10
Pengakuan Arjun menggantung di udara kafe, bercampur dengan aroma kopi dan bisikan percakapan orang lain. Dewi merasakan jantungnya berdetak kencang, suaranya memenuhi telinganya sendiri. Ia menatap Arjun, yang kini menunggu responsnya dengan napas tertahan. Ketulusan di mata Arjun terasa begitu nyata, dan itu, anehnya, justru membuat Dewi semakin gelisah.
"Arjun," Dewi memulai, suaranya pelan dan sedikit serak. Ia menatap cangkir kopi susunya yang sudah setengah kosong, menghindari tatapan intens Arjun. "Saya hargai kejujuran kamu. Tapi kamu tahu kan, ini… ini tidak mungkin."
Arjun menghela napas, namun senyum tipis masih tersungging di bibirnya.
"Kenapa tidak mungkin, Bu Dewi? Karena saya junior? Karena saya lebih muda? Atau karena Bu Dewi takut buat mencoba sesuatu yang baru?"
Pertanyaan terakhir itu menohok Dewi. Ia bukan takut mencoba hal baru. Ia adalah Kepala Divisi Pemasaran yang berani mengambil risiko dalam setiap proyek. Tapi ini, ini adalah hal personal. Terlalu personal.
"Ini bukan soal takut, Arjun. Ini soal profesionalisme. Soal batasan. Kamu bawahan saya."
"Saya tahu itu, Bu Dewi. Tapi di luar kantor, kita kan cuma dua orang biasa yang lagi ngopi bareng," Arjun bersikeras, matanya tak lepas dari Dewi.
"Apa salahnya kalau saya tertarik sama seseorang yang cerdas, mandiri, dan paling penting cantik kayak Bu Dewi?"
Pujian itu, lagi-lagi, membuat Dewi blushing. Ia merasa seperti kembali ke masa SMA, di mana pujian dari lawan jenis bisa membuatnya salah tingkah seharian. Ia mendengus pelan, mencoba mengendalikan emosinya.
"Cantik itu relatif, Arjun. Dan saya sudah kepala tiga. Kamu masih dua puluhan. Banyak sekali perbedaan di antara kita."
Arjun tersenyum, lesung pipitnya muncul lagi. "Memang kenapa kalau kepala tiga, Bu Dewi? Bu Dewi kelihatan kayak dua puluhan akhir kok. Dan soal perbedaan, bukannya perbedaan itu justru bikin hidup lebih seru? Bayangin kalau kita sama semua, pasti boring." Ia meneguk kopi susunya. "Lagian, saya lebih suka sama yang matang dan berpengalaman, Bu. Yang tahu apa yang dia mau. Itu jauh lebih menarik daripada yang masih labil."
Dewi terdiam, mencoba mencerna kata-kata Arjun. Ada logika aneh dalam argumennya, logika yang sedikit mengusik rasionalitas Dewi. Ia memang selalu menyukai tantangan, hal-hal yang tidak biasa. Tapi ini? Ini terlalu tidak biasa.
"Kita kembali ke kantor sekarang," kata Dewi, mencoba mengakhiri percakapan ini. Ia merasa canggung dan otaknya mulai dipenuhi alarm bahaya.
Arjun menghela napas lagi, tapi tidak membantah. "Baik, Bu Dewi."
Perjalanan pulang terasa lebih hening. Dewi mencoba menjaga jarak, tatapannya lurus ke depan. Namun, ia bisa merasakan tatapan Arjun sesekali mencuri pandang ke arahnya. Hatinya berdebar, kombinasi antara kegelisahan dan sesuatu yang lain, sesuatu yang manis dan asing. Ia tahu, garis batas yang ia coba pertahankan kini terasa semakin tipis, nyaris tidak terlihat.
Beberapa hari setelah pengakuan Arjun, suasana di kantor terasa sedikit berbeda bagi Dewi. Arjun tetap profesional saat bekerja, tapi ada saja sentuhan kecil yang membuat Dewi sadar bahwa ucapan itu bukan sekadar bualan.
Di rapat, Arjun akan sesekali melontarkan ide yang secara tidak langsung merujuk pada obrolan pribadi mereka. Misalnya, "Seperti yang Bu Dewi katakan waktu kita diskusi tentang healing Gen Z, penting untuk memahami emotional triggers pelanggan," membuat Dewi harus menahan senyum tipis. Ia juga sering sekali kebetulan lewat di depan ruangan Dewi, melambaikan tangan dengan senyum lebar dan lesung pipit yang seolah memanggil.
Dewi sendiri mulai merasa paranoid. Setiap ada bisikan di koridor, ia merasa itu tentang dirinya dan Arjun. Setiap tatapan rekan kerja, ia merasa itu tatapan menyelidik. Ia bahkan sempat mendengar Bu Ida dan Bima berbisik-bisik di kantin, menyebut cinta lokasi dan beda usia.
"Bu Dewi, kalau Bu Dewi nggak mau sama dia, nanti direbut anak magang lho," goda Bima saat istirahat minum kopi, dengan nada bercanda.
