Langit Jakarta sore itu seakan ikut berduka, mendung menggantung pekat, sama pekatnya dengan hati Diandra. Jemarinya gemetar memegang ponsel, menatap pesan singkat yang baru saja masuk, sebuah undangan pernikahan. Nama pengirimnya membuat seluruh dunianya runtuh, Ardi. Ardi, lelaki dua puluh enam tahun yang setahun belakangan ini mengisi setiap relung hatinya, setiap pikirannya.
Diandra, 36 tahun, seorang konsultan periklanan yang sukses, selalu merasa hidupnya lengkap. Karirnya mapan, teman-teman baik, dan keluarga yang suportif. Tapi sejak Ardi hadir, rasanya ada kepingan yang baru saja ia temukan.
Ardi, dengan mata cokelat hangat dan senyumnya yang mampu meluluhkan segalanya, adalah juniornya di kantor. Mereka sering lembur bersama, membahas strategi kampanye, lalu berlanjut ke obrolan personal yang tak berujung.
Sesi curhat itu, oh, sesi curhat itu. Diandra masih ingat setiap detailnya. Ardi akan datang ke mejanya, seringkali dengan wajah lelah, menceritakan masalah keluarganya, tekanan pekerjaan, atau bahkan kisah patah hatinya dengan pacar-pacar sebelumnya. Diandra, dengan seluruh pengalamannya, selalu menjadi pendengar yang sabar, memberikan nasihat, dan terkadang sekadar pelukan persahabatan yang menenangkan.
"Diandra sama Ardi itu cocok banget, ya," bisik-bisik kadang yang sampai ke telinga Diandra, yang sering kali disertai senyum usil.
"Lihat deh, Ardi nempel terus sama Kak Diandra."
Beberapa kali, Ardi sendiri yang menyadari godaan itu dan hanya tertawa renyah, "Ah, mereka ini ada-ada aja. Kak Diandra kan sudah seperti kakakku sendiri."
Diandra hanya tersenyum menanggapi, mencoba mengabaikan rasa perih kecil yang menusuk, sambil diam-diam berharap bisikan itu suatu saat akan menjadi kenyataan.
Ia pernah sesekali menggoda, "Ardi, kalau kamu sudah lelah sama semua drama, kenapa nggak coba sama yang lebih tua, yang lebih tenang?"
Ardi hanya akan tertawa, tawanya renyah dan Diandra akan merasa jantungnya berdebar.
"Ah, Kak Diandra bisa aja," katanya selalu, "Kakak kan mentor terbaikku."
Mentor. Kata itu kini bergaung di kepalanya, menghantamnya telak seperti palu godam. Semuanya hanya karena hormat. Bukan karena ada rasa. Gosip-gosip itu, tatapan usil teman kantor, bahkan godaannya sendiri, semua itu hanya menambah lapisan ilusi yang ia bangun sendiri.
Beberapa minggu lalu, Ardi datang dengan wajah berseri-seri. Ia bercerita tentang seorang gadis, teman lamanya, yang baru saja kembali dari luar negeri.
"Dia lucu banget, Kak. Bikin aku ketawa terus," katanya dengan mata berbinar, mata yang sama yang dulu Diandra pikir memancarkan kerinduan padanya. Diandra menelan ludah, berusaha tersenyum.
"Wah, bagus dong, Ardi," ucapnya, suaranya tercekat.
Ia masih ingat momen saat ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase. Ardi hanya sedang dalam masa transisi, dan suatu saat ia akan melihat Diandra dengan pandangan yang sama seperti Diandra melihatnya. Ia menunggu. Ia berharap. Ia berdoa.
Tapi sekarang, undangan ini, dengan nama Ardi dan seorang wanita bernama Kirana tercetak jelas, adalah pukulan telak yang merobohkan seluruh menara harapannya.
Diandra berjalan gontai ke jendela, menatap rintik hujan yang mulai membasahi kaca. Ia teringat semua malam saat ia begadang, membalas pesan Ardi. Semua tawa, semua canda, semua tatapan mata yang ia kira adalah cinta. Ternyata semua itu hanyalah manifestasi dari rasa hormat seorang junior kepada mentornya. Tidak lebih.
Air mata mulai mengalir, membasahi pipinya. Ia bukan lagi Diandra yang kuat, yang tak pernah menyerah pada apapun. Ia hanyalah seorang wanita 36 tahun yang patah hati, hancur berkeping-keping karena kesalahpahaman hatinya sendiri. Usia sepuluh tahun itu, perbedaan yang dulu ia anggap sepele, kini terasa seperti jurang menganga yang tak mungkin ia seberangi.
Ia membaca undangan itu lagi, jemarinya menyusuri nama Ardi. Ada rasa sesak yang luar biasa di dadanya, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Diandra mengetik balasan singkat untuk Ardi.
"Selamat, Ardi. Aku pasti datang."
Pesan itu terkirim, membawa serta serpihan hatinya yang hancur. Diandra tahu, ia harus datang. Ia harus melihatnya, memastikan sendiri bahwa semua ini nyata. Mungkin, dengan melihat Ardi berbahagia dengan orang lain, kepingan hatinya yang berserakan bisa mulai ia pungut kembali, satu per satu. Meskipun rasa sakitnya akan luar biasa, ia harus menghadapinya. Karena itulah satu-satunya cara untuk benar-benar melepaskan.