suara bel pagi menggema di seluruh penjuru SMA Nawasena. siswa-siswi berlarian ke kelas, beberapa masih sempat membeli jajanan di kantin, sementara sisanya hanya fokus pada satu hal -- menghindari Gerly Princessa Avyandra.
“cepat! simpan handphone-nya! itu gerly!"bisik salah satu siswa sambil buru-buru menyembunyikan ponselnya di balik buku pelajaran.
langkah gerly tegap dan penuh percaya diri titik serag•gamnya rapi tanpa celah, dasinya terikat sempurna dan papan nama ketua OSIS tersemat anggun di dada kiri. pandangan matanya tajam menyapu orang sekolah, memastikan tak ada pelanggaran yang luput dari pengawasannya.
gerly bukan siswa biasa. Ia ibarat simbol kedisiplinan sekolah. Tegas, pintar, dan terlalu sulit didekati. Tidak ada yang berani macam-macam... Kecuali satu orang
Brakk!!
Suara pintu belakang sekolah terbuka keras. Seorang siswa berjaket hitam dengan celana seragam digulung seenaknya melangkah masuk, headphone menggantung dileher, dan tatapan mana yang menantang dunia.
“Dirga Putra Gebriantara," gumam Gerly pelan, wajahnya langsung berubah dingin.
Dirga menatapnya sekilas lalu berjalan santai melewatinya seolah tak peduli
“sudah jam masuk. Lo terlambat,” kata Gerly dengan nada tegas, tangan bersedekap.
Dirga berhenti di depan gadis itu, menatapnya dari atas kebawah. “ dan Lo... Masih nyebelin kayak dulu."
Gerly mendengus pelan, menahan emosi. Tidak, dia tidak boleh terpancing. Tapi satu hal yang tak bisa ia sangkal—dirinya bahkan belum siap untuk berita yang lebih mengejutkan lagi hari itu.
Dan itu datang dalam bentuk satu kalimat sederhana dari wali kelas mereka:
“Gerly, Dirga. Setelah pulang sekolah, kalian dipanggil ke ruang guru. Ada yang harus disampaikan orang tua kalian.”
Gerly membeku.
Sementara semua mata di kelas langsung beralih menatap mereka berdua—antara penasaran, geli, dan sebagian lagi tampak siap menyebarkan gosip ke seluruh angkatan.
Dirga, seperti biasa, hanya mengangkat alis. “Panggilan khusus nih, Ketua?” bisiknya pelan sambil duduk di bangku belakang, posisi paling strategis untuk tidur sepanjang pelajaran.
Gerly pura-pura tak mendengar. Tapi dalam hatinya, ribut.
Orang tua mereka? Bareng? Ruang guru?
Jantungnya berdegup kencang. Biasanya kalau orang tua dipanggil, itu antara dua: penghargaan atau hukuman. Dan ia tahu pasti, kalau Dirga yang ikut, kemungkinan besar itu bukan karena penghargaan.
Waktu berjalan lambat. Pelajaran terasa seperti hukuman, bahkan untuk Gerly yang biasanya menyukai suasana kelas. Setiap ketukan jam dinding seperti menambah ketegangan di kepalanya. Bahkan, ia tak sempat mengoreksi catatan rapat OSIS yang biasa jadi pelariannya.
Saat bel pulang berbunyi, Gerly langsung berdiri. Namun sebelum melangkah keluar, suara khas Dirga terdengar dari belakang.
“Tenang aja, gue gak bakal kabur. Lagian, gue juga penasaran... Apa sih drama yang mau ditayangin?”
Gerly menatapnya tajam, lalu berbalik dan berjalan lebih dulu. Dirga mengikuti, langkah santainya kontras dengan ketegangan di pundak gadis itu.
Ruang guru, 10 menit kemudian.
Keduanya masuk dan langsung disambut oleh dua pasang orang tua. Ayah dan ibu Gerly duduk rapi, sementara orang tua Dirga terlihat lebih santai—ayahnya bersandar, ibunya menatap dengan ekspresi sulit ditebak.
Pak Iwan, wali kelas mereka, membuka pembicaraan dengan senyum canggung.
“Kalian pasti bertanya-tanya kenapa dipanggil. Ini bukan karena nilai, pelanggaran, atau prestasi.”
“Lalu?” tanya Gerly cepat, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya.
Pak Iwan melirik ke arah orang tua mereka, memberi isyarat.
Ibunda Gerly menggenggam tangan suaminya. Lalu menatap Gerly dengan lembut. “Nak… kami sudah membicarakan ini dengan keluarga Dirga sejak lama. Sejak kalian kecil, sebenarnya…”
“...kalian sudah dijodohkan!!.” sambung ayah Dirga dengan nada santai, seperti membacakan hasil rapat RT.
Hening.
Gerly menatap semua orang di ruangan itu dengan tatapan kosong. Wajahnya memucat, bibirnya nyaris terbuka tapi tak ada suara yang keluar.
Sementara di sebelahnya, Dirga justru bersiul pelan dan tertawa pendek.
“Wah… ini plot twist yang keren.”
