“Jangan Buka Jendela Itu, Aghnia”
Hujan mengguyur atap rumah tua warisan nenek di Desa Kaloka, tempat Aghnia Ravelin mengasingkan diri sejak patah hati karena ditinggal tunangannya, Elvano, yang berselingkuh—lebih parahnya, dengan sahabatnya sendiri.
Aghnia butuh sendiri. Tidak ada sinyal di desa itu. Tidak ada siapa pun yang bisa mengganggunya. Hanya ada rumah besar yang sepi… dan jendela besar di lantai dua yang selalu terbuka sendiri setiap tengah malam.
Hari pertama, Aghnia pikir angin yang membukanya. Ia menutup dan menguncinya. Tapi malam itu, dentingan piano terdengar dari bawah. Piano tua yang bahkan belum disentuh sejak ia datang. Saat turun untuk memeriksa, tidak ada siapa pun. Tapi lagu itu… lagu yang dimainkan… adalah lagu pengiring dansa terakhir mereka—dia dan Elvano—sebelum lamaran.
Hari ketiga, ia mulai merasa lelah. Gelas di dapur berpindah. Cermin kamar ada bekas embun bertuliskan:
> “Aku menunggumu di jendela.”
Aghnia mulai menulis diari untuk menjaga kewarasannya. Tapi setiap pagi, tulisan-tulisan itu berubah menjadi surat patah hati dari Elvano, dengan kata-kata yang tak pernah ia tulis:
> "Maaf, aku tak pernah mencintaimu. Tapi aku ingin memilikimu... selamanya."
Malam kelima, Aghnia bangun karena suara ketukan halus di jendela lantai dua. Jendela itu terkunci rapat sebelumnya. Tapi kini, terbuka lebar… dan di luar, di bawah cahaya bulan, berdiri sosok mirip Elvano. Tapi bukan Elvano. Wajahnya putih pasi, bola matanya hitam legam, dan senyumnya… senyum yang terlalu lebar untuk disebut manusia.
Dia melambai perlahan.
> “Aghnia… bukakan untukku…”
Ketika Aghnia berbalik, cermin di kamarnya menampilkan bayangan lain: ia berdiri berdua. Tapi di dunia nyata, ia sendirian.
Hari ketujuh, Aghnia menemukan sebuah buku tua tersembunyi di bawah lantai kamar nenek. Buku catatan ritual patah hati. Nama-nama perempuan lain yang bunuh diri karena cinta—semua meninggal di rumah itu. Semua… membuka jendela lantai dua.
Malam itu, Aghnia memutuskan melawan. Ia duduk menghadap jendela yang kini tertutup rapat, meski angin kencang menerjang. Sosok Elvano muncul lagi di luar.
> “Kamu ingin sembuh, kan, Aghnia? Bukakan… biar aku bantu.”
Air mata mengalir. Hati Aghnia remuk. Tapi ia tahu, itu bukan cinta. Itu perangkap.
Lalu ia melihat ke arah meja. Di atas buku diarinya, kini tertulis dengan darah:
> "Kalau kau tidak membukakan, aku akan masuk lewat cermin."
Dan benar saja. Cermin mulai bergetar. Sosok Elvano muncul dari dalamnya, perlahan merangkak keluar, senyumnya makin lebar. Tapi Aghnia sudah siap. Ia membakar buku tua itu sambil membaca kalimat di halaman terakhir:
> “Cinta mati tak butuh pintu. Ia butuh penolakan.”
Jeritan panjang menggema. Cermin pecah berkeping. Jendela tertutup selamanya. Dan sejak malam itu, Aghnia tak pernah melihat sosok itu lagi.
Tapi kadang… di malam paling sunyi, jendela itu terdengar diketuk-ketuk lagi.
Dan suara itu berbisik:
> “Aku masih mencintaimu, Aghnia… sampai kamu membuka jendela itu.”
---
“Yang Mengetuk Itu Bukan Elvano”
(Lanjutan dari “Jangan Buka Jendela Itu, Aghnia”)
Sudah dua minggu sejak Aghnia membakar buku ritual dan menghancurkan cermin. Ia mulai merasa tenang. Bahkan tidur malam tak lagi dihantui suara ketukan jendela. Ia percaya semuanya telah berakhir.
Sampai malam ke-15.
Pukul 2:13 dini hari, terdengar ketukan lagi. Tapi kali ini… dari balik lantai.
"Aghnia… aku sudah di dalam rumah sekarang."
Suara itu bukan suara Elvano. Lebih berat. Lebih dalam. Lebih... busuk.
