Malam itu, hujan turun dengan deras, memukul-mukul jendela tua rumah peninggalan nenek Ayuna. Di dalam kamar yang remang, gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin antik warisan keluarga. Sudah tiga malam berturut-turut, ia melihat sesuatu yang aneh—sosok lelaki berdiri di belakangnya, hanya terlihat di cermin, namun tak pernah ada saat ia menoleh.
Ayuna bukan gadis penakut. Tapi sosok itu membuat jantungnya berdebar bukan karena takut... melainkan perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Wajah lelaki itu... terlalu indah untuk jadi makhluk jahat. Mata kelamnya seperti menyimpan lautan kesedihan.
Pada malam keempat, Ayuna memberanikan diri.
"Siapa kamu?" bisiknya di depan cermin.
Dan kali ini, lelaki itu menjawab.
"Aku Arga."
Ayuna terdiam. Suaranya bergema, bukan di telinganya, tapi langsung di pikirannya. Telepati? Mimpi? Halusinasi?
"Aku terjebak di sini, sejak malam hujan 80 tahun lalu. Aku meninggal... tapi jiwaku tertinggal karena satu janji yang belum terpenuhi."
Ayuna mengerutkan dahi. Ia ingin takut, ingin lari. Tapi tatapan Arga begitu sendu, begitu memohon. Bahkan kini, bayangannya di cermin bisa tersenyum.
"Aku butuh seseorang untuk membantuku. Seseorang yang... bisa melihatku. Seperti kamu."
Ayuna merasa seperti ditarik dalam dunia yang tak masuk akal. Tapi ia tak bisa mengabaikan perasaan aneh di dadanya—seolah hatinya terhubung pada Arga, seperti mereka pernah saling mengenal.
Hari demi hari berlalu, dan Ayuna makin sering bicara dengan Arga. Ia mencari informasi, membaca buku tua, bahkan membuka lemari rahasia yang selama ini ia abaikan di rumah itu. Di sanalah ia menemukan foto hitam-putih seorang gadis—nenek buyutnya—berdiri di samping seorang lelaki muda.
Arga.
Tertulis di balik foto: "Untuk Arga, kekasihku yang tak sempat pulang. Aku tunggu kamu di kehidupan selanjutnya."
Ayuna gemetar. Ia sadar satu hal yang membuat darahnya berdesir dingin: ia adalah reinkarnasi dari gadis dalam foto itu.
Arga belum bisa pergi karena janji yang terikat pada cinta mereka di masa lalu.
"Aku mencarimu di setiap kehidupan..." Arga berkata suatu malam lewat cermin, "Dan kini kau di sini. Aku bisa merasa... kau masih gadis yang sama."
"Apa yang harus aku lakukan... agar kau bebas?" tanya Ayuna, air mata mengalir tanpa sadar.
Arga menunduk. "Cium aku... di hadapan cermin, saat jam menunjukkan pukul 00.00 di malam bulan purnama. Itu akan memutus kutukan ini."
Ayuna tak tahu apakah ini benar, atau ia sedang kehilangan akal. Tapi malam itu, saat bulan bersinar sempurna, ia berdiri di depan cermin. Arga tampak nyata di balik pantulan, hampir bisa disentuh.
Detik menunjukkan pukul 00.00.
Ayuna menutup mata, mendekatkan wajah ke cermin, dan bibirnya menyentuh permukaan dingin kaca. Tapi saat itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Tangan Arga menjulur keluar dari cermin... dan menggenggam pipi Ayuna.
Dalam sekejap, mereka bertukar tempat.
Ayuna melihat dirinya sendiri dari dalam cermin, sementara Arga berdiri nyata di luar.
"Aku minta maaf..." bisik Arga. "Kutukannya butuh jiwa pengganti. Aku sudah menunggumu lama... dan aku tak mau mati lagi sendirian."
Ayuna menjerit dari balik cermin. Tapi tak ada yang bisa mendengarnya.
Kini, ia adalah bayangan. Terperangkap.