Gerly berbalik. “Keren, kata Lo?!”
Dirga mengangkat bahu. “Daripada dijodohin sama cowok kutu buku, mending gue, kan?”
Gerly mengepalkan tangan. "Kalau ini lelucon, aku rasa ini nggak lucu."
Ibunya tersenyum menenangkan. “Ini bukan lelucon, Ger. Kami hanya ingin kalian... saling mengenal dulu. Tidak harus pacaran. Tidak harus langsung menikah. Tapi berteman. Karena kami ingin hubungan dua keluarga ini jadi lebih dekat.”
Gerly menatap Dirga, yang kini tengah memainkan pulpen milik Pak Iwan di meja.
Teman? Dengan Dirga? Si pembuat kerusuhan sekolah? Si penantang peraturan?
Gerly merasa seperti dilempar ke dunia paralel. Dan parahnya, dunia itu dihuni oleh satu nama:
Dirga Putra Gebriantara.Keesokan harinya, sekolah belum genap lima menit berjalan, tapi satu berita sudah menyebar lebih cepat dari pada nilai ulangan bocor.
"Ketua OSIS dijodohin sama Dirga!"
Dari grup WhatsApp kelas, toilet putri, hingga lapangan basket, semua membicarakannya. Bahkan satpam sekolah pun ikut-ikutan bergosip sambil ngopi.
"Gue kira itu cuma ada di sinetron doang ," bisik salah satu siswi di lorong.
"Fix sih, hidup Gerly udah tamat!" sahut temannya sambil cekikikan.
Gerly berjalan dengan dagu terangkat, ekspresi tetap dingin dan tak tergoyahkan. Tapi di dalam, kepalanya seperti dihantam 30 pesan broadcast sekaligus.
"Siapa sih yang nyebarin berita ini? Baru juga kemarin!" gerutunya dalam hati.
Sampai dia melihat Dirga... duduk santai di tangga depan kelas, headphone di leher, satu tangan menyuapi gorengan, tangan satunya lagi menggulir layar HP.
"Lo yang nyebarin?" tanya Gerly tajam, mendekat dengan tangan di pinggang.
Dirga meliriknya santai. “Santai, Princess. Gue nggak perlu nyebar. Dunia emang hobi nyari bahan seru, apalagi yang nyangkut lo dan gue.”
"Jangan panggil gue Princess," desis Gerly.
Dirga menyeringai. “Tapi kan itu bagian dari nama lo.”
Gerly nyaris mendesis marah, tapi bel berbunyi menyelamatkannya. Ia melangkah cepat ke kelas, meninggalkan Dirga yang terkekeh sendiri.
Di dalam kelas, 10 menit kemudian.
Semuanya terasa... aneh. Gerly duduk di bangku paling depan seperti biasa, tapi tatapan semua orang di belakang terasa menusuk. Berbisik, tertawa, ada yang terang-terangan memotret diam-diam.
Dan yang lebih parah?
Dirga duduk tepat di belakangnya.
Padahal selama ini cowok itu selalu memilih duduk di pojok belakang dekat jendela. Tapi entah kenapa hari ini… pindah.
“Lo ngapain duduk di sini?” tanya Gerly dengan nada mencurigakan.
“Katanya harus mulai kenal lebih dekat. Gue mulai dari duduk di belakang lo dulu, ya.” Dirga menyengir, lalu bersandar santai, seolah ini film komedi romantis dan dia adalah pemeran utamanya.
Gerly menghela napas panjang. Ini akan jadi semester paling gila dalam hidupnya
~skip~
Kini Gerly sedang membaca proposal acara pentas seni di ruang OSIS, seharusnya seseorang yang mengetuk pintu itu diketuk dengan pelan akan tetapi dia berbeda... tanpa izin, tanpa sopan, tanpa etika...
Apalagi kalau bukan dengan cara ditendang..
BRAKK!
“Yuk, kerja kelompok.”
Dirga berdiri di ambang pintu dengan senyum paling menjengkelkan yang pernah Gerly lihat pagi itu. Hoodie hitam menutupi sebagian seragamnya, rambut masih basah, dan aroma parfumnya... terlalu menyebalkan untuk diabaikan.
“Gue ngerjain sendiri aja,” sahut Gerly tanpa menoleh. “Acara pensi ini urusan OSIS, bukan urusan berandal sekolah kayak Lo.”
Dirga masuk, menarik kursi seenaknya dan duduk di hadapannya.
“Masalahnya, Bu Wakasek barusan bilang, gue harus ikut bantuin panitia PENSI. Katanya biar calon menantu ideal bisa belajar kerja tim.”
“Ugh.” Gerly menutup proposalnya dengan keras. “Kenapa hidup gue jadi drama Korea?”
“Drama Korea bagus, loh. Biasanya ketuanya jatuh cinta sama cowok nakal kayak gue.”
Gerly melotot. Dirga tertawa.
Tapi sebelum ia bisa mengusir Dirga secara paksa, pintu kembali diketuk.
Aurel masuk dengan raut wajah penuh rasa bersalah. “Ger… Gue barusan dikasih tau Bu Dinda… katanya, Lo sama Dirga ditunjuk jadi ketua dan wakil panitia pensi.”