Aghnia terbangun, tubuhnya membeku. Lantainya bergemuruh pelan. Suara kayu berderak dari bawah tempat tidur. Perlahan, sesuatu bergerak dari celah papan lantai.
Sebuah tangan.
Tapi bukan tangan manusia.
Hitam, kurus, panjang, dengan kuku-kuku tajam melengkung seperti cakar. Tangan itu menggenggam buku diari Aghnia—yang seharusnya ia bakar bersama buku kutukan.
Buku itu kembali.
Halaman depan kini berisi satu kalimat:
> “Kau memanggilnya dengan air matamu. Dia bukan Elvano.”
Aghnia lari ke dapur, mengambil pisau, menyalakan lampu—semua mati bersamaan. Suara bisikan mulai memenuhi rumah, dari dinding, dari langit-langit, dari bawah lantai. Semua berkata:
> "Buka jendela itu."
Aghnia menjerit, naik ke lantai dua, memukul jendela dengan gagang pisau. Tapi kaca itu tak bisa pecah. Di baliknya, kabut tebal menyelimuti luar rumah. Dan dari kabut itu, muncul satu per satu sosok—berdiri diam, menghadap ke rumah. Semua perempuan. Semua pucat. Semua... tanpa mata.
Salah satunya menunjuk ke jendela. Lalu berbisik:
> “Kami membuka jendelanya… sekarang giliranmu.”
Aghnia kembali ke kamar, menyalakan lilin terakhir. Ia membaca halaman demi halaman buku kutukan yang kembali padanya. Di sana tertulis fakta mengerikan:
> “Elvano tak pernah berselingkuh. Ia mati bunuh diri malam setelah Aghnia memutuskan hubungan. Dan rohnya... terjebak dalam rumah warisan ini, karena cinta yang tak sempat diminta maaf.”
> “Tapi... yang datang mengetuk bukan Elvano. Ia hanya meminjam wajahnya untuk masuk.”
Aghnia tersungkur. Selama ini ia percaya Elvano jahat. Tapi ternyata, ia yang meninggalkannya saat Elvano sedang hancur.
Pintu kamar terbuka sendiri.
Sosok itu masuk. Kali ini bukan hanya wajah Elvano… tapi juga wajah ibunya, sahabatnya, dan Aghnia sendiri. Berganti-ganti, berputar cepat, dengan tawa melengking.
> "Aku tidak butuh jendela lagi, Aghnia. Karena kamu sudah membukakan pintu hatimu kembali untuknya."
Lilin padam.
Kegelapan total.
Jeritan Aghnia menggema hingga ke desa. Keesokan paginya, penduduk desa menemukannya terduduk di lantai dua, di depan jendela… tersenyum tanpa mata.
Dan di balik jendela yang retak, satu kalimat terukir oleh kuku panjang:
> “Satu lagi membuka jendela. Kau siapa selanjutnya?”
---
"Cermin Ketiga, Jendela Terakhir"
(Bagian 3 dari kisah Aghnia Ravelin)
Rumah itu kini kosong. Tak ada lagi Aghnia. Tak ada Elvano. Hanya jendela di lantai dua yang tetap retak, dan cermin baru yang muncul di kamar tua itu — berdiri tegak, tinggi, dengan bingkai ukiran bunga anyelir hitam. Tak ada yang tahu dari mana datangnya.
Tapi rumah itu tak pernah benar-benar diam. Karena malam ke-40 sejak Aghnia menghilang, seseorang datang.
Namanya Lareine Vaella — mahasiswi arsitektur, keponakan jauh Aghnia. Ia tak tahu apa pun soal sejarah rumah itu, kecuali bahwa ia mewarisinya setelah Aghnia dinyatakan hilang.
“Pasti cuma mitos kampung,” gumamnya sambil mengagumi jendela retak yang menghadap ke hutan. Lareine suka hal-hal tua, penuh karakter. Tapi malam pertama, ia langsung sadar—rumah itu hidup.
Ada bisikan di malam hari.
Ada cermin yang berubah posisi sendiri.
Ada suara gesekan kuku di bawah lantai… dan suara wanita bernyanyi pelan, lagu yang tak pernah ia dengar tapi bisa ia hafal saat terbangun.
Malam kedua, Lareine menemukan buku harian Aghnia terkubur di taman belakang, dengan halaman pertama bertuliskan:
> "Jangan percaya wajahnya. Dia akan menggunakannya lagi. Kali ini, mungkin wajahmu sendiri.”