Sementara Arga berjalan keluar kamar, hidup kembali sebagai manusia, dengan wajah yang berseri. Ia membisikkan kalimat terakhir pada cermin:
"Aku cinta padamu... selamanya."
---
(Bagian 2) — Jiwa yang Terbangun"
Ayuna menatap dari dalam cermin, tangannya meninju permukaan kaca berkali-kali. Suara tak bisa keluar. Dunia luar tak mendengarnya, hanya gema hampa di dalam dimensi cermin yang kini jadi penjaranya.
Arga di luar sana tertawa kecil. “Akhirnya… aku bisa hidup kembali,” katanya sambil menyentuh kulitnya sendiri, seolah memastikan bahwa ia benar-benar telah bebas dari kutukan puluhan tahun.
Tapi ada satu hal yang Arga tidak tahu…
Ayuna bukan reinkarnasi biasa.
Dalam dirinya, tersimpan warisan darah dari leluhur perempuan yang pernah menyegel roh-roh jahat di masa lampau. Termasuk Arga, yang ternyata bukan korban kutukan, melainkan roh penggoda cinta yang mengikat gadis-gadis polos lewat rasa iba dan cinta palsu—lalu menukar jiwa mereka demi kebebasannya.
Arga pernah disegel oleh nenek buyut Ayuna. Tapi ketika Ayuna tumbuh dan tinggal di rumah itu, kekuatannya masih tersegel... hingga cinta membuka gerbangnya.
Kini, di dalam cermin, Ayuna merasakan sesuatu bangkit dalam dirinya. Panas. Cahaya keemasan mengalir dari dadanya, menyebar ke telapak tangan dan ujung jari.
"Aku ingat sekarang," bisiknya. "Aku bukan hanya korbanmu… Aku penjagamu."
Cermin itu mulai bergetar. Retakan kecil muncul di sudut. Arga menoleh. Ia merasakan hawa aneh dari belakang, dari cermin itu yang tadinya hanya menjadi dinding bisu. Tapi kini… berbisik.
“Arga…”
Suara Ayuna terdengar. Lirih, tapi bergema seperti ribuan suara tumpang tindih.
“Tidak mungkin…” Arga mundur. “Kamu seharusnya tidak bisa bicara…!”
Ayuna tersenyum dari balik cermin. Wajahnya tidak lagi tampak lemah. Ia berdiri tegak, mata menyala keemasan.
“Kamu pikir aku akan jatuh cinta padamu lagi? Tidak, Arga. Sekarang aku ingat semua. Tentang gadis-gadis yang kau tipu. Tentang cinta palsumu. Tentang pembantaian jiwa.”
Arga mencoba berlari ke pintu. Tapi rumah itu tak akan membiarkannya pergi. Bayangan-bayangan hitam menjulur dari dinding, melilit tubuhnya.
Cermin meledak—dan Ayuna keluar dari dalamnya, tak lagi sebagai manusia biasa, tapi sebagai penjaga antara dunia cinta dan kematian. Rambutnya melayang meski tak ada angin. Di tangannya, muncul belati dari cahaya perak.
“Aku akan mengakhiri ini,” katanya dingin.
Arga berlutut, tubuhnya lemas, wajahnya kembali berubah menjadi wujud aslinya: wajah lelaki tampan itu perlahan meleleh menjadi sosok mengerikan bermata tiga dan taring panjang. Ia meraung, bukan karena kesakitan… tapi karena patah hati yang tak tulus.
"Aku hanya ingin... seseorang mencintaiku..." raungnya.
Ayuna menatapnya. Sesaat, ia merasa iba. Tapi ia tahu, cinta bukan tentang dikasihani. Cinta yang lahir dari kebohongan, akan selalu berakhir dengan kehancuran.
Dengan satu tusukan, Arga meleleh menjadi debu hitam.
Ayuna jatuh terduduk. Rumah itu menjadi tenang. Cermin-cermin hancur, dan hujan di luar berhenti.
Namun, sebelum Arga lenyap sepenuhnya, suaranya kembali berbisik dari angin:
> "Jika ada kehidupan ke seribu... aku akan mencarimu lagi..."