Gerly membeku. “APA?!” teriak Gerly yang terkejut
Aurel mengangguk pelan. “Iya… katanya biar Lo belajar kompromi. Dan… biar Dirga belajar tanggung jawab.”
Gerly menatap Dirga. Dirga menaikkan alis.
“Wah, berarti kita pasangan resmi sekarang. Ketua dan wakil. Cocok, kan?”
Gerly hampir melempar proposal ke mukanya.
Seminggu kemudian…
Persiapan pensi dimulai. Rapat demi rapat, latihan demi latihan. Dan karena takdir (atau sialnya hidup), Gerly dan Dirga selalu disatukan dalam kelompok kerja.
Pertama: Dirga telat datang rapat, Gerly semprot habis-habisan.
Kedua: Dirga lupa bawa banner, Gerly hampir kirim surat skorsing.
Ketiga: Dirga justru tampil sebagai MC cadangan dan… semua siswa heboh karena dia lucu.
Semua orang mulai berkomentar.
“Dirga keren juga, ya, kalau serius.”
“Kok mereka kayak cocok gitu sih, ih?”
“Coba mereka beneran jadian...”
Gerly pura-pura nggak dengar. Tapi jantungnya? Mulai nggak karuan tiap cowok itu nyengir.
Suatu sore, mereka sedang menyusun dekor panggung di aula saat lampu tiba-tiba padam. Gelap total.
“Dirga?! Ini Lo kan?!” teriak Gerly panik.
“Yaelah, gue emang setan apa mainin saklar?” sahut Dirga dari sisi lain aula.
Gerly meraba-raba, menabrak kursi, dan—tanpa sengaja—menabrak seseorang.
Dan seseorang itu… memegang pinggangnya agar tak jatuh.
Seketika lampu cadangan menyala.
Gerly dan Dirga berdiri terlalu dekat. Terlalu… diam.
Dirga menatapnya, ekspresinya berubah. Bukan nyengir. Bukan mengejek.
“Lo oke?” bisiknya.
Gerly mengangguk pelan. Tapi hatinya… nggak oke sama sekali.
Karena untuk pertama kalinya… dia sadar:
Dia mulai merasakan sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan untuk Dirga Putra Gebriantara.
~skip~
Gerly membanting pintu ruang OSIS sedikit lebih keras dari biasanya. Ia tahu… dirinya mulai aneh. Dan itu membuatnya kesal.
Bukan karena dekorasi pensi yang belum selesai.
Bukan karena proposal sponsor yang belum diteken kepala sekolah.
Tapi karena senyuman Dirga yang terus muncul di pikirannya sejak kejadian di aula gelap kemarin.
“Astaga, apa-apaan sih,” gumamnya sambil memukul pelan pipi sendiri.
“Dia itu musuh. Pengganggu. Tukang buat keributan…”
“Dan punya senyum yang bikin deg-degan, ya?” sahut suara di belakangnya.
Gerly langsung membalikkan badan. Dirga berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas es teh dari kantin.
“Aku nggak bilang gitu!” seru Gerly panik.
“Gue juga nggak nanya.” Dirga terkekeh, lalu meletakkan satu gelas di meja. “Ini buat lo. Jangan bilang gue nggak pernah bantu.”
Gerly menatap gelas itu curiga. “Lo kasih racun di dalamnya?”
“Kalau iya, lo udah kena sejak kemarin malam,” jawab Dirga sambil duduk di kursi Aurel yang kosong.
Mereka diam beberapa saat. Hening yang… aneh. Nggak kayak biasanya yang penuh adu mulut. Kali ini justru nyaman—dan bikin Gerly gugup.
Sampai tiba-tiba pintu diketuk. Seorang siswi dari kelas sebelah masuk membawa berkas.
“Oh, Kak Dirga! Ini proposal band kita ya, buat tampil di pensi. Makasih udah mau bantuin kemarin. Kita jadi latihan bareng Dirga loh, Kak Gerly!” katanya dengan senyum manis.
Gerly membeku.
Latihan bareng? Kapan? Kenapa dia nggak tahu?
“Oh iya, ini juga, Kak.” Si cewek menyerahkan minuman tambahan ke Dirga. “Aku beliin tadi pagi. Favorit kakak kan, yang jeruk dingin.”
Dirga hanya tersenyum, sedikit canggung. “Eh… iya, makasih.”
Si cewek keluar lagi. Tapi di ruang itu, suhu tiba-tiba terasa menurun.
Gerly menatap Dirga datar. “Latihan bareng cewek-cewek band?”
“Cuma bantuin mereka cari ruang latihan… Sekalian jadiin gue MC di segmen mereka,” jawab Dirga sambil memainkan sedotan. “Lagian kan kita belum resmi pacaran, Princess. Cemburu ya?”
“Siapa juga yang cemburu?!” sergah Gerly cepat, pipinya merona tapi mulutnya tetap galak. “Gue cuma ketua panitia yang kecewa lo nggak lapor kegiatan apa pun!”
