Meridia Nereia
.
“EH?! AIDEN MAU MENIKAH?!”
Kai mengangguk. Benar saja, teman mereka akan menikah beberapa hari kedepan di istananya. Mulut Rose dan Stella menganga mendengarnya. Lily hanya tersenyum canggung. Mereka tidak menduganya sama sekali. Apalagi Kai yang mengumumkan berita tersebut. Rose dan Stella mulai tertawa kegirangan. “Buset dah! Orang pendiam kayak dia udah dapet jodoh dulu!” tutur Rose dengan seringai lebarnya. Stella mengangguk sambil meneguk araknya yang belum sempat dia habiskan. Lily masih syok mendengar berita itu dan hanya bisa diam. Kai yang sadar hanya bisa terdiam sambil mengusap punggung temannya. Lily memang bisa dibilang pernah memiliki perasaan untuk Aiden. Tetapi dia tidak pernah mengatakannya karena tidak ingin mengacaukan pertemanan mereka.
“Mending kita pulang buat beres-beres. Kita nggak mau dia nungguin pas acara, kan? Pantesan dia sering bilang sibuk pas diajak jalan-jalan bareng. Tau-tau udah ada calon tuh orang.” Semua orang mengangguk mendengar ucapan Rose. Mereka sempat mengobrol sebentar sebelum pergi ke kediaman masing-masing. Tidak lupa mereka membeli beberapa hadiah pernikahan untuk teman mereka yang akan menjadi suami dari seorang wanita yang akan menikahinya.
.
.
.
Suara rel berisik oleh kereta yang bergerak meninggalkan stasiun dan menuju sebuah kerajaan yang mereka tuju. Kai tertidur sepanjang perjalanan, Stella memandangi pemandangan di luar kereta, Lily sedang membaca buku, sementara Rose membayangkan seperti apa malam pertama Aiden dan istrinya. Dia bahkan sempat tertawa sendiri sampai dilihat oleh banyak orang. Dia yang berulah, temannya yang malu. Kai sampai bertanya pada dirinya sendiri bagaimana dia bisa berteman dengan orang yang tidak normal pikirannya.
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di stasiun yang mereka tuju. Dengan terpaksa Kai mengikat Rose dan Stella yang hampir berkeliaran ke mana-mana. Mereka mulai memasang ekspresi cemberut yang diimut-imutkan agar diberi ampunan oleh temannya. Sayangnya itu tidak berhasil sama sekali. Mereka tetap diseret dengan tali rafia yang melingkari leher mereka berdua. Lily hanya menoleh ke sana-sini dengan ekspresi kikuk.
Saat mereka keluar dari stasiun, mereka disambut oleh sebuah kereta kuda kerajaan dan seorang supir. “Saya adalah orang yang akan mengantarkan kalian ke istana. Pangeran Aiden telah menunggu kalian.” Kai mengulas senyum kecil sebagai tanda terima kasih. “Terima kasih atas bantuannya. Apa bapak bisa membuat kedua orang ini untuk berjalan di samping kudamu juga?” Yang merasa dibicarakan hanya mendesis kesal. Supir tersebut hanya meneteskan keringat sambil membukakan pintu untuk mereka. Saat mereka sibuk dengan urusannya, supir tersebut menata barang bawaan mereka di belakang kereta kuda tersebut. Setelah beberapa saat, mereka akhirnya berangkat meskipun dengan suasana yang sedikit ramai. Kai bahkan sampai harus menampar kedua temannya agar bisa diam. Lily hanya membaca peta sambil diam-diam merekam pertikaian di depannya.
Semua warga di sana terlihat sangat sibuk untuk menyiapkan diri mereka agar bisa tampil sebaik mungkin di acara pernikahan pangeran mereka. Bahkan sampai ada yang memborong toko pakaian hanya untuk mencari pakaian yang cocok untuk acara pernikahan tersebut. Padahal tidak ada perintah untuk mengenakan warna tertentu. Asalkan mereka bisa datang. Ada juga yang menyerbu toko suvenir sampai toko itu seperti kapal pecah. Tapi pemilik toko tersebut pasti berpikir bahwa mereka sedang untung besar. Jadi mereka tidak masalah jika tokonya hancur sekalipun. Uang lebih penting.