Ayuna menutup mata. Di balik dinginnya malam, ia tahu satu hal: cinta sejati tak akan lahir dari tipu daya.
Tapi ia juga sadar… bahwa hatinya pernah benar-benar berdebar, walau hanya sesaat, karena seorang roh yang terperangkap di balik cermin.
---
(Bagian 3) — Rasa yang Tak Bisa Mati"
Tiga tahun berlalu.
Ayuna menjalani hidup tenang di kota kecil bernama Lintang. Ia menjadi guru seni di sebuah sekolah SMA, dan tak pernah lagi melihat roh, bayangan, atau cermin berbisik. Semuanya tampak biasa. Terlalu biasa.
Namun, hatinya tetap kosong di satu sisi.
Sampai suatu pagi, seorang guru baru datang ke sekolah.
Namanya Arga.
Ayuna hampir menjatuhkan cangkir kopinya saat mendengar nama itu. Tapi bukan cuma itu. Pria itu—tingginya, senyumnya, cara bicaranya... terlalu mirip dengan dia. Meski kini tak ada sorot kelam di matanya, dan tatapannya tak lagi penuh misteri, Ayuna tahu… ini dia.
Arga yang dulu.
Tapi pria itu tampak tak mengenalnya. Ia bersikap hangat dan ramah, bahkan tampak kikuk saat pertama kali mengajak Ayuna bicara di ruang guru.
"Maaf, ini aneh… tapi aku merasa seperti kita pernah bertemu. Deja vu, mungkin?" katanya sambil menggaruk tengkuk.
Ayuna hanya tersenyum. "Mungkin… di kehidupan lain."
Beberapa minggu berlalu. Arga makin sering mendekat. Membantu Ayuna membawa buku, mengantar pulang, bahkan sering menyelipkan cokelat kecil di meja kerjanya. Ayuna berusaha menolak. Ia tahu... ini berbahaya. Tapi perasaan itu—perasaan lama yang pernah ia bunuh—bangkit lagi. Hangat, namun penuh tanya.
Suatu malam, mereka pulang bersama setelah kegiatan ekstra. Hujan turun lagi. Seperti malam-malam dulu.
"Kenapa kamu selalu menatapku begitu, Ayuna?" tanya Arga tiba-tiba, di dalam mobil.
"Aku… hanya bingung," jawab Ayuna jujur. "Kamu sangat mirip dengan seseorang yang pernah aku kenal."
"Aku juga merasa… aneh setiap lihat kamu. Seperti ada sesuatu di dadaku yang familiar, tapi aku nggak tahu apa."
Arga menatap hujan di jendela. Tiba-tiba, ia bergumam, lirih—nyaris tak terdengar:
> “Jika ada kehidupan ke seribu… aku akan mencarimu lagi…”
Ayuna membeku.
Itu kalimat yang Arga ucapkan sebelum menghilang sebagai roh tiga tahun lalu. Tidak mungkin dia ingat. Tidak mungkin.
Keesokan harinya, Arga tidak masuk kerja.
Ayuna merasa cemas. Ia mencari informasi, bertanya pada staf, tapi tak ada yang tahu di mana Arga. Hingga malam, saat ia membuka cermin di kamarnya untuk berdandan, tiba-tiba cermin itu berembun dari dalam.
Dan muncul tulisan dengan jari:
"Tolong aku."
Ayuna mundur. Takut. Tapi juga marah.
Dia kembali lagi? Atau ini Arga yang sekarang…?
Tanpa pikir panjang, Ayuna merapal mantra penjaga jiwa yang diwariskan nenek buyutnya. Cermin itu bergetar, dan sebuah celah terbuka—sebuah gerbang menuju dunia di antara kehidupan.
Ia masuk.
Di sana, Ayuna melihat Arga—versi sekarang—terjebak di lorong gelap, di antara bayangan kenangan masa lalu. Roh-roh yang dulu pernah dikalahkan Arga, kini membalas dendam… dan menjebaknya dalam tidur roh.
"Arga!" teriak Ayuna.
Pria itu menoleh, bingung, seperti anak kecil tersesat.