Dirga menatapnya, serius kali ini. “Lo bisa bilang lo kecewa karena urusan pensi, tapi tatapan lo kayak lagi pengen mukul siapa aja yang deketin gue.”
Gerly berdiri. “Gue keluar. Banyak kerjaan.”
Saat dia melangkah keluar, Dirga berkata pelan—nyaris tak terdengar.
“Kalau lo beneran cemburu… gue nggak keberatan, kok.”
Malamnya, di rumah...
Gerly menatap layar HP.
Pesan dari Dirga masuk.
> "Besok kita fitting baju pensi jam 3 sore. Gue jemput ya. Jangan telat, Ketua Galak."
Gerly hendak mengetik balasan ketus, tapi jarinya malah mengetik:
> “Oke"
Lalu ia menatap bayangannya di cermin.
"Apa gue… benar-benar mulai suka Dirga?"
“ hah... Dah lah mending gue tidur.. Ngantuk banget..ngapain juga gue mikir bikin pusing aja"
~Skip~
Keesokan harinya...Gerly memandangi layar jam di ponselnya. Sudah pukul 15.10. Janji jemputnya pukul 15.00. Tidak ada kabar dari Dirga. Lagi.
Ia berdiri di depan toko konveksi tempat fitting baju pentas seni. Jalanan mulai lengang, langit mendung, dan hawa sore terasa makin dingin. Sesekali ia menendang kerikil kecil, mencoba mengusir kekesalan yang mengendap.
“Tipikal banget. Janji jemput, tapi ngaret. Cowok satu itu…”
BRUUUUMMMM!
Suara motor besar berhenti tepat di hadapannya. Dirga turun, membuka helm dan menyodorkannya ke Gerly.
“Sorry, tadi motor gue mogok ditengah jalan. Tapi gue tetap dateng, kan?”
Gerly hendak marah, tapi melihat rambutnya yang awut-awutan dan tangan yang sedikit kotor bekas utak-atik motor… amarah itu mendadak reda.
“Hm. Lo telat sepuluh menit,” gumamnya, menerima helm.
“Sepuluh menit yang gue habiskan buat mikir, lo bakal marah atau diem-diem senyum karena kangen.”
Gerly langsung memasang helm, menyembunyikan wajah yang mulai memerah. “Banyak omong. Ayo jalan.”
~skip~
Setibanya mereka dibutik. Keduanya langsung melihat bagaimana Interior butik yang sederhana itu tampak rapi. Rak-rak penuh kostum berjejer rapi, sebagian besar khusus untuk pentas seni. Di sudut ruangan, cermin besar hampir setinggi dinding memantulkan bayangan Gerly yang tengah berdiri kaku, mengenakan dress biru navy selutut — baju yang akan ia pakai saat tampil di pembukaan PENSI.
“Aku kelihatan aneh ya?” tanya Gerly pelan, menatap bayangannya sendiri.
“Enggak,” sahut Dirga dari belakang, duduk santai di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya. “Lo kelihatan beda.”
Gerly mengernyit. “Beda?”
Dirga mendongak, menatap langsung ke arahnya. Kali ini matanya tak penuh ledekan seperti biasanya. “Beda… tapi cantik.”
Gerly langsung menunduk, pura-pura sibuk merapikan kerah bajunya yang sebenarnya sudah rapi sejak tadi. Pipinya memanas.
“Baju lo mana?” tanyanya cepat, mencoba mengalihkan suasana.
“Nunggu giliran,” jawab Dirga. “Tapi katanya gue dipakein setelan semi-formal. Kemeja putih, jas biru gelap, celana bahan. Gaya cowok panggung.”
Tak lama kemudian, penjaga butik keluar membawa setelan Dirga. “Mas Dirga, silakan ganti di ruang sebelah, ya.”
Beberapa menit berlalu. Lalu—pintu ruang ganti terbuka.
Gerly menoleh. Dan… diam.
Dirga berdiri di depan cermin, mengenakan jas biru tua yang pas di badan, kemeja putih bersih dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka, dan rambutnya sedikit ditata ke belakang oleh si penjaga butik.
“Aku… nggak percaya kamu bisa kelihatan kayak orang penting gitu,” ujar Gerly akhirnya, separuh takjub, separuh menyindir.
“Wah, berarti cocok dong jadi pasangan Ketua OSIS,” balas Dirga santai, sambil merapikan lengan jasnya di depan cermin.
Si penjaga butik menghampiri mereka. “Sekarang coba berdiri berdua di depan cermin. Ini kostum pasangan pembuka acara, jadi harus disesuaikan tingginya, ya.”
Gerly mau protes, tapi si penjaga sudah mendorong mereka berdiri berdampingan.
Mereka kini hanya berjarak beberapa senti. Dirga lebih tinggi satu kepala. Cermin besar memantulkan bayangan keduanya—si ketua OSIS yang perfeksionis dan si berandal yang kini tampak seperti pangeran bandel.
“Bisa gak kita pura-pura gak canggung lima detik aja?” bisik Dirga pelan, suaranya nyaris menyentuh telinga Gerly.
