Tokoh:
Cilsy Nebulosa — Penyanyi pop eksentrik dengan gaya glam-rock, tapi hatinya lembut kayak roti sobek.
Jrengsi Tambora — Aktor film action dengan rahang tegas dan masa lalu kelam, tapi bisa bikin orang klepek-klepek hanya dengan senyum miring.
---
Cuplikan adegan hot & bikin berliur dikit versi unik:
Cilsy Nebulosa baru saja selesai tampil dengan gaun perak berkilau dan rambut warna ungu elektrik. Ia mendesah pelan sambil membuka heels tinggi yang membuatnya berdiri 7 cm di atas realita.
Belum sempat ia rebahan di sofa ruang tunggu, pintu terbuka keras.
"Lu masih suka nyanyi sambil jungkir balik ternyata," suara bariton itu langsung menampar kenangan.
Cilsy mendongak. "Jrengsi Tambora? Gue pikir lu udah ngilang ke gunung!"
Jrengsi nyengir. "Udah turun. Bawa rindu sama lo."
Deg. Cilsy berdiri. Keringat masih mengalir dari pelipisnya, tapi tubuhnya malah merinding. Jrengsi, dengan jaket kulitnya yang bau parfum dan bahaya, mendekat cepat.
"Jangan mulai lagi, Jreng," katanya pelan.
"Mulainya udah dari tadi, waktu gue liat lo dari backstage," katanya sambil menyentuh rahang Cilsy dengan dua jari. "Dan sekarang, gue cuma pengen satu hal."
"Apa?"
"Satu lagu. Di bibir lo. Untuk gue."
Dan sebelum Cilsy bisa protes dengan kata-kata sarkas legendarisnya, Jrengsi mencium. Lembut di awal, lalu menggila seperti beat drum konser rock.
Tangan Cilsy menyambar rambut Jrengsi, mencengkeram, memaksa lebih dekat. Suara ritsleting entah dari mana—entah dari jaket, entah dari nalar yang mulai copot. Meja rias bergetar. Lipstik jatuh. Tapi mereka tetap di sana.
Ciuman berhenti sesaat. Nafas tersengal.
"Lo masih bau kamera dan spotlight, Jrengsi."
"Dan lo masih wangi glitter dan bahaya," bisik Jrengsi, sebelum tangannya menyentuh bahu Cilsy yang mulai terbuka.
---
Bab 2: Bibir Panggung & Rahasia Dada
Ruang rias masih bergema oleh degup yang belum reda. Jrengsi berdiri dengan dada naik-turun, sementara Cilsy duduk di meja rias dengan gaun sedikit turun dari bahu, napasnya berat seperti habis nyanyi lagu rock berdurasi 9 menit.
"Lu nggak berubah, Jreng…" ucap Cilsy sambil menyeka bibir dengan punggung tangannya. "Selalu datang kayak hujan deras di tengah cuaca cerah."
Jrengsi mendekat lagi, tapi kini lebih pelan. "Dan lo masih jadi badai tropis yang bikin kapal gue karam."
Mereka berdua tertawa kecil, tapi mata mereka saling menatap—gila dan lapar. Bukan cuma lapar rindu, tapi juga lapar akan keberanian yang dulu pernah mereka punya, sebelum industri ini mencabik semua.
“Lo tahu nggak,” kata Cilsy pelan, membenarkan tali gaunnya, “Setelah lo pergi syuting ke Thailand dan ngilang tujuh bulan tanpa kabar, gue sempat bikin lagu judulnya ‘Jrengsi, Kembalilah dan Cium Aku Sampai Pingsan’.”
Jrengsi terkekeh. “Kenapa nggak diputar di radio?”
“Label bilang judulnya terlalu vulgar.”
“Tapi isi lagunya?”
“Lebih vulgar lagi,” jawab Cilsy dengan mata nakal.
Jrengsi mendesah, lalu menarik kursi, duduk di hadapan Cilsy yang masih duduk di meja rias. Lampu kuning membuat kulit mereka terlihat seperti madu panas yang siap menetes.
“Gue datang bukan buat main-main lagi,” ucap Jrengsi serius. “Gue mau lo.”
“Sebagai apa?” tanya Cilsy, tajam.
“Sebagai partner duet di album, partner hidup di luar studio, dan… partner nonton sinetron tiap malam sambil minum teh tarik dan ciuman ringan.”
