7
Dewi kembali ke rutinitas kantor dengan pikiran yang sedikit lebih... berisik setelah konser yang aneh sekaligus menyenangkan itu. Bayangan senyum Arjun, suara tawanya yang renyah, bahkan aroma aftershave-nya, seolah menempel di sela-sela berkas laporan dan layar monitornya. Ia berusaha menepisnya, meyakinkan diri bahwa semua itu hanyalah bagian dari observasi lapangan untuk memahami demografi Gen Z.
Namun, menepis Arjun tak semudah menepis spam email. Pria itu kini seperti bayangan yang tak terhindarkan. Setiap pagi, ia akan muncul di lift, entah dari mana asalnya, dengan sapaan ceria.
"Pagi, Bu Dewi! Siap conquer the world hari ini?" Atau ia akan muncul di pantry, kali ini dengan segelas kopi susu racikannya sendiri, yang katanya sudah approved oleh barista kantor.
"Bu Dewi mau coba? Dijamin langsung on fire sampai sore!"
Dewi mengamati Arjun. Ia memang cekatan dalam pekerjaan, cepat belajar, dan punya ide-ide segar. Dalam rapat, ia sering melontarkan insight yang tak terduga, meski kadang diselipi analogi game online atau K-Pop yang membuat Dewi harus menahan senyum. Rekan-rekan kerjanya, terutama para junior, tampak menyukainya. Ia periang, mudah bergaul, dan tak segan membantu. Semua itu adalah strength yang jelas.
Tapi, ada satu hal yang terus mengusik Dewi. Setiap kali Arjun memandangnya, ada tatapan yang lebih dari sekadar hormat pada atasan. Ada binar jenaka, sedikit nakal, yang seolah berkata, Aku tahu kamu tertarik, Bu Dewi. Ini bukan lagi sekadar bibit unggul, tapi bibit unggul yang flirty.
Suatu siang, saat makan di kantin, Bu Ida dan Bima kembali memulai sesi analisis mereka.
"Bu Dewi, saya perhatiin, si Arjun itu emang beda ya kalau sama Bu Dewi," kata Bu Ida sambil menyeruput es teh manisnya. "Matanya itu lho, Bu, kayak lampu disko. Kelap-kelip terus."
Dewi mendengus. "Biasa aja, Bu. Dia kan memang anak periang."
"Periang sih, Bu. Tapi kalau sama yang lain, dia cuma senyum standar karyawan baru. Kalau sama Bu Dewi, dia pakai senyum full package, lengkap sama lesung pipit," tambah Bima, mengunyah bakso dengan serius.
"Itu strategi pemasaran dia, Bu. Buat dapetin perhatian bosnya."
"Strategi apaan? Strategi buat saya pecat karena terlalu genit?" Dewi mencoba bercanda, tapi ada sedikit kegelisahan yang nyata di dalam dirinya.
Malam itu, di rumah, Dewi tak bisa tidur. Ia mengambil buku catatan kecilnya yang biasa dipakai untuk mencatat ide-ide pemasaran. Kali ini, ia menuliskan sesuatu yang berbeda, Analisis SWOT Arjun Mahesa.
Strength (Kekuatan): Cerdas, cepat belajar, ramah, charming, good looking, punya inisiatif, semangat kerja tinggi.
Weakness (Kelemahan): Terlalu santai, kurang menjaga jarak profesional, sedikit ceroboh (insiden kopi), usia jauh lebih muda.
Dewi menggarisbawahi poin terakhir itu tebal-tebal.
Opportunity (Peluang): Bisa jadi asisten yang sangat membantu, punya insight Gen Z yang relevan untuk target pasar baru, bisa jadi teman diskusi yang menyenangkan di luar pekerjaan.
Dewi ragu menulis teman diskusi, tapi akhirnya menuliskannya.
Threat (Ancaman): Membuat saya jadi bahan gosip, membuat saya tidak fokus, membuat saya merasa tua, menimbulkan perasaan yang tidak profesional.
Bagian perasaan itu ia tulis kecil, nyaris tak terlihat, lalu mencoretnya lagi.
Dewi menutup buku catatannya. Analisisnya justru membuatnya semakin bingung. Ia tahu ia harus menjaga jarak, tapi setiap kali Arjun hadir, dinding pertahanannya seolah terkikis. Ancaman terbesar, ia sadar, bukan dari gosip kantor, tapi dari dirinya sendiri. Dari getaran aneh yang mulai sering muncul di hatinya.