"Kamu… siapa?"
Ayuna menahan air matanya. Ia mendekat dan menggenggam tangan Arga.
"Aku yang pernah kau sakiti. Tapi aku juga… yang pernah mencintaimu."
"Kenapa kamu… menyelamatkanku?" bisik Arga.
"Karena kali ini… kamu tidak bohong. Dan hatiku tahu itu."
Cahaya menyilaukan muncul dari genggaman tangan mereka. Arga menjerit. Ingatan masa lalunya menghantam—semua: cermin, kutukan, kebohongan, kematian, dan cinta yang tak sempat tumbuh.
Tapi kali ini… semuanya tak membuatnya jahat.
Ia memeluk Ayuna.
"Aku ingat… semuanya. Dan aku… minta maaf."
Ayuna memejamkan mata. Cermin pun hancur dari dalam.
---
Keesokan harinya, mereka bangun di dunia nyata. Arga tetap manusia. Tanpa kutukan. Tanpa roh. Hanya seorang pria biasa yang telah menebus kesalahannya.
Tapi cinta mereka kini benar.
Bukan karena janji...
Bukan karena takdir...
Tapi karena pilihan.
---
(Bagian 4) — Cinta yang Tak Bisa Dihapus"
Satu tahun telah berlalu sejak malam mereka berdua keluar dari dunia cermin.
Ayuna dan Arga kini tinggal di sebuah rumah kecil di pinggir danau. Rumah itu hangat, penuh tawa, dan jauh dari cermin-cermin antik maupun kenangan masa lalu yang kelam. Setiap pagi, mereka membuat kopi berdua. Arga selalu membuatkan teh hangat untuk Ayuna, dan Ayuna selalu menyelipkan bunga kecil di sakunya.
Namun ada satu kamar yang selalu mereka jaga tetap terkunci: ruang cermin.
Di dalamnya, mereka menyimpan pecahan dari cermin tua yang dulu menjadi pintu kutukan Arga—disegel dalam kotak kaca berlapis mantra. Mereka tak berniat menghancurkannya. Tidak karena takut… tapi karena ingin mengingat dari mana mereka berasal.
Suatu malam, di malam bulan purnama, Ayuna terbangun karena mimpi aneh. Dalam mimpinya, ia berdiri di tepi danau, mengenakan gaun putih, sementara bayangan-bayangan masa lalu mencoba menariknya kembali ke dalam air.
Tapi kali ini, Arga datang. Bukan sebagai makhluk kelam, bukan sebagai roh—tapi sebagai suami, sebagai lelaki biasa yang datang dengan satu niat: melindungi.
Dalam mimpi itu, ia menggenggam tangan Ayuna dan berkata:
> “Kita sudah cukup kehilangan. Sekarang, biarkan kita hidup… untuk mencintai.”
Saat Ayuna terbangun, ia mendapati Arga sudah duduk di tepi tempat tidur, memegang tangannya.
"Aku mimpi aneh," ucap Ayuna lirih.
"Aku juga," jawab Arga.
Mereka saling menatap. Hening.
Dan di luar jendela, danau tampak tenang, seolah ikut mengamini kehidupan baru mereka.
Beberapa bulan kemudian, Ayuna melahirkan seorang anak perempuan. Mereka menamainya Arsya, yang berarti cahaya yang tak bisa padam.
Anak itu lahir dengan tanda kecil berbentuk bulan sabit di telapak tangannya. Kata orang tua dulu, itu tanda anak istimewa—penjaga generasi baru. Tapi Ayuna dan Arga tidak takut. Mereka tersenyum.
Karena mereka tahu… jika masa lalu kelam pernah menyatukan mereka, maka cinta sejati akan menjaga mereka dari masa depan yang bahkan belum terbayang.
Mereka pernah jatuh cinta di dunia cermin.
Pernah saling menyakiti, bahkan saling membunuh.
Tapi kini, di dunia nyata… mereka memilih untuk hidup. Bersama. Bahagia.
Bukan karena takdir. Tapi karena mereka saling memilih.
Dan itu adalah akhir dari kisah cinta yang lahir dari horor.
