Perhatian Aeridor beralih ke wilayah lain yang menderita. Di dataran luas yang dulunya subur, kini terhampar gurun tandus, tanahnya pecah-pecah seperti kulit purba yang mengering. Pohon-pohon raksasa yang dulu menjulang gagah kini tumbang, akarnya terlihat membusuk. Di sinilah takdir memanggil seorang pria dari dunia lain, Ryu.
Ryu adalah seorang atlet parkour dan penjelajah perkotaan. Hidupnya tidak jauh dari kecepatan, fleksibilitas, dan mengatasi rintangan beton dengan kelincahan. Ia terbiasa bergerak bebas, tidak terikat pada satu tempat, dan memiliki prinsip yang kuat - jika ada masalah, cari jalan keluarnya secepat mungkin, lalu lanjutkan perjalanan. Ia punya sifat keras kepala yang tak tergoyahkan, terutama saat dihadapkan pada hal-hal yang ia rasa membuang waktunya atau mengikatnya.
Saat terbangun di tengah padang tandus Aeridor, dengan lambang gunung dan akar yang terukir di lengannya, pikiran pertamanya adalah "Bagaimana cara pulang?"
Kekuatan aneh untuk mengendalikan bumi—menggerakkan bebatuan, menumbuhkan tanaman, bahkan merasakan getaran tanah—baginya adalah hal baru yang mengganggu rencananya untuk kembali.
Seorang Sesepuh suku penambang yang gigih, bernama Gaia, menemukannya. Wajah Gaia dipenuhi keputusasaan saat ia menunjuk ke tanah yang retak.
"Tanah ini sekarat," suara Gaia bergetar. "Akar Dunia kami, inti dari semua kehidupan tanah, melemah. Ia tidak lagi menopang. Hanya Penjelajah Tanah yang bisa menyembuhkannya." Gaia menjelaskan tentang Akar Dunia, jaringan purba yang menjaga kekuatan dan stabilitas bumi Aeridor, menumbuhkan hutan raksasa, dan membentuk pegunungan. Ryu mengernyit.
"Menyembuhkan tanah? Aku ini atlet, bukan tukang kebun!" gerutunya, matanya mencari-celah untuk keluar.
"Aku hanya ingin tahu bagaimana caranya pulang ke duniaku."
Meskipun keras kepala dan enggan, ada sesuatu dalam suara putus asa Gaia yang membuatnya tak bisa menolak. Ryu setuju, dengan syarat Gaia membantunya mencari jalan pulang setelah ini selesai.
Ia mulai melatih kemampuannya. Awalnya, ia hanya bisa mengangkat kerikil kecil, lalu bebatuan seukuran kepalan tangan. Dengan bimbingan Gaia, ia belajar merasakan denyut bumi, memanipulasi mineral, bahkan menciptakan perisai bumi dari tanah padat. Ia menyadari bahwa tanah di Aeridor lebih dari sekadar fondasi, ia adalah kekuatan yang tak tergoyahkan, ketahanan, dan memori masa lalu. Kekuatan Tanah terasa asing, memaksanya untuk diam dan merasakan sesuatu yang selalu ia hindari, keterikatan pada satu tempat. Namun, keras kepalanya mendorongnya untuk menguasai elemen ini, demi mempercepat kepulangannya.
Perjalanan Ryu membawanya menuju Akar Dunia, melintasi Lembah Batu Berbisik, sebuah ngarai yang dulunya dipenuhi formasi batuan indah, kini tampak seperti reruntuhan raksasa, dengan bebatuan yang terus bergeser dan mengeluarkan suara aneh. Udara terasa berat dengan energi stagnan yang membuat tanah di sana seolah ingin menelannya. Di sinilah ia berhadapan dengan Makhluk Kristal Rapuh, entitas-entitas yang terbentuk dari mineral yang tidak stabil, bergerak dengan gerakan patah-patah dan melesat cepat.
Saat Ryu melangkah di antara celah-celah ngarai, tanah di bawah kakinya bergetar dan retak. Tiga Makhluk Kristal Rapuh setinggi manusia muncul dari celah batuan, tubuh mereka transparan namun tajam, dan mereka memancarkan aura dingin yang menguras energi. Mereka menyerang dengan melesat ke arah Ryu, mencoba memotongnya dengan ujung-ujung kristal mereka yang runcing.
"Bergerak cepat, mereka pecah jika dihantam!" teriak Gaia, yang menyertainya, memberikan peringatan. Ryu menghindar dari tebasan pertama, merasakan hawa dingin yang menusuk.
"Cih, mereka bahkan tidak solid!" gerutunya, berlari di sepanjang dinding ngarai.
Ryu tahu ia tidak bisa melawan mereka dengan kekuatan mentah. Ia harus menggunakan kecerdikannya. Ia memperlambat larinya, membiarkan Makhluk Kristal mendekat. Tepat saat mereka melesat untuk menyerang, Ryu tiba-tiba menghentakkan kakinya ke tanah, memusatkan energi. Sebuah gelombang getaran kuat menyebar, membuat tanah di bawah Makhluk Kristal berguncang hebat. Makhluk-makhluk itu terhuyung, struktur kristal mereka berderak. Dengan kesempatan itu, Ryu melesat maju, mengalirkan energi ke tangannya, lalu memukul mereka dengan perisai bumi yang padat. Dengan suara "Crack!", Makhluk Kristal itu pecah berkeping-keping, hancur menjadi debu mineral yang menghilang ke udara. Ryu terengah, merasakan energi buminya terkuras, tapi kepuasan kecil tersungging di bibirnya.
