Di ulang tahunnya yang ke-17, Kirana berharap ini bakal jadi hari yang biasa aja. Pagi itu, dia cuma pengen cepet-cepet pulang, rebahan, sambil dengerin musik favoritnya. Tapi, ternyata hari itu jauh dari kata biasa.
Pas pulang sekolah, ada SMS masuk dari nomor gak dikenal. Isinya bikin jantung Kirana mau copot: "Nenek lo ada di tangan gue. Dateng ke alamat ini sendirian kalau mau dia selamat."
Kaki Kirana langsung lemes. Otaknya muter, nyari-nyari siapa orang di balik pesan ini. Dia nelpon neneknya, tapi gak ada jawaban. Air matanya mulai ngalir, tapi dia buru-buru hapus. Neneknya adalah satu-satunya keluarga yang selalu ada buat dia, gak peduli sesulit apa pun keadaannya. Dia gak bakal biarin siapa pun nyakitin neneknya.
Kirana langsung ngecek alamat yang dikasih. Lokasinya agak jauh, di pinggir kota. Dia cepet-cepet ganti baju, pake gaun merah kesayangannya yang sebenernya dia siapin buat acara prom, terus nyomot tas kecil berantai yang sering dia pake kalau lagi santai. Rantai tasnya itu kuat banget, malah pernah dia pake buat gantung pot bunga di balkon. Dengan tekad membara, Kirana keluar rumah.
Perjalanan dimulai. Angin sore berhembus, bikin bulu kuduk Kirana merinding. Udah jauh dia jalan, tiba-tiba ada seorang cowok tinggi besar dengan topi dan jaket item, berdiri ngehadang di tengah jalan sepi. Kirana langsung siaga. Cowok itu gak ngomong apa-apa, cuma senyum sinis sambil ngeluarin sesuatu dari balik jaketnya. Kirana gak mikir panjang. Ini pasti antek-antek penyandera neneknya.
Dengan refleks yang entah dari mana datangnya, Kirana nyabetin tas rantainya. Tali rantai tasnya melilit leher cowok itu. Dia narik sekuat tenaga. Cowok itu megap-megap, tangannya berusaha ngelepasin lilitan rantai, tapi Kirana gak kasih ampun. Dia terus narik sampe tubuh cowok itu tergeletak lemas, gak bergerak lagi. Nafas Kirana ngos-ngosan. Dia panik pas ngeliat cowok itu udah gak bernafas. Tapi entah kenapa, wajahnya tiba-tiba berubah tenang. Matanya kosong, tapi penuh ketegasan. Dia nyeret tubuh kekar itu ke balik semak-semak.
Darahnya dingin. "Demi Nenek," bisiknya pelan.
Dia lanjut jalan. Baru beberapa meter, dia dihadang lagi. Kali ini dua orang, mereka muncul dari gang sempit, berusaha ngeblokir jalannya. Kirana udah muak. Ini semua terasa kayak mimpi buruk. Tanpa ragu, dia ngeluarin lagi 'senjata' andalannya. Pertarungan singkat pun terjadi. Dia gak peduli jeritan mereka, gak peduli darah yang muncrat di gaun merahnya. Yang ada di pikirannya cuma nenek. Dua orang itu berakhir sama seperti yang pertama. Tubuh mereka disembunyiin di balik tumpukan sampah.
Kirana ngelap keringat di dahinya. "Kapan ini semua berakhir?"
Kirana terus melangkah, langkah kakinya makin cepat. Dia mulai ngerasa ada yang ngikutin dari belakang. Begitu nengok, ada tiga orang lagi yang nongol dari balik truk sampah. Kirana ngerasa kayak lagi di film action. Dia udah capek, tapi tekadnya buat nyelametin neneknya itu udah nutupin rasa lelahnya. Tanpa basa-basi, dia langsung nyerang. Rantai tasnya bergerak cepat, gesit, dan mematikan. Satu, dua, tiga... mereka semua tumbang. Kirana bahkan udah gak panik lagi. Dia cuma mikir gimana caranya nyembunyiin mayat-mayat itu secepat mungkin biar gak ada yang liat. Dia nyeret mereka ke dalam truk sampah yang lagi kosong.