Cilsy tertawa. Tawa yang nggak dibuat-buat. Tapi di balik tawanya, ada hati yang tiba-tiba melunak.
“Kalau fans lo tau lo pacaran sama gue lagi, mereka bisa ngamuk loh. Lo bisa diboikot. Kita bisa kena cancel culture. Bisa trending di X dengan hashtag #CilsyPencuriJrengsi,” katanya.
“Terserah. Biar dunia ribut, asal lo diem di dada gue.”
Deg.
Jrengsi membuka jaket kulitnya, lalu menarik tangan Cilsy, menaruhnya tepat di dadanya. Jantungnya berdetak cepat. Gila, bahkan getarannya kayak subwoofer konser EDM.
“Rasain itu?” tanya Jrengsi.
Cilsy mengangguk, hampir tak bernapas.
“Itu cuma buat lo, Cilsy. Sejak dulu. Sekarang. Dan nanti kalau gue udah jadi aktor tua bau balsem, gue tetap pengen lo nyium gue pakai gigi palsu lo.”
Cilsy meledak ketawa, tapi air matanya turun.
“Lu gila,” katanya.
Jrengsi mencium air mata itu, lalu bisik, “Gila karena lo.”
Dan saat itu juga, tanpa aba-aba, mereka kembali saling mencium. Kali ini lebih tenang, lebih dalam, seperti dua orang yang tahu: apapun di luar sana—manajer cerewet, netizen bawel, kontrak eksklusif—semuanya bisa menunggu.
Yang penting, mereka saling punya. Lagi.
---
Bab 3: Skandal di Balik Kamera
Keesokan paginya, dunia hiburan meledak.
Timeline media sosial penuh dengan satu foto: Jrengsi Tambora mencium dahi Cilsy Nebulosa di ruang rias, dengan tangan di pinggang dan jaketnya tergantung setengah terbuka.
Caption-nya?
“Breaking: Jrengsi & Cilsy—Comeback Cinta atau Sekadar Gimmick?”
Cilsy menatap layar tabletnya di ruang tamu sambil ngunyah roti bakar setengah sadar. Dia belum cuci muka. Masih pakai piyama bergambar kucing terbang. Tapi hatinya udah dibakar api gosip sejak jam 7 pagi.
Handphone-nya berdering. Manajernya, Mbak Tesa, langsung teriak dari seberang.
> “CILSY NEEBUULOOSAA!! Itu foto APAAN?! LU CIUM-AN DI BACKSTAGE?! MAU GUE DIPECAT APA GIMANA?!”
“Ciuman dahi, Mbak. Nggak sampe French kiss,” jawab Cilsy kalem sambil nge-scroll kolom komentar.
> “Netizen udah heboh, Cilsy. Tagar #JrengsyCilsyComeback udah trending satu! Tapi juga ada tagar #CilsyMatre dan #JrengsiBucin. Ini bisa bagus atau bencana. Terserah elo!”
Setelah telepon ditutup, Cilsy diam sebentar. Jantungnya berdebar, tapi bukan karena panik.
Dia justru senyum.
Dan saat pintu apartemennya diketuk, ia tahu siapa di baliknya.
Dengan rambut acak-acakan dan piyama kucing terbang, Cilsy membuka pintu. Jrengsi berdiri di sana, mengenakan hoodie abu-abu dan membawa dua gelas kopi serta satu kantong donat.
“Aku viral ya?” tanya Jrengsi sambil nyengir miring.
“Lo bangun jam berapa?” tanya Cilsy curiga.
“Jam lima. Aku scroll sampe jam tujuh. Udah hafal semua hate comment. Favoritku: ‘Cilsy cuma numpang comeback, dasar bintang jatuh.’”
“Dasar artis kebal gosip,” jawab Cilsy sambil menarik Jrengsi masuk. Mereka duduk di sofa. Cilsy ngeluarin satu bantal, naruh di pangkuannya, dan langsung nyender ke dada Jrengsi.
“Gimana menurut lo? Kita klarifikasi atau biarin aja?”
Jrengsi menyeruput kopi. “Kalau kita klarifikasi, mereka akan makin liatin. Kalau kita diem, mereka akan makin gila nebak-nebak.”
“Jadi?”
Jrengsi menatap Cilsy dalam-dalam, lalu memeluknya dari belakang, dagunya nyender di bahu Cilsy yang masih hangat.