Rose seperti biasa, menatap pemandangan dengan tatapan berbinar seperti anak kecil. Padahal mereka sering melewati kota tersebut. “Hmm...kira-kira kita bakal menginap berapa hari di sini, Kai?” tanya Lily. Yang merasa dipanggil pun menoleh. Dia pasang ekspresi berfikirnya dan mulai bertutur, “Kayaknya sebulan. Memangnya kenapa?” Lily menggeleng. Dia hanya penasaran karena dia takut jika jumlah barang bawaannya tidak sesuai perkiraannya. Bukan karena hal lain. “Sebulan?! Aku cuman bawa baju buat dua minggu!” Kai dan Lily menoleh; melihat Stella yang menatap mereka dengan ekspresi tidak percaya. Rose mulai tertawa terbahak-bahak sambil mengejek teman di sampingnya yang hanya sedikit membawa pakaian. Kai sudah mulai merasa lelah dan hanya bisa pundung.
“Untungnya aku sudah bawa banyak,” bisik Lily pada dirinya sendiri.
.
.
.
“Selamat datang.”
Dua anak itu berulah lagi. Mereka berlarian di sekitar lorong istana dengan ekspresi kagum melihat kemegahan istana tersebut. Tali yang mengikat mereka sudah dibakar oleh Stella. Lily juga berusaha untuk membuat mereka berdua tetap diam dan tidak membuat banyak masalah. Meskipun ada sedikit kericuhan di sebuah sudut istana. Kai menunduk lemas, energinya terkuras hanya untuk meratapi nasibnya.
Aiden hanya tersenyum kikuk sebelum akhirnya menghela nafas. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabar kalian?” tanya Aiden dengan ekspresi lembut. Kai mengangguk, “Kami oke. Jangan formal gitu. Kita kan temen?” Senyuman Aiden melebar mendengarnya. Pangeran penyihir tersebut bisa dibilang memang pemalu. Jadi dia sangat bersyukur memiliki teman seperti mereka, yah walaupun ada yang terkena gangguan jiwa.
“Hm? Aiden? Siapa mereka?”
Yang merasa dipanggil pun menoleh, mendapati seorang pria mendekati mereka. Perawakannya ramah sekaligus mencekam, layaknya sekuntum teratai yang tumbuh di tengah-tengah rawa. Iris matanya mengingatkan orang-orang akan musim dingin. Suaranya serak, tetapi terdengar menyenangkan untuk didengar. Rose dan Stella mulai berhenti berkeliaran di sekitar lorong saat mendengar suara tersebut. Lily bernafas lega-bahkan sempat hampir pingsan-akibat kesenangannya. Alis Kai mengkerut, berusaha untuk menilai orang tersebut. “Oh, mereka temen aku,” lirih Aiden dengan sedikit nada gugup.
“Temen?” Pria tersebut memiringkan kepalanya sambil memasang ekspresi penasaran. Senyumannya mengembang dan tangannya terulur untuk menjabat Kai. “Lucien, senang bertemu dengan kalian semua.” Bolak-balik Kai menatap wajah dan tangan si empu, tetapi akhirnya tetap menerima jabatan tersebut. Rose juga mulai mengamati pria tersebut dari dekat. “Hmm...kamu sepupunya Aiden, ya?” Lucien sempat terkekeh pelan lalu menggeleng. “Bukan, aku tunangannya. Bisa dibilang calon suaminya.”
Sempat terjadi keheningan selama beberapa detik sampai akhirnya, “CALON SUAMINYA?!” Teriak semua orang tidak percaya. Tangan Lucien meraih pinggang pangeran tersebut dengan lembut sambil membawanya bersandar pada dadanya. “Kaget, ya?” Rose dan Stella saling mengucek kedua matanya dengan ekspresi tidak percaya. Lily juga sama, tapi kali ini dia benar-benar jatuh pingsan. Tatapan Kai semakin tajam, masih merasa aneh dengan penuturan tersebut. Dia diminta untuk menemani Aiden berjalan melalui altar dalam akad mereka dan tidak menyangka bahwa yang menikahi si pangeran adalah seorang mempelai pria.