"Jangan ngaco, Bim. Konsentrasi sama kerjaanmu," balas Dewi, pipinya sedikit memerah.
Suatu pagi, Dewi menemukan sebuah kotak kecil di atas mejanya, lengkap dengan pita dan kartu ucapan. Jantungnya berdebar. Ia tahu dari siapa ini. Dengan ragu, ia membuka kartu itu.
Dear Bu Dewi,
Maaf kalau ini terlalu berani. Tapi saya mau Bu Dewi selalu ingat kalau hidup itu penuh warna, bukan cuma hitam putih. Semoga ini bisa jadi teman ngopi Bu Dewi di kantor. Dan mungkin, teman ngopi kita berdua. Semangat kerjanya, Bu Dewi!
Salam Manis,
Arjun Mahesa
Dewi membuka kotak itu. Di dalamnya ada sebuah mug keramik berwarna pastel, dengan desain latte art hati di permukaannya. Dan di bawahnya, ada beberapa saset kopi susu instan premium, dengan packaging yang cantik. Kopi susu viral.
Dewi tersenyum tipis. Arjun ini selalu punya cara. Ini adalah hadiah yang cerdas, tidak terlalu personal tapi sangat mengena, dan lucu. Ia tahu ini adalah cara Arjun untuk terus mengingatkannya pada percakapan mereka, pada kebersamaan mereka di luar jam kantor, dan pada pengakuan itu.
Namun, di balik senyum itu, ada kecemasan yang tumbuh. Hadiah ini, meskipun manis, membuat batasan profesionalisme semakin kabur. Apakah ia harus mengembalikannya? Atau pura-pura tidak melihatnya? Tapi senyum manis Arjun seolah sudah tercetak di dasar mug itu.
Kegelisahan tentang mug dari Arjun itu membuat Dewi sedikit tak fokus. Ia memutuskan untuk meletakkan mug itu di laci, jauh dari pandangan. Ia akan memikirkannya nanti.
Siang itu, Dewi punya janji meeting dengan klien di luar kantor. Ia bergegas menuju tempat parkir di basement. Udara di basement terasa lebih dingin dan bau knalpot samar. Begitu tiba di mobilnya, ia melihat sesosok tubuh bersandar di kap mobilnya, sibuk dengan ponselnya.
Arjun. Lagi.
Ia mengenakan kaus polos hitam dan celana jeans, terlihat sangat kasual. Rambutnya sedikit acak-acakan, seolah ia baru saja merapikannya dengan jari.
"Arjun? Kamu ngapain di sini?" tanya Dewi, sedikit kaget.
Arjun mendongak, senyumnya langsung mengembang.
"Eh, Bu Dewi! Kebetulan sekali! Saya mau pulang, Bu. Mobil saya parkir di sini juga." Ia menunjuk mobil di samping mobil Dewi. Kebetulan sekali, lokasi parkirnya berdekatan. Sangat kebetulan.
"Oh," Dewi mengernyitkan dahi. "Tapi ini kan area parkir khusus direksi dan kepala divisi, Arjun. Kamu kan belum…"
Arjun terkekeh. "Oh iya? Aduh, saya nggak tahu, Bu. Saya kira kosong aja. Maaf deh, Bu Dewi." Ia menggaruk kepalanya. "Saya pindahin sekarang deh."
Dewi hanya bisa menahan senyum. Tentu saja dia tahu. Ini pasti akal-akalannya saja.
Saat Arjun berjalan menuju mobilnya, ia menoleh ke Dewi. "Bu Dewi mau meeting ya? Semangat, Bu! Semoga sukses!"
"Terima kasih," jawab Dewi, sedikit kaku.
Arjun tersenyum lagi. "Ngomong-ngomong, mug-nya sudah sampai kan, Bu? Gimana? Cocok kan sama selera Bu Dewi?"
Dewi terdiam. Ia tidak menyangka Arjun akan langsung menanyakannya. Ia tidak sempat menyusun jawaban. "Ehm… iya. Sudah. Terima kasih."
"Sama-sama, Bu Dewi," Arjun mengedipkan mata. "Saya harap Bu Dewi suka. Itu latte art-nya sengaja saya pilih yang hati, Bu. Biar Bu Dewi tahu kalau ada yang peduli di sini."
Dewi merasakan pipinya memanas hebat. Kali ini, ia yakin wajahnya pasti semerah tomat. Kalimat peduli itu, dengan latte art hati, dan senyum jenaka Arjun, membuat Dewi seolah kehilangan kata-kata. Ini bukan lagi sekadar modus. Ini adalah flirting yang sangat terang-terangan.
Arjun masuk ke mobilnya, menyalakan mesin. Ia menurunkan kaca jendela, menatap Dewi sekali lagi.
"Hati-hati di jalan, Bu Dewi! Ingat, kalau ada apa-apa, saya siap sedia. Termasuk kalau hati Bu Dewi butuh teman ngopi."