“Kita buat lagu aja. Judulnya ‘Viral Karena Cinta’.”
Cilsy langsung terbahak. “Gila! Itu jelek banget!”
“Tapi catchy. Dan fans lo bakal jatuh cinta lagi. Terus kita tampil bareng di acara TV, pura-pura cool, tapi sebenarnya habis ciuman di belakang panggung.”
“Ya Tuhan, lo niat banget jadi bucin on stage.”
“Kalau buat lo, aku siap jadi meme tiap hari.”
Cilsy membalik badan, menatap Jrengsi yang senyum kayak orang jatuh cinta 17 kali sehari. Lalu tanpa aba-aba, ia duduk di pangkuannya, tangan memeluk leher pria itu.
“Kalau kita emang bakal dilihat jutaan orang, kita pastikan mereka lihat versi terbaik dari kita,” bisik Cilsy.
Dan di pagi itu, mereka berciuman lagi. Bukan karena drama, bukan karena gimmick. Tapi karena setelah semua yang lewat—konser, gosip, dan kehilangan—mereka akhirnya saling menemukan. Lagi. Dengan rasa yang lebih gila.
---
Bab 4: Nada yang Belum Selesai
Studio musik di pusat kota itu sunyi—hanya terdengar dengungan pendingin ruangan dan gesekan halus pensil di atas not balok. Di dalam ruang rekaman, Cilsy berdiri di depan mic besar, mengenakan crop hoodie pink dan jeans robek-robek. Rambutnya diikat tinggi. Seksi tapi sederhana. Suaranya mengalun.
> “...Kita viral karena cinta
Tapi hatiku diem-diem luka
Kalau kau pegang tangan lain
Boleh nggak aku marah hari ini?”
Dari balik kaca, Jrengsi berdiri di ruang operator. Hoodie hitamnya agak turun, memperlihatkan leher yang tadi dicium Cilsy waktu makan sandwich bareng. Dia menggigit bibir bawah pelan. Bukan karena liriknya, tapi karena suara Cilsy yang terlalu jujur—dan indah.
Ketika lagu selesai, Cilsy keluar dari ruang rekaman.
"Menurut lo, itu nada bridge-nya terlalu minor ya?" tanya Cilsy sambil duduk di kursi putar.
"Nggak. Tapi yang bikin minor tuh isi hati lo," kata Jrengsi sambil menyentuh tangan Cilsy.
Mereka tertawa sebentar. Tapi belum sempat tangan mereka bersatu, pintu studio terbuka.
Masuklah Reyna Maduara — penyanyi muda yang sedang naik daun, viral karena punya suara 3 oktaf dan tagline “Suara Bidadari, Gaya Anak Motor.”
“Cilsy! Jrengsi! Wah, kalian duet ya?” serunya ceria, tapi matanya ngelirik Jrengsi agak lama. Terlalu lama.
Cilsy langsung pasang mode tenang. “Iya, lagi bikin single comeback. Lo lagi take juga?”
Reyna duduk di sofa, menyilangkan kaki dengan elegan. “Iya dong. Tapi aku baru tahu kalian berdua deket lagi…”
Jrengsi cuma nyengir. Tapi Cilsy bisa lihat—mata Reyna terus nempel di pipi Jrengsi. Dan tangan Reyna megang cup kopi bekas Jrengsi. Astaga. Iya. Dipegang.
"By the way, Kak Jreng," Reyna melanjutkan, “Kalau nanti ada syuting MV, aku available lho jadi cameo. Mungkin jadi cewek yang lo tatap dengan penuh luka sambil hujan-hujanan…”
Jrengsi ngelirik Cilsy cepat. Cilsy cuma angkat alis, lalu berdiri.
"Rey, boleh pinjem Jrengsi sebentar? Gue mau dia take vokal di bridge. Tapi bridge yang versi... emosional telanjang dada."
Reyna mengerutkan dahi. “Eh?”
“Versi mentah,” koreksi Cilsy cepat, lalu tarik tangan Jrengsi masuk ke ruang rekaman.
Di dalam, lampu diredupkan. Jrengsi berdiri di depan mic, tapi matanya menatap Cilsy dari balik kaca.
Cilsy tekan tombol talkback.
“Lo tadi genit ya?”
“Gue diem aja barusan.”