Jalanan makin sepi. Kirana ngeliat jam tangannya. Udah makin malem. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah mobil hitam melaju kencang dan berhenti mendadak di depannya. Dua orang kekar keluar dari mobil. Kirana udah hafal polanya. Mereka pasti bagian dari misi ini. Rasa muak Kirana udah sampai di ubun-ubun. Dia udah gak peduli lagi berapa orang yang harus dia singkirkan. Rantai tas itu jadi perpanjangan tangannya. Dengan gerakan lincah, dia berhasil ngelumpuhin dua orang itu. Tubuh mereka dia seret ke pinggir jalan, berusaha disembunyiin di balik tumpukan kardus. Kirana ngeliat noda darah di gaun merahnya yang makin banyak. Nafasnya terengah-engah, tapi matanya masih memancarkan api kemarahan.
Akhirnya, dia sampai di sebuah gudang tua, persis seperti yang ada di alamat. Jantungnya berdebar kencang. Ini dia. Gerbangnya udah karatan, tinggi, dan kokoh banget. Kirana ragu. Tapi, inget neneknya, dia langsung kumpulin semua keberaniannya. Dia dorong gerbang itu sekuat tenaga. Engselnya berdecit nyaring.
Pas gerbang kebuka lebar, Kirana langsung melongo. Di sana, di tengah gudang yang remang-remang, neneknya duduk di kursi, senyum lebar sambil megang kue ulang tahun dengan lilin menyala. Ayah sama ibunya berdiri di samping nenek, juga senyum sumringah.
"HAPPY BIRTHDAY, KIRANA!" teriak mereka barengan.
Dunia Kirana serasa runtuh. Ini... ini kejutan ulang tahun? Bukan penyanderaan? Air matanya langsung tumpah ruah, bukan karena terharu, tapi karena shock dan rasa bersalah yang luar biasa. Dia nangis kayak orang gila. Kejadian-kejadian di perjalanan tadi berkelebat di benaknya. Delapan orang… dia udah bunuh delapan orang… pakai rantai tasnya! Demi kejutan ulang tahun ini?!
Frustasi, amarah, penyesalan, semua campur aduk. Kirana merasa jiwanya tercabik-cabik. Dia ngeliat neneknya, ibunya, ayahnya... dan rantai tas di tangannya. Senyum mereka pudar pas ngeliat tatapan kosong Kirana, gaun merahnya yang kotor, dan tas rantainya yang masih terayun.
Dengan air mata yang terus mengalir, Kirana melangkah maju. Pertama, neneknya. Dia melilitkan rantai itu di leher neneknya, erat. Neneknya cuma bisa menatapnya bingung, lalu kehabisan nafas. Ayah ibunya teriak panik, mau nangkep Kirana, tapi Kirana udah kehilangan akal sehatnya. Dia melilitkan rantai itu ke leher ibunya, lalu ayahnya. Satu per satu, mereka tumbang di depannya.
Gudang itu sunyi. Cuma ada suara isakan Kirana. Dia memandangi keluarganya yang tergeletak tak bernyawa. Gaun merahnya sekarang bukan cuma kotor, tapi juga berlumuran darah. Kue ulang tahun dengan lilin yang masih menyala itu terlihat ironis.
Kirana terduduk. Di tangannya, rantai tas itu terasa dingin dan berat. Dia gak bisa hidup dengan apa yang udah dia lakuin. Dengan tatapan kosong yang sama, dia melilitkan rantai itu di lehernya sendiri.
Hari ulang tahun Kirana berakhir dengan cara yang gak akan pernah ada yang menyangka. Di tengah gudang tua itu, empat nyawa melayang. Semuanya karena sebuah "kejutan" yang salah diartikan.