4
Setelah insiden di pantri dan makan siang kebetulan yang diwarnai candaan genit Arjun, Dewi mulai merasa ada yang bergeser dalam rutinitas mapannya. Tidak ada lagi hari yang benar-benar tenang tanpa setidaknya satu interaksi tak terduga dengan Arjun. Pria itu seperti virus, menyebar diam-diam ke setiap sudut kehidupannya di kantor.
Kini, setiap kali Dewi berjalan menuju lift, ia seolah bisa merasakan kehadiran Arjun di sekitarnya. Dan benar saja, tidak jarang Arjun tiba-tiba muncul di sampingnya, tersenyum lebar. "Pagi, Bu Dewi! Makin cerah aja nih kayak masa depan saya!" atau "Bu Dewi paling on time deh, kayak jadwal gajian!"
Pujian-pujian itu selalu dilemparkan dengan nada ringan, seringkali dibarengi kedipan mata yang membuat Dewi harus mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk tidak tersipu.
Bukan hanya di lift atau kantin, Arjun juga mulai sering tak sengaja muncul di pantry saat Dewi sedang membuat kopi. Ia bahkan pernah tiba-tiba muncul di meja Dewi, membawa snack aneh yang disebutnya makanan healing ala Gen Z.
"Bu Dewi, cobain deh ini keripik singkong pedas level neraka," Arjun menyodorkan sebungkus keripik dengan ekspresi penuh harap.
"Kata temen saya, ini bagus buat stress management kalo lagi banyak deadline."
Dewi menatap keripik itu dengan curiga. "Ini keripik singkong atau senjata kimia, Arjun? Pedas level neraka?"
Arjun tertawa. "Kan biar semangat, Bu. Hidup itu harus berani coba hal baru, termasuk keripik singkong pedas."
Matanya lagi-lagi menatap Dewi dengan binar jenaka. "Lagian, kata saya Bu Dewi ini perlu sedikit gangguan biar enggak terlalu tegang."
Dewi hanya menggelengkan kepala, mengambil sepotong kecil keripik. Rasanya memang pedas membakar lidah, tapi entah mengapa, ia akhirnya memakan beberapa potong lagi. Arjun berhasil membuatnya mencoba sesuatu yang tidak akan pernah ia sentuh sebelumnya.
Obrolan di kantor pun mulai menyebar. Bu Ida dan Bima menjadi komentator setia setiap interaksi Dewi dan Arjun.
"Duh, Bu Dewi, si Arjun nempel terus ya kayak perangko," goda Bu Ida suatu sore. "Senyumnya itu lho, bikin hati meleyot."
"Meleyot apanya, Bu? Itu anak emang friendly sama semua orang," elak Dewi, meski ia tahu, Arjun tidak seintens itu pada pegawai lain. "Lagian, dia kan bibit unggul, harus dibimbing ekstra."
Bima ikut menimpali, "Bimbing ekstra kok sampai lunch date di kafe, Bu? Jangan-jangan Bapak Direktur sengaja nyuruh Arjun deketin Bu Dewi biar betah di kantor."
"Ngaco!" sembur Dewi. Tapi ia tidak bisa memungkiri, ada sedikit kerutan di dahinya. Apakah Arjun memang punya misi khusus dari Direktur? Atau ini memang murni inisiatifnya?
Suatu sore, saat Dewi sedang membereskan mejanya, notifikasi chat masuk ke ponselnya. Dari Arjun. Nomornya didapat entah dari mana.
Arjun Mahesa: Bu Dewi, saya mau minta tolong dong.
Dewi Santika: Ada apa, Jun? Soal pekerjaan?
Arjun Mahesa: Bukan, Bu. Lebih penting dari pekerjaan. Soal insight hidup.
Dewi Mahesa: (emot mengernyitkan dahi) Maksudnya?
Arjun Mahesa: Saya lagi suntuk banget nih, Bu. Deadline numpuk, otak rasanya berasap. Bu Dewi kan expert soal stress management dan healing ala wanita karir. Mau dong ditemenin nonton konser musik akhir pekan ini? Ada band indie yang lagi viral, vibe-nya cocok buat healing.
Dewi membaca pesan itu berulang kali. Konser musik? Healing? Dengan Arjun? Ini jelas sudah di luar batas profesionalisme. Ini sebuah date. Jelas sekali. Dewi menelan ludah. Ia ingin menolak, tapi rasa penasaran di dadanya terlalu besar. Lagipula, akhir pekannya memang kosong, hanya diisi novel dan facial seperti biasa.