Dan dengan itu, Arjun melambaikan tangan, lalu mengemudikan mobilnya keluar dari tempat parkir, meninggalkan Dewi terdiam di samping mobilnya sendiri, dengan jantung berdebar dan pikiran kalut. Ia menatap ke arah mobil Arjun menghilang.
Dewi menyentuh dadanya. Getaran itu kini terasa sangat kuat, tidak lagi halus. Itu adalah sebuah gejolak yang mulai sulit ia kendalikan. Arjun bukan hanya mengusik, ia telah berhasil menembus dinding pertahanan Dewi, lapis demi lapis, dengan kepolosan yang genit dan keberanian yang tak terduga. Ia adalah brondong yang berbahaya, bukan untuk kariernya, tapi untuk hatinya. Dan Dewi, di usianya yang matang, mulai menyadari bahwa ia mungkin... tertarik. Sebuah pengakuan yang belum terucap, bahkan untuk dirinya sendiri.
13
Mug kopi susu viral dari Arjun kini tersimpan rapi di laci meja Dewi, sebuah artefak rahasia yang setiap kali terlihat (meskipun hanya sekilas saat ia membuka laci) sukses membuat jantungnya berdebar. Dewi mencoba mengabaikannya, berusaha keras fokus pada tumpukan laporan dan deadline yang tak pernah usai. Namun, pikiran tentang Arjun kini seperti iklan pop-up yang tak bisa ditutup, selalu muncul di tengah fokusnya.
Gosip di kantor, seperti api dalam sekam, perlahan mulai membesar. Dewi sesekali menangkap bisikan-bisikan dari sudut-sudut kantor, sorot mata penuh selidik saat ia dan Arjun tak sengaja berpapasan. Bahkan Bu Ida dan Bima pun, meskipun setia, tak bisa menahan diri untuk tidak melempar kode.
"Bu Dewi, saya lihat Pak Direktur senyum-senyum sendiri lho pas Arjun presentasi kemarin," bisik Bu Ida suatu pagi, dengan nada penuh makna. "Jangan-jangan Pak Direktur juga ngeh sama chemistry kalian."
Dewi mendengus. "Itu senyum puas karena presentasinya bagus, Bu Ida. Jangan dilebih-lebihkan." Tapi hatinya mencelos. Apakah Pak Direktur memang ngeh?
Kecemasan Dewi mencapai puncaknya saat suatu sore, ia menerima panggilan dari Divisi HRD. Ibu Sari, Kepala HRD yang terkenal sangat kaku dan disiplin, memintanya datang ke ruangannya. Suara Ibu Sari di telepon terdengar datar, namun Dewi bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Perutnya mendadak melilit, seperti sedang menghadapi presentasi terpenting dalam kariernya.
"Ada yang ingin saya diskusikan, Dewi. Penting," kata Ibu Sari, tanpa basa-basi begitu Dewi duduk di hadapannya. Ruangan HRD berbau disinfektan dan terasa pengap, tidak ada kopi manis atau tawa renyah Arjun di sana.
"Ya, Bu Sari? Ada masalah dengan kinerja tim saya?" Dewi langsung berpikir ke arah pekerjaan, mencoba mengendalikan nada suaranya agar tetap profesional.
Ibu Sari menatap Dewi dengan pandangan yang tak bisa Dewi tafsirkan.
"Bukan soal kinerja, Dewi. Ini soal lingkungan kerja. Ada beberapa laporan yang kami terima, mengenai interaksi pribadi yang dianggap terlalu dekat antara atasan dan bawahan." Ibu Sari berhenti sejenak, menatap Dewi lurus-lurus. "Terutama, laporan yang berkaitan dengan Anda dan Saudara Arjun Mahesa."
Jantung Dewi seolah berhenti berdetak. Pipinya langsung memerah padam. Alarm bahaya di otaknya kini berteriak lebih kencang dari sound system konser indie kemarin. Ia merasa seperti mahasiswa yang ketahuan menyontek saat ujian.
"Bu Sari, saya tidak mengerti maksud Anda," Dewi mencoba mengelak, suaranya sedikit bergetar. "Interaksi saya dengan Arjun murni profesional. Saya hanya membimbingnya sebagai junior baru."
Ibu Sari menghela napas. "Kami tahu Anda sangat profesional, Dewi. Tapi Anda juga tahu kebijakan perusahaan tentang hubungan di tempat kerja. Kami ingin menjaga suasana kondusif dan menghindari konflik kepentingan atau persepsi negatif di antara karyawan. Apalagi ini menyangkut atasan dan bawahan."
Dewi menunduk. Ia tahu kebijakan itu. Ia sendiri yang sering mengingatkannya pada timnya. Sekarang ia merasakannya sendiri. Ini adalah teguran halus. Sebuah peringatan. Jika terus berlanjut, ini bisa berujung pada hal yang lebih serius. Reputasinya, bahkan posisinya, bisa terancam. Bahkan berpengaruh pada Arjun yang seorang karyawan baru.
Sebuah pil pahit yang harus ia telan. Ia harus menjauhi Arjun. Itu adalah satu-satunya jalan. Meskipun hatinya memberontak.
masih to be continued 🤭