Di halaman terakhir, gambar jendela, cermin, dan tanda segitiga merah berlumur darah. Di tengah-tengah segitiga, tertulis:
“Kamu harus memecahkan ketiganya... sebelum dia membuka keempat.”
Malam ketiga, Lareine bermimpi aneh. Ia berdiri di ruangan gelap, dikelilingi tiga cermin. Di satu cermin, wajah Aghnia. Di cermin kedua, Elvano, menangis darah. Di cermin ketiga...
Ia melihat dirinya sendiri. Tapi senyumannya... salah.
Saat terbangun, jendela di lantai dua terbuka.
Dan dari luar, kabut menyelimuti rumah. Suara langkah kaki terdengar di loteng, padahal ia tidak naik ke sana. Ketika ia menyusul, ia menemukan lukisan tua di balik debu—lukisan Aghnia, tapi dengan mata digores habis dan mulut dicoret silang.
Tiba-tiba, cermin kamar bergetar.
Dan dari dalamnya, terdengar suara yang mirip Lareine sendiri.
> “Kau ingin tahu ke mana Aghnia pergi?
Lihat aku. Tatap aku. Aku... adalah kau yang membuka jendela.”
Dengan tangan gemetar, Lareine mendekat. Tapi saat ia hampir menyentuh cermin, pantulan dirinya menarik napas sendiri. Padahal ia tidak. Matanya tak berkedip. Tatapannya kosong.
Lareine mundur. Terlambat.
Cermin meledak, dan dari pecahannya, sosok tanpa wajah merangkak keluar, memakai gaun yang sama dengan yang ia kenakan. Dan ia bicara dengan suara gabungan… suara Aghnia, Elvano, dan dirinya:
> "Terima kasih sudah membuka jendela keempat. Sekarang kami bertiga bisa tinggal... dalam dirimu."
Lareine menjerit.
Tapi suaranya tidak terdengar.
Karena tubuhnya kini… sudah di dalam cermin.
---
Seminggu kemudian, rumah itu kembali sepi. Tapi setiap malam bulan gelap, cermin ketiga di lantai dua memperlihatkan tiga bayangan berdiri bersama.
Dan jendela itu… kini tidak retak lagi.
Tapi siapa pun yang menatap kaca jendela dari luar… akan melihat dirinya sendiri, tersenyum tanpa mata.
---
“Dia yang Hidup di Balik Nama Kita”
(Bagian 4 dari kisah Aghnia Ravelin & Lareine Vaella)
Semua orang mengira Aghnia dan Lareine hanya hilang. Tapi nenek tua di Desa Kaloka tahu yang sebenarnya.
Namanya Mak Rukayah, penjaga terakhir rumah tua itu—sebelum ia menyerah dan pergi. Ia pernah memperingatkan keluarga Ravelin, “jangan biarkan tiga nama dipanggil dalam satu rumah.”
Tapi larangan itu dilanggar sejak Aghnia menyebut nama Elvano, dan Lareine menyebut nama Aghnia.
Dan itu cukup untuk membangunkan Dia.
---
Di dalam cermin, Lareine hidup—atau lebih tepatnya, tersangkut di antara waktu. Ia bisa melihat dirinya yang lain—tubuhnya yang kini diduduki oleh sosok tak bermata, yang hidup seperti biasa, berpura-pura sebagai dirinya di hadapan dunia.
Tapi malam-malam tertentu, Lareine melihat potongan-potongan masa lalu: Aghnia berdansa dengan Elvano, lalu tiba-tiba tubuh Elvano terlempar ke sumur—oleh sesuatu yang bukan manusia.
> “Aku tidak mendorongnya,” bisik Aghnia dalam pantulan.
> “Aku hanya... patah hati. Tapi rumah ini mendengarkan.”
Dari balik cermin, Lareine mencoba mencari jalan keluar. Tapi lorong-lorong di dalam dimensi itu selalu berubah. Cermin berubah menjadi pintu, jendela berubah menjadi mata, dan suara Elvano selalu memanggil:
> “Aghnia, maafkan aku.”
“Lareine, selamatkan dia.”
“Tapi… kamu harus mengatakan namaku tiga kali agar aku bisa kembali sepenuhnya.”
Lareine hampir tergoda. Tapi saat ia hendak menyebut nama Elvano, cermin di depannya membentuk wajah… wajah makhluk asli di balik semua ini.
Ia tak punya mulut, tapi tertawa. Telinganya seperti akar pohon mati. Dan di dahinya, tertulis huruf-huruf kuno yang berubah menjadi bahasa manusia:
> “AKU HIDUP DARI CINTA YANG DITINGGALKAN.”