5
Setelah pergulatan batin yang cukup panjang, Dewi akhirnya menerima ajakan Arjun. Dengan syarat, ini adalah diskusi non-formal tentang manajemen stres dan dinamika industri kreatif, bukan kencan.
Arjun hanya tertawa di telepon dan berkata, "Siap, Bu Dewi! Pokoknya saya belajar dari Bu Dewi!"
Sabtu malam tiba. Dewi memilih dress kasual berwarna earth tone yang nyaman namun tetap elegan. Ia tidak ingin terlihat terlalu berusaha, tapi juga tidak ingin terlihat seperti datang ke rapat kantor. Begitu Arjun menjemputnya, Dewi terkejut. Arjun mengenakan kaus band vintage, celana cargo longgar, dan topi beanie. Penampilannya sangat santai, sangat anak muda, membuat Dewi merasa sedikit… out of place.
"Bu Dewi cantik banget malam ini!" seru Arjun, senyumnya seperti matahari di hari cerah. "Siap buat healing dan moshing?"
Dewi tersenyum canggung. "Moshing? Saya rasa tidak, Arjun. Saya ke sini untuk mengobservasi dinamika musik indie."
Sepanjang perjalanan menuju lokasi konser, Arjun tak henti-hentinya bercerita tentang band indie favoritnya, tren musik terkini, genre lagu yang sedang naik daun di platform streaming, hingga meme lucu di media sosial. Dewi mendengarkan dengan seksama, sesekali tergelitik oleh keluguannya. Dunia Arjun terasa begitu berbeda dari dunianya yang dipenuhi laporan penjualan dan strategi branding.
"Dulu waktu saya SMP, lagi booming banget tuh band pop rock yang vokalisnya gondrong itu, Bu," cerita Arjun bersemangat. "Bu Dewi pasti tahu deh!"
Dewi mengernyitkan dahi. Band pop rock gondrong? Ia berusaha mengingat.
"Mungkin saya tahu, tapi saya kurang mengikuti tren musik saat itu."
Dalam hati, ia berpikir, Waktu kamu SMP, saya lagi sibuk skripsi, Jun! Sedikit insecurity mulai menyelinap. Jarak usia itu terasa nyata, tercetak jelas di setiap referensi pop kultur mereka.
Saat mereka tiba di lokasi konser, suasananya riuh rendah. Ratusan anak muda berkerumun, menari mengikuti irama musik yang keras. Dewi merasa seperti seorang antropolog yang sedang mengamati suku baru. Arjun, di sisi lain, langsung beradaptasi. Ia mulai sedikit menggoyangkan badannya mengikuti irama.
"Bu Dewi, ayo maju dikit! Nanti nggak kerasa vibe-nya!" ajak Arjun, menarik tangan Dewi pelan.
Dewi terkejut dengan sentuhan itu, tapi mengikuti. Mereka berdiri di tengah kerumunan yang semakin padat. Arjun mulai ikut bernyanyi, suaranya sedikit fals namun penuh semangat. Ia bahkan sesekali menoleh ke arah Dewi, tersenyum, seolah ingin Dewi ikut menikmati. Dewi mencoba, mengangguk-angguk kecil, tapi pikirannya melayang.
Ia membayangkan dirinya di usia Arjun, mungkin juga pernah sebebas itu. Tapi sekarang? Ia punya tanggung jawab, citra yang harus dijaga.
"Seru kan, Bu?" teriak Arjun di telinga Dewi saat jeda lagu. "Kadang kita perlu sedikit 'gila' biar nggak stres!"
Dewi hanya tersenyum tipis. Ia merasa sedikit kikuk di antara energi muda yang meluap-luap. Di satu sisi, ia merasa terbebaskan dari kepenatan rutinitas. Di sisi lain, ia merasa out of place. Ia melihat ke sekeliling, mencari wajah-wajah sebayanya, tapi hanya menemukan lautan wajah muda yang penuh semangat. Apakah aku terlalu tua untuk ini? sebuah pikiran tak terucap mulai menggerogoti.
6
Konser berakhir. Dewi dan Arjun berjalan menuju mobil, dengan telinga berdengung dan aroma keringat serta rokok yang samar menempel di baju mereka.