Lucien mendaratkan sebuah kecupan tepat di pelipis Aiden. Senyumannya lembut, tetapi misterius. Wajah pangeran tersebut memerah akibat malu. Mulut Rose dan Stella semakin menganga. Wajahnya ia dekatkan ke arah calon suaminya dan mulai berbisik, “Sayang, kamu istirahat dulu. Aku aja yang anterin mereka ke kamar. Besok jasmu bakal sampai, mungkin sekitar jam 9 pagi. Gak sabar liat kamu bakal secantik bidadari.” Rose yang mendengar itu hanya menjulurkan lidah dengan ekspresi mual. Dia memang perwira cinta. Tetapi tidak pernah sejijik ini ketika ada yang sedang bermesraan di depannya. Mata Lucien kembali menatap para tamu undangan. “Silahkan lewat sini.”
.
.
.
“JIJIK!”
Yang lainnya sedang berkumpul di dalam kamar Lily, membahas tentang informasi yang mereka dapatkan dari teman mereka. Rose duduk bersila di atas ranjang dengan ekspresi berfikir. “Kok bisa gitu orang kayak Aiden mau dinikahin cowo juga?” Kai yang sedang duduk di atas kursi rias juga menyeletuk, “Mungkin dia malu buat nolak. Kau kan tau kalau dia pemalu?” Meskipun begitu, tidak masuk akal bagi Aiden untuk melakukan itu. Dia adalah orang paling alim di antara geng mereka. Melihat pasangan sesama jenis saja dia sudah hampir meledakkan sebuah taman hiburan.
“Dia hilang akal kah?” tanya Stella sambil mengipas Lily yang tergeletak di lantai; pingsan. Kai melirik ke arah Rose yang malah berbaring di atas ranjang yang bukan miliknya, lalu kembali memandang dua orang di bawahnya. “Orang dia lulusan sarjana kedokteran kok.” Putri Hutan tersebut mengangkat bahu. “Kan bisa aja karena stres? Kerjaan dia kan banyak? Ngurus rumah sakit sama kerajaan. Gimana engga stres?” Yang sedang berbaring pun mulai kehilangan kesabarannya dan meraih kerah Stella. “Bacot kau. Aku mau bobok. Kau diam.”
“ITU KASUR PUNYA LILY, ANJENG!”
“INI KASUR PUNYA AIDEN, GOBLOK!”
“Semuanya diam!”
Semua orang menoleh dan mendapati Lily yang sudah mulai sadar. “Oh? Udah sadar? Mau air?” tanya Stella dengan ekspresi polos khasnya. “Enggak,” ketus Lily. Mendengar itu, Stella langsung pundung di pojok ruangan dengan ekspresi murung. “Hiks...dia nggak mau temenan sama aku lagi.” Rose hanya menjulurkan lidahnya dengan pandangan jijik. “Alay,” jawabnya. Sebelum terjadi pertengkaran, Kai sudah melempar kedua wanita tersebut keluar dari jendela kamar-yang kebetulan berada di lantai lima. Lily bergidik ngeri dan menjauhkan dirinya dari Kai. Meski baik, tapi dia tetaplah seram.
Kai menghela nafas lega, seolah semua beban hidupnya sudah menghilang. Tatapannya berbalik ke arah Lily yang masih di pojok ruangan. Kakinya tergerak untuk meninggalkan kamar. “Perbanyak istirahat. Dalam beberapa hari, kamu bakal menerima kenyataan yang enggak bakal kau sukai.” Itu kalimat yang dia ucapkan sebelum menghilang dari pandangan. Pintu tertutup dan hanya menyisakan wanita tersebut. Lily sempat merenung tentang omongan Kai barusan. Dia benar. Dia harus mempersiapkan mental untuk apa yang akan terjadi dalam beberapa hari kedepan. Tangannya meraih liontin yang dia pakai. Itu adalah hadiah pertama dan terakhir yang diberikan oleh Aiden saat hari ulang tahunnya. Liontin itu berisi foto mereka berlima sedang berada di pantai. Dari sekian banyaknya orang, tatapannya tertuju pada pangeran berambut putih tersebut. Dia ingat saat mereka baru saling mengenal, mereka sudah sangat dekat. Bisa dibilang terlalu dekat. Bahkan Aiden pernah diam-diam memanjat dinding istana menuju kamarnya hanya untuk mengajak si putri menatap cahaya bintang. Wajahnya mengulas senyum tipis mengingat kenangan tersebut. Dia berharap agar waktu bisa diubah kembali.
.
.
.
“Bagaimana menurutmu, Yang Mulia?”