8
Beberapa hari kemudian, Dewi menghadapi krisis. Hard disk eksternal berisi semua data proyek kampanye terbesar mereka, yang akan dipresentasikan keesokan harinya, tiba-tiba tidak terdeteksi. Panik mulai menyerang. Ini adalah data dua bulan kerja keras, yang jika hilang, bisa berakibat fatal bagi kariernya.
Dewi sudah mencoba segalanya. Mencolokkan ke berbagai port, mencoba di komputer lain, bahkan mengomelinya. Tidak ada hasil. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ini sudah pukul tujuh malam, kantor mulai sepi. Ia sudah menelepon teknisi IT, tapi mereka baru bisa datang besok pagi. Esok pagi adalah deadline.
Saat itulah, Arjun lewat di depan ruangannya, jaket denim di bahunya, bersiap pulang. Ia berhenti ketika melihat Dewi tampak sangat cemas, rambutnya sedikit berantakan karena terus-menerus menggaruk kepala.
"Bu Dewi, kok masih di kantor? Ada masalah?" tanyanya, mendekat.
Dewi, yang biasanya menjaga image kuatnya, kali ini terlalu panik untuk peduli.
"Arjun! Ini gawat! Hard disk proyek X tidak terbaca! Semua data ada di sini!" Ia hampir menangis.
Arjun melihat hard disk kecil di tangan Dewi, lalu melirik laptopnya.
"Coba sini, Bu. Mungkin saya bisa bantu."
"Kamu bisa?" Dewi menatapnya ragu. "Ini data sangat penting. Kalau hilang—"
"Santai, Bu Dewi. Saya anak IT juga kok waktu kuliah. Sedikit banyak paham soal per-data-an," Arjun tersenyum menenangkan, senyum yang entah mengapa membuat Dewi sedikit merasa lega. Ia mengambil hard disk itu dengan hati-hati.
Arjun duduk di kursi Dewi, tangannya lincah mengutak-atik laptop. Ia membuka beberapa software yang asing bagi Dewi, mengetikkan perintah-perintah aneh, matanya fokus sepenuhnya pada layar. Aroma sabun dan aftershave-nya kembali tercium samar, kini bercampur dengan aroma laptop yang sedikit panas. Dewi berdiri di sampingnya, deg-degan, menatap layar dengan tegang. Ruangan yang tadinya sepi, kini terasa lebih hidup dengan kehadiran Arjun.
Lima belas menit berlalu. Arjun sesekali bergumam pada dirinya sendiri, "Nah, ini dia…," atau "Ah, nakal juga nih file." Dewi hanya bisa terdiam, mengawasi setiap gerak-geriknya.
Tiba-tiba, sebuah folder muncul di layar. Folder yang berisi semua data proyek X.
"Dapat!" seru Arjun, berseri-seri. Ia menoleh ke arah Dewi, senyum lebar terukir di wajahnya.
"Datanya aman, Bu Dewi! Bad sector kecil aja, sudah saya recovery."
Dewi merasakan napas lega yang luar biasa. Beban berat di pundaknya lenyap seketika.
"Arjun! Astaga! Terima kasih banyak! Kamu menyelamatkan saya!" Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar, senyum tulus yang jarang ia tunjukkan di kantor.
Arjun tertawa. "Sama-sama, Bu Dewi. Kan saya udah bilang, saya siap membantu kapan saja. Termasuk soal penyelamatan data penting dan kopi susu viral." Ia kembali mengedipkan mata.
"Kamu ini… serius, saya sangat berterima kasih," Dewi menatap Arjun dengan rasa kagum yang tulus. Ia melihat wajah Arjun yang kini sedikit berkeringat, rambutnya sedikit berantakan, tapi terlihat sangat heroik di mata Dewi. Ia benar-benar pahlawan dadakan.
"Nggak masalah, Bu. Asal Bu Dewi traktir kopi susu viral," goda Arjun, suaranya sedikit rendah.
Dewi tertawa renyah. "Deal! Kapan pun kamu mau. Kamu memang bibit unggul, Arjun."
Arjun tersenyum puas. Ia membereskan laptop Dewi, lalu menyerahkan hard disk dan laptopnya. Jari-jari mereka sempat bersentuhan sejenak. Sentuhan itu ringan, tapi Dewi bisa merasakan kehangatan yang menjalar. Malam itu, Dewi pulang dengan perasaan campur aduk. Ia lega karena data proyeknya aman, tapi juga bingung dengan perasaannya sendiri. Arjun bukan lagi sekadar pegawai baru yang genit. Ia adalah penyelamatnya. Dan kenyataan itu, entah mengapa, terasa sangat manis.