"Gimana, Bu Dewi? Healing-nya berhasil?" tanya Arjun sambil menyengir.
Dewi mengangguk pelan. "Lumayan. Pengalaman yang… baru."
Jujur saja, ia merasa lebih lelah daripada segar, tapi ada semacam kegembiraan kecil yang tak terduga.
"Baguslah kalau begitu," Arjun menatap Dewi.
Di bawah cahaya remang-remang lampu jalan, mata Arjun tampak lebih gelap, lebih intens. "Saya senang bisa nemenin Bu Dewi. Jarang-jarang Bu Dewi mau diajak keluar dari zona nyaman."
"Zona nyaman saya itu adalah pekerjaan, Arjun," jawab Dewi, sedikit defensif.
Arjun tertawa kecil. "Saya tahu, Bu. Makanya, saya pengen sesekali ajak Bu Dewi keluar dari situ. Dunia ini luas lho, Bu. Nggak cuma laporan triwulan sama meeting."
Perjalanan pulang diisi dengan obrolan yang lebih ringan. Arjun bercerita tentang impiannya membangun startup sendiri suatu hari nanti, tentang hobinya hiking, dan tentang kegemarannya mencoba resep masakan baru. Dewi mendengarkan, sesekali bertanya, dan menemukan bahwa Arjun bukan hanya bocah yang genit.
Dia punya pikiran, impian, dan sisi lain yang menarik. Dia seperti buku yang baru dibuka, dan Dewi diam-diam penasaran dengan setiap halamannya.
Namun, di tengah semua itu, perbedaan usia tetap terasa seperti dinding tak kasat mata.
"Dulu waktu saya kuliah, musik indie itu underground banget, Bu. Belum kayak sekarang, udah masuk chart," celetuk Arjun.
Dewi tersenyum tipis. Waktu kamu kuliah, saya lagi pusing mikirin cicilan rumah. Ia menahan diri untuk tidak mengatakannya. Ia mulai menyadari bahwa setiap cerita tentang masa lalu Arjun selalu mengingatkannya pada betapa jauhnya mereka secara generasi. Ia punya garis tawa yang Bu Ida sebutkan, tapi ia juga punya garis usia yang terasa semakin kentara setiap kali Arjun membuka mulut.
Saat tiba di depan rumah Dewi, keheningan menyelimuti mereka. Arjun mematikan mesin mobil.
"Terima kasih ya, Arjun. Untuk malam ini," kata Dewi, memecah kesunyian.
"Sama-sama, Bu Dewi," Arjun menoleh. Wajahnya begitu dekat.
"Saya senang kok. Lain kali mau saya ajak hiking?"
Dewi tersenyum tipis. "Kita lihat nanti."
"Atau… mungkin kopi susu viral itu?" Arjun tersenyum jenaka.
Dewi tidak bisa menahan tawa kecil. "Kamu ini, kopi susu terus."
"Biar Bu Dewi tahu kalau dunia ini nggak cuma kopi hitam aja," kata Arjun, matanya menatap Dewi lekat, penuh arti. "Ada yang manis juga, kayak kopi susu."
Dewi menelan ludah. Kata-kata itu, tatapan itu, membuat Dewi merasakan getaran yang lebih kuat dari sebelumnya. Ini bukan lagi sekadar modus atau kegelian. Ada sesuatu yang lain di udara. Sesuatu yang membuat Dewi merasakan semacam attraction yang tidak ia inginkan, tapi juga tidak bisa ia tolak sepenuhnya.
"Saya masuk dulu, ya," Dewi buru-buru membuka pintu mobil.
"Hati-hati, Bu Dewi," Arjun tersenyum manis.
Di dalam rumah, Dewi bersandar di pintu, memejamkan mata. Otaknya memutar ulang setiap detail malam itu. Kekikukannya, tawanya, obrolan mereka, dan terutama, tatapan mata Arjun. Ia menyentuh sudut matanya, merasakan kerutan halus di sana.
Garis tawa. Dulu, ia selalu memaknainya sebagai tanda kebahagiaan. Tapi kini, di hadapan Arjun, garis itu terasa seperti garis batas yang memisahkan dunianya dengan dunia Arjun.
Sebuah garis yang entah mengapa, ia mulai ingin melewatinya.
to be continued again 😂