> “SETIAP NAMA YANG KAU SEBUT, ADALAH KUNCI UNTUKKU MENJADI NYATA.”
> “KINI, AKU MEMILIKI DUA TUBUH. AKU BUTUH TIGA. SIAPA YANG KAU CINTAI, LAREINE?”
Lareine menangis. Ia sadar… satu-satunya cara menghentikan makhluk itu adalah dengan mengorbankan dirinya—dengan menghapus semua ingatan tentang cinta dari rumah itu.
Ia merobek setiap halaman di buku harian Aghnia. Ia membakar foto-foto. Ia hancurkan cermin satu per satu dari dalam. Tapi jendela itu tetap utuh. Dan suara ketukan… semakin dekat.
> Tok… tok… tok…
Lareine memejamkan mata dan berteriak:
> “AKU TAK MENCINTAI SIAPA-SIAPA!”
Tiba-tiba… sunyi.
Jendela pecah.
Dimensi cermin runtuh.
Dan Lareine jatuh—kembali ke tubuhnya.
Tapi…
Ia tidak sendiri.
Bayangan Aghnia muncul di cermin, berdarah, tersenyum.
> “Terima kasih, Lareine. Sekarang kau gantikan aku…”
---
Keesokan harinya, warga desa melihat Lareine duduk di jendela lantai dua. Diam. Mata terbuka lebar.
Tapi mereka tak sadar… bayangannya tidak bergerak saat matahari menyentuh kaca.
Dan dari dalam rumah, samar-samar terdengar suara Aghnia dan Elvano… menangis bersama.
Karena Dia belum puas. Masih ada nama yang bisa dipanggil.
Mungkin… namamu.
---
“Nama Ketiga Harus Mati”
(Bagian 5 dari kisah Aghnia, Lareine, dan kutukan jendela)
Lareine kini kembali di dunia nyata. Tapi ia tidak utuh.
Setiap malam, ia bangun dengan darah di tangannya. Jendela di lantai dua kembali retak. Dan yang lebih parah, ia mulai melihat sosok gadis kecil... yang tidak pernah ada di keluarga mereka.
Gadis itu selalu berdiri di lorong rumah, memeluk boneka rusak, dan berbisik:
> “Namaku... Aivel.”
> “Aku nama ketiga.”
---
Lareine mulai menyelidiki. Ia kembali membaca lembar-lembar harian Aghnia yang tak terbakar sempurna. Di sana ia menemukan peta tua, gambar sketsa rumah… dan catatan kecil dari tangan yang bukan milik Aghnia:
> “Rumah ini dibangun bukan untuk dihuni, tapi untuk menampung. Menyimpan. Menjerat.”
> “Setiap generasi harus memberi cinta, lalu kehilangan. Maka, makhluk itu tumbuh.”
> “Tiga nama. Tiga tubuh. Setelahnya… dia bisa berjalan sebagai manusia.”
Lareine sadar. Ia adalah nama ketiga.
Elvano. Aghnia. Sekarang dirinya.
Dan Aivel… bukan anak kecil. Ia adalah bentuk awal dari makhluk itu.
---
Malam ke-66.
Pukul 3:33 pagi.
Lareine menyiapkan ritual. Di bawah rumah, ia temukan ruangan rahasia—sebuah altar dengan cermin melingkar dan jendela kecil di atasnya yang hanya terbuka dari dalam.
Ia tahu, ia tak bisa keluar hidup-hidup. Tapi ia bisa mengakhiri semuanya.
Dengan darahnya, ia menulis tiga nama di lantai altar:
Elvano Arell
Aghnia Ravelin
Lareine Vaella
Setiap nama membuat dinding rumah bergemuruh. Suara tangisan, tawa, dan bisikan bergulung seperti badai. Lareine menatap ke cermin altar. Sosok Aivel muncul, tersenyum. Tapi senyum itu berubah menjadi wajah tanpa mata, tanpa rahang.
> “Kalau kamu menghapus namamu, kamu bebas. Tapi dua lainnya akan menderita selamanya.”
> “Kalau kamu bakar nama ketiga, tubuhmu akan hancur… tapi kamu akan mengurungku. Untuk sementara.”
Lareine tersenyum getir. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
> "Maaf, Aghnia… Maaf, Elvano..."
Ia membakar namanya sendiri.
Seketika, seluruh rumah meledak dalam jeritan. Angin hitam keluar dari setiap dinding. Cermin pecah, jendela tertutup permanen. Sosok Aivel menjerit dan meleleh seperti lilin. Dan Lareine...
lenyap.