Gerly pura-pura tidak mendengar. Tapi jantungnya berdebar. Cepat.
Lalu... tangan Dirga pelan-pelan membetulkan sedikit tali kecil di pundak bajunya yang hampir melorot. Gerly menegang.
“Santai. Gue gak ngapa-ngapain. Cuma bantu biar lo gak kena marah si tukang jahit,” bisiknya, senyum tipis muncul di wajahnya.
Gerly menahan napas. “Terima kasih…”
“Apa?” Dirga menunduk sedikit.
“Gak ada!” Gerly langsung menoleh ke arah lain.
Penjaga butik tersenyum puas. “Kalian cocok banget berdiri bareng. Seperti poster drama remaja.”
Dirga tertawa pelan.
Gerly hanya bisa menggigit bibir bawah, mencoba mengusir warna merah di pipinya yang makin sulit disembunyikan.
Setelah fitting selesai...
Langit benar-benar runtuh. Hujan turun deras. Gerly dan Dirga terjebak di emperan toko kecil, tanpa payung, tanpa kendaraan—karena motor Dirga masih ditinggal di bengkel terdekat.
"Lo pernah nggak," kata Dirga tiba-tiba, "ngebayangin kayak di film, dua orang yang awalnya benci-bencian… malah jadi deket gara-gara hujan?"
Gerly melirik tajam. "Lo nonton drama Korea juga sekarang?"
Dirga tertawa. “Enggak. Gue hidup di dalamnya sekarang.”
Hening. Hujan terus turun. Dingin mulai menusuk.
Tanpa berkata apa-apa, Dirga membuka hoodie hitam yang ia pakai, lalu menyampirkannya ke bahu Gerly.
“Daripada lo pilek. Gue udah biasa kedinginan.”
Gerly terdiam. Suara hujan menutupi degup jantungnya yang kini tak karuan. Wangi Dirga samar-samar tercium dari jaket yang kini menyelimuti tubuhnya. Dan untuk pertama kalinya…
Ia merasa aman.
Dirga duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding toko. “Sini.”
Gerly ragu, tapi kemudian ikut duduk di sebelahnya. Jarak mereka… hanya sejengkal.
Hujan masih turun deras. Tapi di antara mereka, perlahan… muncul keheningan yang berbeda. Bukan lagi canggung. Tapi hangat.
“Lo inget nggak,” kata Dirga pelan, “waktu pertama kali kita ketemu?”
“Lo dorong aku di kantin gara-gara rebutan gorengan,” jawab Gerly cepat.
Dirga tertawa. “Bener juga ya. Lo masih ingat. Lo pikirin gue dari dulu, berarti.”
Gerly melirik tajam. “Jangan GR. Gue inget karena lo nyebelin.”
Dirga mengangguk, tersenyum pelan. “Tapi kalau sekarang… gue masih nyebelin?”
Gerly menunduk. Lalu, pelan-pelan, menjawab:
“Kadang… iya.”
Dirga tidak membalas. Tapi senyumnya makin lebar.
20 menit kemudian...
Hujan mulai reda. Dirga berdiri dan mengulurkan tangan.
“Yuk, pulang. Sebelum lo makin nyaman di samping gue.”
Gerly menatap tangannya. Ragu. Lalu… menyambutnya.
Dan saat mereka berjalan beriringan, satu hal memenuhi kepala Gerly:
Apa benar... cowok yang dulu paling ia benci, kini mulai mengisi ruang di hatinya?
*POV DIRGA*
"Dia pasti mikir gue telat lagi karena iseng. Tapi dia gak tahu... gue nyari ojek, terus dorong motor hampir 800 meter. Gak karena siapa-siapa. Cuma... karena dia yang nunggu." batin Dirga
Pas gue lihat dia berdiri sendiri di depan toko itu — mata waspada, tapi keliatan capek — hati gue gak enak. Gue cuma bisa nyodorin helm, padahal pengen bilang:
"Maaf. Tapi gue dateng. Karena lo."
Tapi ya... gue bukan cowok yang bisa ngomong gitu. Akhirnya gue cuma bisa bilang..
“Sepuluh menit yang gue habiskan buat mikir, lo bakal marah atau diem-diem senyum karena kangen.”
Keesokan harinya ...
Disiang hari, saat jam istirahat tiba Gerly memilih untuk duduk sendirian di bangku taman sekolah. Tangannya menulis di jurnal OSIS, tapi pikirannya... kacau.
Sejak fitting baju, sejak hujan, sejak senyuman itu — Dirga jadi terlalu sering muncul di kepala. Padahal dia tahu, cowok itu berantakan, santai seenaknya, dan bisa bikin dia naik darah dalam tiga detik.
Tapi... Dirga juga perhatian, tahu kapan harus diam, dan entah bagaimana... selalu hadir di momen-momen penting.
"Kenapa aku begini sih?" gumamnya pelan.
“Lagi mikirin siapa?”
Suara bariton lembut itu membuat Gerly menoleh.
