Jakarta, 08:00 pagi.
Lift menuju lantai 56 menutup perlahan, menciptakan ruang hening di antara puluhan orang berdasi. Tapi hanya satu orang yang membuat semua orang menunduk tanpa suara—Arka Mahendra, CEO Valentech Corporation. Wajahnya tegas, dingin, nyaris tanpa ekspresi.
Satu langkah kakinya seperti perintah militer.
Sementara itu, Laras Ayuningtyas baru saja sampai di meja kerjanya. Ia hanya seorang asisten, tapi semua orang tahu betapa berharganya ia bagi Tuan Arka. Bukan karena hubungan pribadi—tidak. Tapi karena satu hal: ia satu-satunya orang yang tidak takut pada Arka Mahendra.
Dan itulah yang membuat pria itu... tertarik.
Hari itu, Arka memanggil Laras ke ruangannya. Pagi-pagi sekali. Tidak seperti biasanya.
“Laras, tolong batalkan semua meeting hari ini,” ucapnya tanpa menoleh dari jendela besar yang menghadap kota Jakarta.
“Baik, Pak. Ada alasan khusus?”
“...Aku bosan,” katanya pelan. “Dan aku ingin kau temani sarapan.”
Laras mengerjap. “Maksud Bapak, di pantry?”
“Bukan.” Arka menoleh. “Di tempat yang kau suka. Aku ikut kamu. Sekarang.”
Dan hanya dalam waktu sepuluh menit, Laras sudah duduk berhadapan dengan pria paling ditakuti di korporasi itu—di warteg langganannya, makan nasi uduk dan tempe goreng.
“Apa kamu gila?” bisiknya. “Bapak bisa diikuti paparazi...”
“Biar saja,” ucap Arka ringan. “Aku hanya ingin tahu seperti apa rasanya hidup biasa. Makan di tempatmu. Duduk denganmu. Mendengar kamu bicara tanpa nunduk seperti semua orang.”
Laras menahan degup jantungnya. Tak ada CEO seperti ini.
Tapi sejak hari itu, semuanya berubah.
Arka mulai sering muncul di meja Laras dengan alasan sepele: pulpen hilang, dokumen lupa, atau hanya untuk... menatapnya.
Sampai suatu malam, Laras pulang lembur. Di lobi, hujan mengguyur deras. Tak ada taksi, tak ada ojek. Tapi sebuah mobil hitam berhenti di depannya.
Kaca turun perlahan.
“Masuk,” ucap Arka dari dalam.
“Aku bisa tunggu taksi,” jawab Laras cepat.
“Laras,” katanya tegas. “Aku bukan menawar. Aku memintamu.”
Dalam mobil, hening. Arka tidak bicara. Tapi saat mobil berhenti di depan apartemen Laras, ia menoleh dan berkata:
“Kenapa kamu selalu menjaga jarak dariku?”
Laras menatap pria itu. “Karena... aku tahu tempatku.”
Arka mendekat sedikit. Tatapannya menusuk. “Tempatmu... ada di sisiku.”
Detik itu juga, dunia Laras runtuh. Ia ingin menyangkal. Tapi hatinya lebih dulu mengaku.
“Aku bukan siapa-siapa, Pak Arka...”
Arka menggenggam tangannya. Hangat. Tegas. “Kamu orang pertama yang melihat aku sebagai manusia, bukan mesin. Dan itu cukup. Lebih dari cukup.”
Tiga bulan kemudian...
Kabar hubungan mereka menghebohkan media. Arka dicap menyalahgunakan jabatan. Laras dicibir sebagai wanita ambisius. Tapi mereka bertahan.
Dan di salah satu konferensi pers terbesar Valentech, Arka berdiri di depan ratusan kamera.
“Saya mencintai Laras. Bukan karena dia cantik. Tapi karena dia satu-satunya yang tidak tunduk pada kekuasaan. Kalau itu membuat saya dianggap lemah, saya tidak peduli.”
Laras menontonnya dari belakang panggung, menangis diam-diam.
Bukan karena takut kehilangan pekerjaannya. Tapi karena untuk pertama kalinya... seseorang memperjuangkannya.
Lanjut part 2