Hujan selalu punya cara membangkitkan kenangan. Bagi Aira, hujan bukan sekadar rintik air dari langit—melainkan potongan cerita yang tak pernah utuh. Seperti lelaki itu, yang datang saat hujan, dan pergi juga saat hujan mengguyur paling deras.
Dia duduk sendirian di bangku halte sore itu. Payung kecil biru langit menutupi sebagian wajahnya, tapi air matanya tetap turun, menyatu dengan hujan. Orang-orang hanya sekilas memandang, mengira itu tangis karena hujan. Mereka tak tahu, hatinya sudah lebih lama basah.
"Lagi nunggu seseorang?" suara itu datang dari sebelah. Dalam samar hujan, Aira menoleh dan terbelalak.
"Rafa?"
Laki-laki itu tersenyum, canggung. "Aku kira kamu nggak akan ingat."
"Mana mungkin aku lupa orang yang ninggalin aku di hari lamaran kita?" Aira menjawab dengan nada datar, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba menggelegak.
Rafa tertawa pelan, pahit. "Aku pantas dibenci."
"Kamu lebih dari pantas, Rafa."
Mereka terdiam. Hanya suara hujan dan lalu lalang kendaraan yang menjadi musik pengisi jeda. Aira ingin pergi, tapi tubuhnya kaku. Entah karena luka lama, atau karena ada bagian dari dirinya yang masih ingin mendengar alasan lelaki itu.
"Aku kabur hari itu karena... aku takut," kata Rafa akhirnya. "Takut menjalani hidup yang kamu impikan, tapi bukan hidup yang aku pahami."
Aira mengernyit. "Maksudmu?"
"Aku nggak pernah diajarin cara mencintai, Aira. Ayahku kasar, ibuku pergi. Saat kamu datang dengan cinta yang terlalu besar, aku... merasa kecil. Nggak pantas."
Aira menatap mata itu. Mata yang dulu pernah ia percaya. "Kamu tahu? Yang menyakitkan itu bukan karena kamu pergi. Tapi karena kamu pergi tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Tanpa kata maaf."
Rafa menunduk.
"Selama dua tahun aku bertanya, apa aku kurang baik? Kurang cantik? Kurang cukup? Sampai aku sadar... kamu yang terlalu pengecut."
Aira berdiri. Tapi Rafa menahan pergelangan tangannya.
"Tapi aku kembali, Aira. Aku ingin menebus semuanya."
Aira menatap tangan itu. Dulu, tangan yang sama yang menggenggamnya erat saat ia ketakutan. Tapi kini terasa asing.
"Kamu telat," ucap Aira pelan. "Aku akan menikah bulan depan."
Wajah Rafa menegang. "Dengan siapa?"
"Reyhan. Teman semasa SMA. Dia datang saat aku tidak berharap cinta lagi. Tapi dia tinggal, meski aku tak sempurna."
Rafa tertawa getir. "Aku layak terluka. Tapi bolehkah aku minta satu hal?"
"Apa?"
"Izinkan aku jadi tamu undanganmu. Duduk di barisan paling belakang. Biar aku bisa menyaksikan kamu bahagia, walau bukan dengan aku."
Air mata Aira jatuh. Tapi kali ini, bukan karena Rafa. Tapi karena luka itu akhirnya sembuh. Ia akhirnya mampu berdiri tanpa bayang-bayang masa lalu.
---
Empat minggu kemudian, saat hujan kembali turun, Aira berdiri di altar. Gaun putihnya sederhana, tapi cantik. Senyumnya tenang, dan matanya menatap sosok lelaki di depannya dengan yakin.
Namun, di antara tamu, tak ada sosok Rafa.
Setelah acara, Aira mendapat sepucuk surat yang dititipkan pada panitia pernikahan.
> Untuk Aira yang selalu kuat...
> Maaf aku tidak datang hari ini. Aku hanya ingin kamu bahagia tanpa gangguan masa lalu. Dan kalau kamu baca surat ini, itu berarti aku sudah pergi jauh. Bukan ke luar kota, tapi ke tempat yang lebih damai.
> Aku sakit, Aira. Kanker paru-paru stadium akhir. Aku tahu waktuku tidak lama lagi sejak pertemuan kita di halte. Tapi aku tidak ingin kamu tahu. Karena kamu sudah terlalu sering menangis karena aku.
> Terima kasih sudah pernah mencintaiku.
> Dan terima kasih... karena sudah mengikhlaskanku.
> —Rafa
Aira terdiam, memeluk surat itu di dadanya. Reyhan datang memeluknya dari belakang.
"Dia mencintaimu dengan cara yang salah, tapi dia tetap mencintaimu," ujar Reyhan lembut.
Aira mengangguk. "Dan kamu mencintaiku dengan cara yang membuatku utuh kembali."
Hujan terus turun. Tapi kali ini, bukan hujan duka. Melainkan hujan kenangan yang akhirnya bisa ia biarkan pergi.
---