Seorang cowok berdiri di dekat bangku taman, mengenakan jaket OSIS lama — angkatan sebelumnya. Tingginya hampir sama dengan Dirga, tapi wajahnya lebih kalem, senyumnya rapi. Namanya Rayan Ardelano, alumni yang sedang bantu-bantu jadi pembina PENSI tahun ini. Kakak kelas yang dulu sempat satu tim debat dengan Gerly, dan diam-diam pernah menyukainya.
“Oh, Kak Rayan. Aku cuma nulis rundown aja,” jawab Gerly cepat.
“Masih perfeksionis, ya?” Rayan tersenyum. “Sama kayak dulu.”
Gerly tertawa kecil. “Kebiasaan.”
Mereka mengobrol sebentar — ringan, nyaman, dan terasa... stabil. Rayan tipe cowok ideal menurut logika. Cerdas, sopan, dan punya masa depan cerah. Dan saat dia menawarkan diri untuk bantu latihan MC PENSI, Gerly tidak bisa menolak.
Keesokan harinya, latihan MC
Dirga datang telat. Lagi.
Dan saat ia masuk ke aula, matanya langsung menangkap satu hal:
Gerly — tertawa pelan di samping Rayan, dengan ekspresi yang tidak pernah ia lihat saat cewek itu bersamanya.
“Lo ngapain?” tanya Dirga datar.
Gerly menoleh. “Latihan MC. Kak Rayan bantu.”
Rayan mengulurkan tangan. “Hey, Dirga. Gua yang dulu temenan sama Gerly di tim debat. Nice to meet you.”
Dirga menyambut tangan itu, tapi wajahnya tetap datar. “Nice. Gue pacarnya nanti.”
Gerly melotot. “Belum tentu!”
Rayan tertawa kecil, tapi sorot matanya tajam. Bukan mengancam, tapi menantang. Dan Dirga tahu — cowok ini bukan cuma bantu latihan. Dia datang untuk masuk ke hidup Gerly.
Beberapa hari kemudian…
Rayan mulai lebih sering muncul. Kadang antar camilan ke ruang OSIS, kadang bantu nge-print dokumen, dan kadang cuma lewat — tapi selalu di waktu yang tepat untuk bikin Dirga emosi.
Gerly? Dia mulai... nyaman. Tapi juga bingung.
“Aku harusnya milih yang kayak Kak Rayan, kan?” bisiknya ke diri sendiri. “Bukan Dirga.”
Tapi setiap kali ia mencoba menjauh dari Dirga, hati kecilnya selalu... menolak.
Suatu malam, pesan masuk ke HP Gerly. Dari Dirga.
> "Lo suka dia?"
Gerly menatap layar lama. Jantungnya berdebar. Ia ingin menjawab "nggak", tapi jarinya tak kunjung bergerak.
Beberapa menit kemudian, pesan lain masuk:
> "Kalau iya… gue mundur. Tapi kalau enggak… bilang. Karena gue capek pura-pura nggak peduli."
Gerly menutup HP-nya, menggigit bibir.
Logikanya bilang: Rayan. Tapi hatinya… masih nyangkut di Dirga.
*POV DIRGA*
“Cowok itu rapi, senyum ramah, sopan. Tipe yang bikin ibu-ibu langsung pengen jodohin anaknya." batin dirga
Dan Gerly... kelihatan nyaman. Ketawa. Gue belum pernah bikin dia ketawa kayak gitu.
Waktu dia milih ngobrol bareng Rayan, gue mikir, “Oke. Udah cukup.”
Tapi malam itu, jari gue ngetik sendiri.
> "Lo suka dia?"
Karena gue liat dia ngga balas chat gue akhirnya gue chat dial lagi:
> "Kalau iya… gue mundur. Tapi kalau enggak… bilang. Karena gue capek pura-pura nggak peduli."
Karena gue gak kuat. Gak bisa terus pura-pura bodo amat. Gak bisa terus jadi cowok yang cuma nunggu
Sudah tiga hari.
Tiga hari tanpa pesan, tanpa komentar menyebalkan, tanpa suara motor Dirga yang biasanya meraung di gerbang sekolah.
Dan anehnya… Gerly merasa kosong.
"Dia nggak masuk lagi?" tanya Aurel di ruang OSIS sambil memeriksa daftar panitia pensi.
Gerly pura-pura sibuk membuka map. "Mungkin sakit."
Padahal dia tahu. Dirga sengaja menjauh. Sejak pesan malam itu—yang tak pernah ia balas—cowok itu seperti menghilang dari kehidupannya. Bahkan saat mereka bertemu di lorong, Dirga hanya menatap sekilas, lalu berlalu seolah tak pernah ada apa-apa.
“Lo suka dia?”
Kalimat itu terus terngiang di kepala Gerly, siang dan malam.
Apakah aku suka?
Apakah ini… cinta?
Atau cuma bingung karena dia pergi?
Dan saat ia mencoba membuka ponselnya untuk sekadar menulis "maaf", tangannya selalu berhenti di tengah jalan.
---
Sementara itu, di tempat lain…
Dirga duduk di atas motor tuanya yang sudah dibetulkan, memandangi langit sore yang mendung. Tangannya memegang helm, pikirannya kacau.
