Namaku **Dara**. Umurku 17 tahun. Aku anak terakhir dari tiga bersaudara dan... ya, aku tipe orang yang gampang banget percaya. Kata kakakku, aku ini “terlalu baik buat dunia yang nggak selalu baik”.
Aku nggak ngerti maksudnya sampai aku kenal **Reyhan**.
Dia 21 tahun. Udah kuliah semester akhir waktu kami pertama ketemu di rumah makan tempat aku biasa bantuin Ibu jualan. Dia pelanggan baru. Gaya bicaranya tenang, selalu pakai kata-kata sopan, dan kalau senyum... adem banget.
> “Nasi goreng satu, sambalnya sedikit aja ya, Mbak Dara.”
Dia inget namaku dari awal. Aku sempat kaget, tapi lama-lama jadi nungguin dia datang. Tiap Senin dan Kamis, jam enam sore. Duduk di pojok dekat kipas angin yang suka mogok.
---
Tiga minggu kemudian, dia ngajak kenalan lebih jauh.
> “Boleh kita tukeran nomor? Aku sering pesen makanan, takutnya kapan-kapan kamu nggak jualan.”
Aku kasih. Tanpa mikir. Karena... dia nggak kelihatan jahat. Dan karena selama ini, nggak ada cowok yang ngomong selembut dia ke aku.
Dan seperti yang bisa ditebak, kami makin dekat.
---
Kami nggak pernah pacaran resmi. Nggak ada kata “jadi milikku ya” atau “kita jadian yuk”. Tapi perhatian Reyhan itu... beda. Kadang nyamperin aku pulang sekolah. Kadang bawa buku cerita karena tahu aku suka baca. Kadang cuma duduk bareng di kursi panjang depan warung sambil ngobrol soal bulan dan hujan.
> “Kalau hujan, aku selalu ingat kamu,” katanya suatu hari.
> “Kenapa?”
>
> “Soalnya kamu selalu muncul tiba-tiba, kayak hujan. Bikin aku adem, tapi juga basah kuyup.”
Aku senyum. Bodoh sih. Tapi waktu itu... kata-kata Reyhan terasa kayak pelukan.
---
Tiga bulan kemudian, aku benar-benar jatuh. Sepenuhnya. Aku nurut apa pun kata dia. Mulai dari nyembunyiin hubungan ini dari orangtuaku, bohong ke Ibu soal tempat aku main, bahkan pernah aku jalan jauh naik ojek cuma buat ketemu dia di kampusnya.
“Cuma sebentar,” katanya. “Aku kangen.”
Aku percaya. Selalu percaya.
---
Sampai akhirnya… ada sore yang nggak akan pernah aku lupa.
Waktu aku datang ke kampusnya lagi, tapi Reyhan nggak muncul. Aku duduk di taman kecil dekat fakultasnya. Nunggu sejam. Dua jam. Aku WhatsApp, dia centang dua, tapi nggak dibaca.
Dan saat aku berdiri mau pulang, aku lihat dia.
Tapi dia… **gandengan tangan sama cewek lain.** Cewek tinggi, rambut lurus sepunggung, pakai jaket couple yang sama kayak yang pernah Reyhan kasih ke aku.
Aku diem. Badan beku. Tapi air mata jatuh sendiri.
Reyhan lihat aku. Matanya membesar. Cewek di sampingnya langsung nanya,
> “Siapa itu, Han?”
Dan yang dia jawab adalah:
> “Oh… adik kelasku dulu. Sering bantuin tugas, orangnya emang terlalu deketan ke siapa aja.”
---
**Dan di situ, aku tahu.**
Reyhan yang aku percaya, yang aku pikir beda, yang aku tungguin tiap Senin dan Kamis, **bukan milikku**. Dan mungkin... **nggak pernah benar-benar jujur dari awal.**
---
Aku pulang malam itu jalan kaki. Nggak mau naik ojek. Nggak mau ngobrol sama siapa-siapa. Sepanjang jalan aku cuma mikir:
> “Kenapa aku sepolos itu?”
> “Kenapa aku selalu mikir orang nggak akan nyakitin aku?”
> “Kenapa... harus Reyhan?”
---
Besoknya, aku hapus nomornya. Nggak bilang apa-apa. Nggak marah. Nggak maki-maki. Karena hatiku udah cukup patah, aku nggak mau makin kelihatan kecil di matanya.
---
**Beberapa cinta hadir tanpa janji.**
Dan beberapa lagi... datang hanya untuk ngajarin kita satu hal:
> **"Jangan percaya semua senyuman yang terasa hangat."**
---
Sekarang, tiap lihat meja pojok dekat kipas angin warung Ibu, aku masih bisa ingat dia. Tapi aku udah nggak nangis lagi.
Aku cuma senyum kecil dan bilang dalam hati,
> “Terima kasih ya, Reyhan. Udah ngajarin aku cara kecewa yang pelan-pelan.”