9
Sejak insiden hard disk itu, interaksi Dewi dan Arjun semakin intens. Tidak lagi hanya sekadar sapaan di lift atau godaan di pantry. Arjun lebih sering mencari Dewi, dengan berbagai alasan—bertanya soal proyek, meminta feedback, atau sekadar menyodorkan meme lucu yang ia temukan. Dewi sendiri pun tanpa sadar mulai mencari-cari keberadaan Arjun di kantor. Suara tawanya, binar matanya, lesung pipitnya, semua itu kini menjadi bagian dari soundtrack harinya.
Suatu sore, Arjun menagih janjinya.
"Bu Dewi, janji kopi susu viralnya kapan nih?" tanyanya, berdiri di ambang pintu ruangan Dewi. Ia terlihat lebih santai dengan kemeja oversized dan celana jeans.
Dewi tersenyum. "Oke, sekarang? Di kafe yang kamu bilang kemarin?"
"Siap, Bu Dewi!" Arjun tampak bersemangat.
Mereka pergi ke kafe yang dimaksud Arjun, sebuah tempat mungil dengan interior kayu dan banyak tanaman hias. Aroma kopi dan kue manis memenuhi ruangan. Suasananya nyaman, jauh dari hiruk pikuk kantor. Arjun memesankan dua gelas kopi susu viral yang ternyata rasanya perpaduan pahit, manis, dan sedikit creamy. Rasanya memang unik, dan Dewi akui, ia menyukainya.
"Gimana, Bu Dewi? Enak kan? Nggak kalah sama kopi hitam favorit Bu Dewi, kan?" Arjun tersenyum lebar.
"Enak. Manisnya pas," jawab Dewi. Ia menyesap kopi susu itu perlahan.
Obrolan mengalir santai. Arjun bercerita tentang kehidupannya, tentang impiannya yang besar, tentang keluarganya yang sederhana namun hangat. Dewi mendengarkan, dan sesekali bertanya. Ia merasa nyaman berada di dekat Arjun, nyaman dengan candaan dan energinya yang menular. Ia bahkan tanpa sadar menceritakan beberapa pengalaman lucunya saat awal bekerja dulu, sesuatu yang jarang ia bagikan.
"Dulu waktu saya baru masuk, saya pernah salah kirim email ke seluruh database klien, isinya joke garing tentang marketing," Dewi terkekeh, mengenang. "Paniknya minta ampun."
Arjun tertawa terbahak-bahak. "Wah, Bu Dewi juga pernah absurd ya? Saya kira Bu Dewi dari lahir sudah jadi Queen of Marketing yang sempurna."
"Tidak ada yang sempurna, Arjun," kata Dewi, menatap Arjun. Ada jeda sesaat, dan Dewi merasakan pandangan mereka terkunci.
"Bu Dewi," Arjun tiba-tiba berkata, nadanya berubah lebih serius. Matanya menatap Dewi lekat, lesung pipitnya menghilang. "Saya mau jujur."
Jantung Dewi berdebar kencang. Ia tahu apa yang akan keluar dari mulut Arjun. Ia sudah melihatnya di mata Arjun, merasakan tarikannya. Ia menahan napas.
"Sejak hari pertama saya ketemu Bu Dewi, saya sudah tahu Bu Dewi itu beda," lanjut Arjun. "Bukan cuma karena Bu Dewi Kepala Divisi, tapi karena Bu Dewi itu… auranya kuat. Tapi di balik itu, saya tahu Bu Dewi juga punya sisi yang hangat dan… lucu."
Dewi hanya bisa terdiam, tidak tahu harus merespons apa. Ia merasa pipinya memanas.
"Saya tahu mungkin ini nggak profesional, Bu," Arjun melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Tapi saya… saya tertarik sama Bu Dewi. Bukan cuma sebagai atasan atau mentor. Lebih dari itu."
Dewi menatap cangkir kopi susunya. Rasa manisnya kini terasa pahit di lidahnya. Ini yang ia takutkan. Sebuah pengakuan yang akan merusak semua batasan yang ia coba bangun. Ia bisa saja menolak, dengan alasan profesionalisme, perbedaan usia, atau apa pun. Tapi saat ia mendongak, melihat ketulusan di mata Arjun, kalimat-kalimat penolakan itu seolah lenyap.
"Arjun," Dewi memulai, suaranya pelan, mencoba mencari kata yang tepat. Ia merasakan kerutan halus di sudut matanya. Garis tawa yang kini terasa seperti garis batas yang sangat nyata.
to be continued 😝