikit membungkuk, melangkah menjauh, menghilang dalam kerumunan.
Di bawah temaram lampu stasiun, dia terlihat seperti siluet sendu, terus membawa beban rindunya sendiri yang tak berkesudahan.
Aku melanjutkan langkah, masuk ke dalam hiruk pikuk orang yang saling menyambut. Tapi entah kenapa, gerbong malam itu, tatapan mata ibu tadi, dan setiap detak rindu yang kami bagikan, membekas dalam. Perjalanan ini memang dingin, dan rindu memang berat, sanggup membekukan hati. Tapi dari sana, dari pertemuan singkat yang menyayat itu, aku belajar, bahwa bahkan di tengah patah hatiku sendiri, masih ada rindu dan luka yang jauh lebih dalam, yang mungkin tidak akan pernah tersembuhkan. Dan itu, justru membuat perjalanan pulangku terasa lebih... pahit, namun juga lebih bermakna. Seolah-olah, gerbong malam itu adalah cermin yang memantulkan segala rasa sakit dan rindu yang manusia bisa rasakan.