Aiden menatap refleksinya di cermin. Jas putih yang dia kenakan sangat pas dan memang terlihat cocok dengannya. Tudung wajahnya juga tidak terlihat terlalu mencolok. Jadi dia merasa nyaman dengan pakaiannya. “Aku suka.” Wanita penjahit yang bernama Brittany tersebut tersenyum puas. Baguslah kalau anda suka. Saya berusaha untuk membuat pakaian sesuai selera anda, Yang Mulia,” responnya sambil memegang bahu Aiden dari belakang. “Tuan Muda Lucien pasti akan terpesona dengan anda. Tidak salah dia memilih calon.”
Senyuman Aiden tetap kikuk seperti biasanya. Dia juga berkali-kali menatap refleksi dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia masih tidak percaya bahwa yang dilihatnya adalah dirinya sendiri. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua, sementara Lucien menunggu di luar. Dia tidak ingin mengacaukan kejutan dari calon suaminya. Dia memang tidak mengintip ke dalam. Tapi dia tersenyum sendiri layaknya orang gila. Bahkan beberapa pelayan yang lewat juga sempat merinding melihat senyumannya.
Tiba-tiba derap langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Langkah tersebut terdengar semangat, tetapi santai. Pandangannya dia alihkan ke arah sumber suara tersebut dan melihat Rose yang tersenyum lebar. Wanita tersebut bahkan tidak menatap raja yang dia lewati dan berjalan memasuki ruangan Aiden tanpa mengetuk pintu. Lucien sempat berpikir dia hanya ingin melihat temannya. Tetapi tiba-tiba...
“SAYANGKU!”
“DIAM LU! GA USAH LU DEKETIN GUA! GUA MAU LIAT TEMEN GUA!”
Sebuah sepatu heels terlempar keluar dari ruangan. Jika dilihat warna dan ukurannya, sepertinya itu milik Rose. Keributan terjadi di dalam ruangan. Tanpa pikir panjang, Lucien memutuskan untuk memastikan jika di dalam tidak ada kejadian yang melibatkan korban nyawa. Ternyata dia sendiri yang terkena lemparan sepatu heels milik Brittany. Aiden-yang sudah berganti pakaian- hanya bisa terdiam sambil gemetaran karena tidak tahu harus melakukan apa. Wajah Lucien sampai memerah karena lemparan keras tersebut.
Karena sudah tidak tahan, tangan Lucien terkepal dan meninju dinding dengan keras untuk mendapatkan perhatian mereka semua. Benar saja, yang di dalam ruangan langsung menoleh, mendengar suara tersebut. Terlihat Rose sedang menjambak rambut Brittany, dan yang dijambak hanya tersenyum bahagia seperti sedang di surga. Aiden dengan cepat menghampiri kekasihnya dan bersembunyi di belakangnya. Tatapannya menajam dan suaranya berat, “Apa yang kalian lakukan di kamar pribadi tunanganku?”
“Kau diam!” Dengan kompak, dua wanita tersebut mengikat Lucien dengan sebuah pita yang kebetulan sedang acak-acakan dan menutup mulutnya dengan lakban. Aiden kembali kikuk dan berusaha untuk melepas ikatan tersebut. Rose dan Brittany tetap saja adu jotos sambil melempar beberapa barang mereka. Tiada angin dan hujan, tiba-tiba Stella mengintip ke dalam sambil tersenyum lebar. Ujung-ujungnya dia sendiri terkena lemparan sebuah bola benang. Kai dan Lily tidak bergeming sama sekali di dekat pintu. Mereka sudah menebak akan terjadi seperti ini.
“LEPAS GA?! GUA MAU LIAT MY BABY!”
“Ih jangan atut! Ayang kangen.”
Rose merasa mual mendengar penuturan Brittany. Rasanya dia ingin memuntahkan semua isi perut nya. Brittany masih berusaha untuk mencium Rose meski dicegah sekalipun. Akhirnya mereka mendapatkan tamparan khusus dari Sang Raja Hiburan. Tangannya melingkar di pinggang Aiden dengan posesif. Kedua wanita tersebut mengusap pipi mereka yang memerah, bahkan sampai membentuk sebuah tangan. Akhirnya selama 30 menit, mereka diberi ceramah “singkat” oleh Lucien tentang peraturan di istana. Padahal pemilik istana tersebut adalah calon suaminya. Rose menganggukkan kepalanya paham. Sementara Brittany hanya berpura-pura dan diam-diam menyindir ucapan Lucien di dalam hati.