“Tapi dia megang cup lo. Lo sadar nggak?”
“Yang penting lo yang megang hati gue,” bisik Jrengsi sambil nyengir, dan Cilsy harus menahan diri buat nggak masuk dan nyosor dia lagi.
Lalu, lagu diputar. Jrengsi mulai nyanyi. Suaranya berat, napasnya pendek-pendek, seolah setiap kata itu ditarik dari dada.
> “Kalau lo ragu, gue diem
Tapi di balik diam ada degup
Yang selalu nyebut nama lo
Meski gue disenyumin cewek lain…”
Di luar ruang, Reyna yang masih duduk sendirian mendengar lirik itu… dan tahu dia nggak akan menang. Cinta Cilsy dan Jrengsi? Terlalu dalam. Terlalu nyata.
---
Bab 5: Mantan yang Datang Saat Hati Sudah Penuh
Sudah seminggu sejak lagu “Viral Karena Cinta” direkam. Lagu itu belum dirilis, tapi teaser-nya bocor ke Twitter. Potongan suara Cilsy dan tarikan napas Jrengsi membuat netizen gila. Banyak yang bilang,
“Suara mereka kayak baru selesai ribut, terus langsung pelukan di bawah selimut.”
Cilsy sedang di apartemennya malam itu, mengenakan hoodie milik Jrengsi yang kebesaran dan celana pendek. Ia baru selesai bikin teh saat ponselnya berbunyi. Bukan notifikasi biasa.
Email baru. Dari Jepang. Subjek: “Our Lost Melody – Unreleased Demo (Cilsy x Hachiro)”
Jantungnya mencelup sendiri ke cangkir teh.
“Hachiro…”
Nama yang lama tak disebut. Mantan Cilsy saat ia training dan sempat debut di Jepang. Musisi misterius, introvert, jenius, dan satu-satunya orang yang pernah menulis lagu dengan air mata—secara harfiah. Waktu mereka bubar, rekaman duet mereka ikut hilang. Atau… dia pikir begitu.
Cilsy membuka email. Ada satu link Google Drive. File-nya bernama:
"Cilsy_Hachiro_Starlight_Unreleased.wav"
Tangannya gemetar.
Belum sempat ia klik, pintu apartemen diketuk.
Bukannya menunggu Cilsy membuka pintu, Jrengsi langsung masuk. Ia tahu passcode apartemen.
“Ly, gue habis dari kantor label. Lo tau nggak apa yang mereka kasih ke gue?”
Cilsy menelan ludah.
Jrengsi mengeluarkan flashdisk kecil dan melemparkannya ke meja.
“Demo lagu lo. Sama Hachiro. Dari lima tahun lalu. Mereka dapet dari Jepang. Dan sekarang, mereka mau rilis itu—tanpa izin lo.”
Cilsy membeku.
“Kenapa mereka...”
“Karena ‘pasar Jepang’ suka drama. Mereka bilang: ‘Gimana kalau kita bikin plot twist? Rilis duet lo sama mantan lo pas lo lagi deket sama gue. Biar cinta segitiga beneran.’”
Cilsy berdiri.
“Gue nggak tau mereka punya rekamannya lagi, Jreng.”
Jrengsi menatapnya lama. “Lo masih ada rasa?”
“Lo serius nanya itu sekarang?”
“Jawab, Cilsy.”
“Kalau gue masih ada rasa,” kata Cilsy, pelan tapi tegas, “gue udah buka file itu, bukan buka pintu buat lo malam ini.”
Jrengsi diam. Lalu berjalan mendekat. Ia mengangkat dagu Cilsy dengan jari telunjuk.
“Gue nggak takut sama masa lalu lo. Tapi gue takut kehilangan lo karena orang-orang lebih suka drama dibanding realita.”
Cilsy menyentuh dadanya. “Realitanya sekarang... lo yang gue mau. Lo yang gue cinta. Dan kalau Hachiro dateng, bahkan bawa piano emas sekalipun, gue nggak akan pindah.”
“Lu yakin?”
“Yakin banget. Tapi…” Cilsy melirik. “Kalau dia tinggiin royalti ke 80%, kayaknya gue mikir ulang.”
Mereka tertawa. Tegangan turun. Tapi rasa belum habis.
