Setiap malam, Rian duduk di balkon apartemennya, menatap kota yang berkelap-kelip. Tapi malam ini berbeda. Sebuah paket kecil tergeletak di depan pintunya—tanpa nama pengirim, tanpa alamat.
Dibukanya paket itu dengan hati-hati. Sebuah jam tangan antik, berwarna emas kusam, dengan jarum yang bergerak terlalu cepat.Tick. Tick. Tick.Detaknya terdengar nyaring, seolah memenuhi seluruh ruangan.
Rian mengenakannya.
Sejak saat itu, hal-hal aneh mulai terjadi.
Pagi berikutnya, ketika ia bangun, kalender di ponselnya menunjukkan tanggal yang melompat tiga hari ke depan. Teman-temannya mengeluh karena Rian tidak menghadiri acara penting kemarin—tapi ia yakin hari ini masih Rabu, bukan Sabtu.
Semakin lama, waktu berlalu semakin cepat. Jam tangannya terus berdetak tanpa henti, dan dunia di sekelilingnya seperti terputar dalam gerak cepat. Orang-orang berbicara dalam kecepatan ganda, matahari terbenar dalam hitungan menit.
Rian panik. Ia mencoba melepas jam itu, tapi tali kulitnya menyatu dengan pergelangan tangannya, seakan hidup.
Dokter yang ia kunjungi hanya menggeleng. "Tidak ada jam tangan di tangan Anda, Pak," kata mereka.
Hingga suatu pagi, Rian terbangun dan melihat cermin.
Refleksinya tersenyum padanya—tapi wajah itu bukan wajahnya.
Dan jarum jam berhenti.
Layar ponselnya menyala dengan notifikasi: "Selamat datang di hari terakhir Anda."
(End.)