"Harusnya gue nggak ngomong kayak gitu. Harusnya gue diem aja."
Tapi di sisi lain, ia juga lelah.
Lelah jadi pelarian yang selalu kalah dari pilihan ‘aman’ seperti Rayan.
“Gue bukan cowok yang ideal, Ger. Tapi gue juga bukan orang yang bakal mundur kalau tahu lo milik gue.”
Ia menatap layar HP-nya. Chat terakhirnya masih centang dua. Tidak dibalas.
“Kalau lo nggak yakin… gue juga nggak bisa maksa.”
---
Hari keempat
Gerly masuk ruang OSIS dan mendapati sebuah amplop cokelat di mejanya.
Tertulis tangan:
> Untuk: Ketua Galak, dari: Si Tukang Telat
Tangannya bergetar saat membuka.
Isinya sebuah sketsa kecil — gambarnya dua orang berdiri di bawah hujan, satu cewek dengan hoodie kebesaran dan satu cowok memayungi dengan jaket kulit. Di bagian bawahnya tertulis:
> “Gue cuma tau satu hal: lo bikin dunia gue nggak semenyebalkan biasanya.”
Gerly terdiam lama.
Dan saat air matanya mulai menggantung di sudut mata, satu hal jadi jelas:
Ia rindu Dirga. Dan bukan karena cowok itu menyebalkan... Tapi karena ia benar-benar mulai menyukainya.
---
Sore itu…
Gerly berdiri di depan bengkel motor tempat biasa Dirga nongkrong. Dia memandangi plang yang tergantung lusuh, mencoba mengatur napas.
Lalu, dari balik pintu bengkel, Dirga muncul. Pelan. Kaget.
Gerly menatapnya. Wajahnya serius.
“Gue... suka lo,” katanya pelan. “Gue cuma takut. Karena lo bukan tipe cowok yang bisa gue pahami.”
Dirga tidak langsung menjawab.
Lalu, ia tersenyum—senyum pelan yang tidak mengejek.
“Dan lo bukan tipe cewek yang bisa gue lupain.”
~ skip ~
“Pensi tinggal tujuh hari, Ger. Gue ulang ya… TUJUH.”
Aurel panik setengah mati sambil mengangkat papan rundown yang penuh coretan spidol merah.
Gerly mengangguk cepat, tangan kanan masih sibuk mengetik pesan ke panitia konsumsi, sementara tangan kiri menggenggam script MC yang belum selesai diedit.
SMA Nawasena benar-benar berubah jadi arena gladi resik massal. Aula disulap jadi panggung mini, halaman belakang dipenuhi siswa yang latihan dance, dan balkon sekolah dipenuhi banner warna-warni hasil desain anak multimedia.
Dan di tengah hiruk-pikuk itu…
Dirga.
Masih muncul, meski tak seekspresif dulu. Tapi kehadirannya — selalu terasa.
Sejak pengakuan mereka beberapa hari lalu, Gerly dan Dirga tidak langsung berubah jadi pasangan manis. Mereka masih saling ejek, masih saling gengsi. Tapi ada yang berbeda. Tatapan mereka. Cara Gerly tak lagi memalingkan wajah. Cara Dirga mulai lebih serius mengerjakan tugas PENSI — bahkan tanpa disuruh.
“Dekorasi panggung udah naik 60 persen. Sound system udah dipesan. Kapan latihan MC lo berdua?” tanya Aurel.
Gerly hendak menjawab saat Dirga tiba-tiba datang dari belakang, mengangkat dua botol air mineral dingin.
“Latihan sekarang, Bu Ketua,” katanya santai sambil menyodorkan satu botol ke Gerly.
Gerly menerimanya. “Tumben gak telat.”
“Tumben juga lo senyum pas nerima dari gue,” balas Dirga pelan.
Mereka saling tatap. Cuma dua detik. Tapi cukup bikin Aurel salah fokus dan pura-pura sibuk di spreadsheet.
---
Sore harinya, latihan MC
Gerly dan Dirga berdiri di atas panggung kecil aula.
Di bawah panggung, Aurel, guru pembina, dan beberapa panitia menyaksikan mereka.
“Selamat datang di Pentas Seni SMA Nawasena 2025!” seru Gerly membuka, suaranya lantang.
Dirga menyusul, “Malam ini, kita bakal bikin sejarah baru... dengan penampilan terbaik dari para siswa — dan satu kejutan yang belum kalian tahu.”
Semua bertepuk tangan. Tapi saat istirahat latihan, Rayan masuk aula — membawa setumpuk tiket PENSI yang baru dicetak.
“Gerly,” panggilnya sambil mendekat. “Lo ada waktu buat ngobrol sebentar?”
Gerly menatap Dirga. Tatapan cowok itu menegang.
“Ngobrol tentang apa?” tanya Gerly hati-hati.
Rayan melirik ke Dirga. “Privat. Gak butuh penonton.”
Suasana berubah. Dirga berdiri pelan.
“Terserah lo, Ger. Tapi lo yang milih lo mau denger siapa,” katanya datar.
Gerly menatap dua cowok itu.