Jrengsi menarik Cilsy pelan, memeluknya dari belakang. “Gue bakal lawan siapa pun. Label, mantan, bahkan dunia. Asal lo tetep di sini. Di peluk gue.”
Cilsy memejamkan mata. “Asal lo nggak pergi pas dunia makin ribut.”
“Gue nggak bakal pergi. Kecuali lo nyuruh gue. Tapi… sebelum itu, boleh gue nyium lo lagi?”
Tanpa menjawab, Cilsy menarik wajah Jrengsi dan menciumnya. Dalam. Lembut. Tapi penuh janji tak tergoyahkan.
---
Bab 6: Starlight vs Spotlight
Panggung Galaxy Music Awards tahun ini dibuat megah. Lampu LED menari di langit-langit seperti bintang jatuh. Tiket sold out. Media datang dari seluruh Asia. Tapi yang paling ditunggu? Bukan siapa yang menang.
Tapi siapa yang akan tampil di panggung final:
Cilsy Nebulosa, dengan lagu Viral Karena Cinta,
atau...
Hachiro, mantan duetnya dari Jepang, yang secara mengejutkan datang membawa lagu Starlight—rekaman duet lama mereka.
Backstage, Cilsy duduk dengan makeup flawless, rambut disanggul elegan, dan gaun hitam mengilap seperti malam. Tapi hatinya berdebar nggak karuan.
“Dia minta duet,” bisik Mbak Tesa dari earphone. “Hachiro. Dia bilang mau bikin surprise duet bareng lo. Dia udah nawarin lagu lama itu. Semua wartawan Jepang udah standby.”
Cilsy menghela napas panjang. “Terus Jrengsi?”
“Sampai sekarang belum kelihatan.”
Lampu sorot mulai menyala. Nama Cilsy Nebulosa muncul di layar LED raksasa. Penonton bersorak.
Dan saat panitia bilang, “Hachiro udah di belakang panggung,” Cilsy berdiri.
Tapi yang muncul dari tirai bukan Hachiro.
Jrengsi Tambora.
Mengenakan jas hitam dan gitar akustik di punggung. Senyum miringnya bikin seluruh hall mendadak sunyi.
Cilsy menatap panik ke belakang. “Jreng… lo ngapain? Ini bukan rencananya.”
“Tapi ini rencana hati gue.”
Penonton makin riuh saat mereka berdua berdiri di tengah panggung. Jrengsi mengatur mic, lalu menatap Cilsy.
“Aku tahu seharusnya lo duet sama masa lalu lo… Tapi izinkan gue jadi suara masa depan lo.”
Dan... musik dimulai.
Lagu yang belum pernah mereka nyanyikan sebelumnya. Judulnya "Tersisa Untuk Kita". Lagu yang mereka tulis diam-diam, liriknya sederhana tapi dalam.
> “Kalau dunia minta kita bubar
Kita peluk di balik layar
Kalau mereka suka drama
Kita jadi kenyataan yang pelan-pelan
Tapi nyata…”
Cilsy bernyanyi sambil menatap Jrengsi. Di tengah lagu, ia lepas earpiece-nya. Dan di situ, dia sadar—suara Jrengsi bukan cuma mengisi lagu, tapi juga mengisi ruang kosong di hidupnya.
Ketika lagu berakhir, semua penonton berdiri. Standing ovation. Tapi sebelum lampu mati, Jrengsi mendekat dan—di depan ribuan orang, tanpa naskah, tanpa gimmick—ia berkata:
> “Gue cinta lo. Di dunia nyata. Di balik kamera. Di depan spotlight. Kalau mereka mau cerita cinta, kasih tau mereka: ini bukan cerita. Ini kita.”
Dan dia mencium Cilsy. Di panggung. Di depan dunia.
---
Epilog
Satu bulan setelah itu, lagu mereka jadi nomor satu di lima negara. Hachiro pulang ke Jepang dan mengirim bunga. Reyna Maduara jadi brand ambassador minuman teh, dan rumor bilang dia pacaran sama backing vocal-nya sendiri.
Cilsy dan Jrengsi?
Mereka tinggal di apartemen penuh vinil dan bantal empuk. Kadang viral lagi karena kepergok belanja tahu bulat sambil gandengan. Tapi mereka nggak peduli.
Karena cinta mereka bukan sekadar sorotan. Tapi nyala yang tetap hidup… bahkan saat semua lampu padam.
---
TAMAT.