Cinta yang tumbuh dari luka, lalu mekar seperti bunga di musim semi.
---
(Bagian 5 - Ending) — Karena Cinta Tak Pernah Salah Alamat"
Tahun demi tahun berlalu.
Rumah kecil di pinggir danau itu kini dikelilingi bunga liar dan rerumputan yang menari ditiup angin. Arsya—putri mereka—tumbuh menjadi gadis kecil yang periang dan penuh rasa ingin tahu. Tapi sejak usianya tujuh tahun, ia mulai melihat hal-hal yang tak dilihat orang lain.
Bayangan. Bisikan. Dan kadang… pantulan yang tak sesuai kenyataan.
Ayuna tahu, waktunya telah tiba.
Suatu malam, Ayuna dan Arga membawa Arsya ke ruangan yang selama ini terkunci—ruang cermin. Mereka membuka kotak kaca yang menyimpan pecahan cermin kutukan dulu. Arsya menyentuh pecahan itu... dan cermin itu menyatu kembali. Tapi bukan untuk membangkitkan kutukan, melainkan untuk membuka gerbang takdir baru.
Sosok perempuan muncul dari cermin. Rambutnya panjang, pakaiannya serba putih, dan wajahnya… mirip Ayuna.
“Namaku Amara,” katanya lembut. “Aku leluhur kalian. Aku datang bukan membawa ancaman… tapi restu.”
Amara menjelaskan bahwa cinta Ayuna dan Arga bukan hanya kisah pribadi, tapi bagian dari garis waktu besar yang menjaga keseimbangan antara dunia roh dan manusia. Dulu, Arga memang tergelincir menjadi roh kelam karena cintanya yang gagal. Tapi cinta tulus Ayuna telah menyelamatkan bukan hanya dirinya—tapi seluruh garis keturunan mereka.
Dan Arsya… adalah pelindung generasi baru.
“Aku ingin bebas dari semua ini,” kata Arga. “Aku ingin Arsya tumbuh seperti anak biasa. Tanpa kutukan. Tanpa pengorbanan.”
Amara tersenyum. “Maka beri dia pilihan, bukan beban.”
Malam itu, Ayuna dan Arga berbicara pada Arsya.
“Kau bisa memilih, Nak,” kata Ayuna, menatap matanya. “Kamu bisa menutup gerbang ini selamanya, atau menjaga dunia seperti kita dulu. Apa pun yang kamu pilih, kami akan tetap bersamamu.”
Arsya menunduk, lalu memegang pecahan terakhir cermin dan menekannya ke tengah pantulan. Cermin itu bersinar terang, lalu… lenyap menjadi debu perak.
“Aku hanya ingin kita hidup bahagia,” katanya polos. “Tapi kalau suatu hari dunia membutuhkan aku… aku akan siap.”
Ayuna menangis. Arga memeluk anak dan istrinya dalam diam.
Malam itu, dunia kembali tenang. Tak ada cermin. Tak ada bisikan.
---
Lima belas tahun kemudian.
Arsya kuliah di jurusan sejarah budaya mistik. Ia menulis buku berjudul "Cinta yang Tak Bisa Dipantulkan", berdasarkan cerita “fiksi” tentang seorang perempuan yang mencintai roh lelaki di balik cermin.
Buku itu viral. Banyak yang terinspirasi. Banyak yang bertanya:
> Apakah ini kisah nyata?
Dan Arsya selalu menjawab:
> “Entahlah. Tapi satu hal yang aku percaya…
Cinta sejati tidak bisa dibatasi oleh ruang, waktu, bahkan kematian.”
Ayuna dan Arga?
Mereka masih tinggal di rumah danau. Mereka berkebun. Tertawa. Tua bersama. Setiap pagi, mereka menyeduh teh dan kopi sambil menatap danau yang memantulkan langit biru.
Dan setiap kali Ayuna menatap pantulan mereka di jendela, ia selalu berbisik:
> “Akhirnya… kita bahagia. Bukan karena lupa… tapi karena saling memaafkan.”
---
ENDING 🌙✨