Satu — masa lalu yang rapi dan terencana.
Satu lagi — masa kini yang berantakan, tapi nyata.
Ia menarik napas. “Kalau ini soal pensi, kita bahas bareng. Tapi kalau bukan… maaf, aku sibuk.”
Rayan terdiam. Mengangguk pelan. “Oke. Lain kali, ya.”
Dirga melirik sekilas ke arah Gerly. Tidak berkata apa-apa. Tapi sorot matanya... lega.
---
Malam itu, Gerly membuka catatan rundown terakhir.
Matanya menangkap satu kalimat kecil di ujung halaman, yang entah siapa yang menulis.
> "MC penutup: Dirga dan Gerly – panggung bukan cuma buat acara. Kadang juga buat pengakuan."
Gerly tersenyum sendiri.
Tapi senyum itu hilang saat Aurel mendadak masuk dan berbisik:
“Ger… lo harus lihat ini. Ada yang nyebarin foto lo dan Dirga waktu fitting baju. Caption-nya… nyakitin.”
Di grup siswa angkatan 2025, sebuah unggahan meledak seperti bom:
> 📸 “Ketua OSIS & si pembuat onar: Pensi atau Pamer?”
Foto: Gerly dan Dirga saat fitting baju, berdiri berdampingan di depan cermin, terlalu dekat — dengan caption nyinyir:
“Cocok sih… tapi cocok buat diskors.”
Komentar mengalir deras.
> “Ini ketua OSIS atau ketua drama sekolah sih?”
“Fix pensi isinya nepotisme.”
“Pake acara fitting-fiting segala… buat apaan?”
Gerly menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Aurel duduk di sebelahnya, ikut membaca, wajahnya memucat.
“Ger… itu siapa yang ngambil fotonya?”
“Gak tahu,” jawab Gerly pelan. “Tapi ini aula konveksi. Kemungkinan… salah satu anak multimedia.”
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar.
Bu Dinda - Waka Kesiswaan:
> “Gerly, tolong ke ruang guru sekarang. Ajak Dirga juga.”
--
Di ruang guru
Bu Dinda menatap mereka berdua serius. “Kalian tahu ini bukan cuma urusan pribadi, kan? Kalian MC. Kalian panitia. Dan kalian… sekarang jadi bahan omongan.”
Dirga diam, wajahnya tertunduk. Bukan takut. Tapi… lelah.
“Bu, kami tidak melakukan hal yang tidak pantas,” ujar Gerly tegas. “Itu foto fitting resmi. Kami memang dekat… karena terpaksa kerja bareng. Tapi semua masih sesuai aturan.”
Bu Dinda menatapnya lama. Lalu menghela napas.
“Aku percaya sama kamu, Gerly. Tapi siswa lain… belum tentu.”
---
Keesokan harinya…
Ruangan terasa berbeda. Tatapan siswa jadi lebih berat. Ada yang berbisik, ada yang tertawa, dan ada yang... sengaja menyinggung.
“Eh, Ketua OSIS lewat tuh… jangan-jangan habis fitting lagi,” kata seseorang dengan suara keras.
Dirga sedang berjalan di belakang Gerly. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.
Tapi Gerly berhenti. Membalikkan badan.
“Kalau kalian merasa paling benar, silakan ke ruang OSIS dan jadi panitia. Kalau nggak, diam. Kalian gak tahu perjuangan orang lain yang kerja keras buat PENSI ini jalan!”
Semua terdiam. Bahkan Dirga.
Dan saat Gerly berjalan lagi, Dirga menyusul di sampingnya, diam-diam menggenggam tangan Gerly — tidak kencang, tidak memaksa.
Tapi hangat. Dan nyata.
Gerly menoleh. “Lo gak marah?”
“Aku biasa dikatain. Tapi lo… lo gak harus ngerasain semua ini gara-gara gue.”
Gerly tersenyum kecil. “Gue yang milih kok. Gue juga gak nyesel.”
---
Malam harinya…
Seseorang mengirim pesan anonim ke HP Gerly:
> “Kalau kamu tetap bareng dia, kamu bakal jatuh juga. Pikirin nama baik kamu, Gerly.”
Tapi kali ini, Gerly tidak gentar.
Dia buka galeri, pilih foto waktu fitting baju, dan menulis caption sendiri:
> 📸 “Bukan pasangan sempurna. Tapi kami kerja bareng. Dan kami gak salah.”
POST.
Sekolah mungkin belum siap menerima. Tapi ia siap berdiri. Untuk dirinya sendiri. Dan untuk Dirga.
* POV DIRGA *
Gue udah biasa dikatain. Nakal lah, sampah lah, gak layak sekolah. Tapi ini... kali pertama gue takut.
Bukan karena gue kena masalah.
Tapi karena nama dia ikut diseret.
Dia... Ketua OSIS. Simbol sekolah ini. Sementara gue... cuma simbol masalah.
Gue pengen cabut. Tapi saat dia bilang “gue gak nyesel,”
Gue tahu...
Buat pertama kalinya, ada yang ngelihat sisi gue yang lain — dan gak lari.
* POV OFF *