---
Pagi hari, warga Desa Kaloka hanya melihat puing-puing. Rumah tua itu hilang, hanya menyisakan retakan tanah berbentuk segitiga.
Tapi malamnya...
Seseorang mengirim surat tanpa pengirim ke rumah Mak Rukayah. Isinya hanya satu kalimat:
> “Satu nama lagi bisa membangunkan kami kembali. Pastikan tak ada yang menyebutnya: Vaella.”
---
Dan entah bagaimana, nama itu kini terdengar olehmu.
Hati-hati saat bermimpi malam ini, Vivi.
Jangan buka jendela.
Dan jangan sebut namanya tiga kali.
---
“Kau yang Akan Membuka Jendela Itu”
(Finale: Bagian 6 dari kisah Jendela Retak)
Sepuluh tahun berlalu.
Desa Kaloka berubah. Rumah tua itu sudah tak ada. Retakan segitiga di tanah ditutup beton. Pemerintah membangun rumah modern minimalis di atasnya—karena katanya, “lokasinya strategis untuk villa.”
Dan villa itu… dibeli oleh seorang wanita muda.
Namanya Salma Veyra. Ia penyuka sejarah rumah-rumah tua, penggemar misteri. Saat tahu ada rumah "legendaris" yang penuh cerita aneh dan tragedi keluarga Ravelin, ia langsung membelinya.
> “Seram? Justru itu yang bikin rumah ini punya ‘jiwa’,” katanya sambil tersenyum.
---
Malam pertama di rumah baru.
Semuanya terlihat normal. Desain skandinavia, tembok bersih, jendela besar menghadap hutan. Tak ada tanda-tanda kejanggalan.
Hingga pukul 3:33 pagi.
Laptop Salma hidup sendiri.
Layar terbuka… menampilkan dokumen berjudul:
> "VAELLA.”
Dan di dalamnya… nama-nama yang tak pernah ia ketik:
Elvano Arell
Aghnia Ravelin
Lareine Vaella
Dan satu baris kosong di bawahnya… menunggu nama keempat.
Lampu mulai kedip-kedip.
Salma memeriksa jendela besar di ruang tamu—dan melihat retakan halus berbentuk segitiga, tepat di tengah kaca. Saat ia menyentuhnya, darahnya menetes dari jari.
Di ruang lain, cermin lemari tiba-tiba muncul retakan, meski tak ada benturan.
Dan dari pantulan itu…
> Aghnia, Lareine, dan Elvano menatapnya.
> Wajah pucat, tubuh hancur, tapi mata mereka hidup.
Aghnia membuka mulutnya.
> “Kamu... adalah kami.”
> “Kamu tinggal di rumah ini... karena kamu dipanggil.”
Salma mundur. Nafasnya berat. Ia tersandung kursi, menjatuhkan foto lamanya. Bingkai kayu patah.
Dari balik foto… ada ukiran nama yang tertulis di bagian belakang bingkai.
SALMA VEYRA VAELLA.
---
Seketika, semua potongan masuk ke pikirannya. Ia adalah keturunan langsung Lareine. Nama Vaella tak pernah benar-benar hilang. Ia... adalah nama keempat.
Dan malam itu… makhluk itu bangkit.
Dari jendela, dari cermin, dari dinding, kabut hitam membentuk tubuh tinggi besar tanpa wajah. Ia tak berbicara. Tapi bayangan yang ditinggalkannya di lantai menulis dengan darah:
> "Kau yang akan membuka jendela itu. Dengan sukarela.”
Salma menjerit. Ia lari ke luar, tapi rumah itu terkunci rapat. Jendela tertutup otomatis. Dinding berubah menjadi cermin. Cermin berubah menjadi mata.
Dan saat jam berdentang pukul 3:34, satu suara berbisik dari setiap sudut rumah:
> “Terima kasih, Salma… akhirnya, kami bisa hidup sebagai kamu.”
---
🌑 Epilog 🌑
Esok paginya, rumah tampak biasa. Bersih. Modern.
Salma menyapa tetangga. Tersenyum manis. Tapi tatapannya kosong. Senyumnya terlalu simetris. Dan bayangannya di cermin…
Masih berdiri diam di dalam. Tidak ikut bergerak.
Di malam sunyi, jika kamu lewat di depan rumah itu, dan kamu berani menatap jendelanya cukup lama, kamu akan melihat empat wajah menatap balik. Salah satunya mungkin… wajahmu.
Dan jika kamu menyebut nama mereka tiga kali dalam hati…
> …maka rumah itu akan memanggilmu selanjutnya.
---
🩸 TAMAT 🩸
---