Stella sudah sadar dari tidur cantiknya dan malah menatap dinding seperti sebuah film yang diputar. Efek mabuk semalam karena meminum terlalu banyak anggur. Untung saja sempat dihentikan oleh Kai sebelum putri hutan tersebut muntah di toilet. Bukannya dia digendong, dia malah diseret seperti tas roda milik anak SD ataupun TK. Lily mengintip ke dalam dan melihat kejadian yang ada di depannya. Dia sedikit syok dan sedih saat pandangannya menuju tangan Lucien yang memegangi pinggang Aiden dan si pangeran menerima itu begitu saja. Tapi Lily tetap memasang ekspresi lembutnya. Dia tahu, itu akan menjadi sia-sia jika dia melabrak mereka. Tangannya menggenggam liontin yang dia pakai dengan erat, hanya untuk melampiaskan amarah dan kesedihannya.
Saat dia masih merenungkan perasaan nya yang campur aduk, tiba-tiba dia mendapatkan sebuah tepukan lembut di bahunya. Kepalanya ia tolehkan ke arah sumber tepukan tersebut dan melihat rival lamanya, Silver. Senyumannya mengembang seperti sedang menyimpan sebuah pesan rahasia. Lily membeku di tempat. Dia takut, sangat takut. Dia tidak ingin meledakkan emosinya di sini. Di tempat yang ramai. Kai dengan sigap meraih tangan Silver yang hampir menyentuh wajah Lily. Insting seorang ayah yang dia miliki naik begitu melihat salah satu temannya merasa terancam. Mereka akhirnya saling menatap satu sama lain; menahan pertengkaran. Lily sedikit gemetaran melihat tatapan amarah Kai.
Akhirnya Silver menepis tangan Kai dan berjalan memasuki ruangan; ingin menonton. Kai membawa Lily ke pelukannya dengan protektif. Apalagi saat rival Stella, Hades, muncul dengan ekspresi percaya diri. “Ada apa nih? Kok kayaknya seru?” Tatapannya menuju ke Stella yang masih duduk di lantai dengan ekspresi kosong. Tangannya terulur untuk menyentuh putri tersebut, tapi langsung ditepis begitu saja. “Dipikir siapa? Kok seenaknya nyentuh gue?” Hades sedikit terkejut, tapi tetap tersenyum. “Nggak ada sih. Mau nyapa doang. By the way, aku bagian dekor acara. Jangan lupa makan yang banyak.” Stella sempat bengong dan akhirnya...
“LU JANGAN SETEL DJ NANTI! WAKTU ITU LU MALAH SETEL LAGU ULTAH PAS ADA YANG MENINGGAL!”
“Yah, biar seru aja sih. Alay lu.”
“Kalian diam, atau aku ikat juga di kursi.”
Mereka bersamaan menoleh ke arah Lucien yang sedang memegang tali yang mengikat Rose dan Brittany di sebuah kursi. Mereka sudah babak belur, meskipun Lucien dalam kondisi tangan kosong. Silver juga sudah terkapar di lantai, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Aiden masih berdiri di pojok ruangan, tapi dengan tangan yang memijat dahinya. Lucien yang menyadarinya, langsung menghampiri tunangannya. “Kenapa, sayang? Pusing lagi?”, tanya Lucien lembut. Aiden mengangguk lemah. Akhir-akhir ini dia memang merasa pusing dan tubuhnya mulai sedikit melemah.
“Perbanyak istirahat, sayang. Acara kita minggu depan. Aku tidak ingin cintaku jatuh sakit.” Dengan jentikan jari, seorang pelayan tiba dan langsung mengantar Aiden ke kamarnya. Dia bahkan sempat hampir terjatuh akibat sakit yang ada di kepalanya. Kai ingin menyusul, tapi dia tahu itu malah akan mengganggu ketenangannya. Stella juga bungkam melihat temannya yang sakit seminggu sebelum pernikahannya. Tidak terkecuali Hades yang masih sedikit takut dengan gebrakan Lucien. Lucien berdeham untuk memanggil beberapa pelayan berikutnya. “Tolong rapikan tempat ini.”
.
.
.
-BERLANJUT-