"Lumayan," katanya, "tapi aku masih belum di rumah."
Ryu melanjutkan perjalanannya yang tak kenal lelah, hingga tiba di mulut Gua Serangga Penggali, sebuah sistem terowongan bawah tanah yang rumit, yang dulunya adalah jalur air bawah tanah, kini dipenuhi suara-suara aneh dari dalam bumi. Bau tanah busuk dan amis menyeruak. Di sinilah ia menghadapi Serangga Penggali Raksasa, makhluk-makhluk berukuran anjing liar dengan capit tajam dan tubuh yang dilapisi cangkang keras. Mereka adalah hama yang memakan inti mineral bumi, menyebabkan erosi dan keruntuhan.
Saat Ryu masuk lebih dalam, terowongan itu mulai bergetar. Tiga Serangga Penggali Raksasa muncul dari lubang-lubang di dinding gua, capit mereka berderak, mata majemuk mereka memantulkan cahaya redup. Mereka melesat cepat di tanah, mencoba mengapit Ryu.
"Cangkang mereka sangat keras!" teriak Gaia. "Serang dari dalam!"
Ryu mengernyit.
"Dari dalam? Aku bahkan tidak bisa masuk ke sana!"
Namun, ia teringat bagaimana ia melatih dirinya untuk merasakan struktur bumi. Ia memusatkan energi, dan tanah di bawahnya mulai bergetar. Dengan cepat, ia menciptakan dinding bumi dadakan yang memblokir serangan Serangga Penggali pertama. Saat serangga itu menabrak dinding, ia berbalik, dan Ryu merasakan getaran di bawah tanah. Ia membayangkan akar-akar pohon yang menembus tanah, mencari celah.
"Baiklah, kalau kalian suka menggali, ayo kita lihat siapa yang lebih cepat!" seru Ryu.
Ia mengarahkan tangannya ke tanah, memfokuskan energinya, dan tanah di sekitar Serangga Penggali mulai bergejolak. Ia menciptakan lubang jebakan yang dalam dan sempit di bawah kaki mereka. Dua Serangga Penggali jatuh ke dalam lubang itu, tubuh keras mereka tersangkut. Serangga ketiga mencoba melarikan diri, menggali dengan panik. Ryu tidak membiarkannya. Ia menyalurkan energinya ke tanah di bawah serangga itu, menyebabkan tanah itu mengeras dan menjebaknya di tempat. Dengan makhluk-makhluk itu terperangkap, Ryu melompat ke atas lubang, menembakkan pilar batu yang tajam dari dasar lubang, menembus cangkang keras mereka dari bawah. Serangga Penggali itu menjerit, tubuh mereka hancur menjadi butiran tanah.
"Satu langkah lebih dekat ke rumah," gumam Ryu, membersihkan lumpur dari tangannya.
Setelah melewati serangkaian terowongan yang semakin sempit dan berbau busuk, Ryu akhirnya tiba di sebuah ruang terbuka di bawah tanah, di mana aura stagnasi terasa paling kuat. Di tengahnya terdapat sebuah sumur purba yang nyaris kering, dan dari sana, aura busuk kematian dan korupsi terasa sangat pekat. Inilah tempat Akar Dunia, inti dari stabilitas elemen tanah, berada. Namun, Akar Dunia dijaga oleh sesosok Guardian yang mengerikan, Roh Tanah Longsor, entitas raksasa yang terbuat dari batuan rapuh dan tanah liat yang terus bergeser, dengan mata merah menyala dan aura yang menyebabkan tanah di sekitarnya runtuh.
Saat Ryu melangkah ke dalam ruangan, Roh Tanah Longsor meraung, suaranya seperti longsoran batu besar. Tubuhnya yang besar dan tidak stabil mulai bergerak, dan setiap gerakannya menyebabkan tanah di bawah kaki Ryu retak dan amblas.
"Ia adalah manifestasi dari erosi dan kehancuran! Ia akan menelanmu ke dalam jurang!" teriak Gaia, memperingatkan.
Ryu menyadari ini adalah pertarungan yang paling sulit. Ia harus menjaga pijakannya tetap stabil. Ia berlari, melompat, dan menempel di dinding yang lebih kokoh, menghindari tanah yang amblas. Roh Tanah Longsor melancarkan gumpalan-gumpalan batu yang berlumut, mencoba menjebaknya. Ryu menciptakan perisai bumi yang tebal untuk menahan serangan itu, namun perisainya mulai retak di bawah tekanan.
"Aku benci ini! Aku hanya ingin pulang!" teriak Ryu, frustrasi, namun kemarahan itu justru menyalurkan energi baru. Ia memusatkan semua kekuatannya. Ia tahu ia tidak bisa menghancurkan Roh Tanah Longsor dengan kekuatan fisik semata. Ia harus mengembalikan stabilitas pada elemen itu sendiri. Ryu melihat ke arah sumur, merasakan denyut lemah Akar Dunia.
Dengan tekad bulat, Ryu menghentakkan kakinya. Ia menyalurkan energi ke seluruh ruangan, menciptakan jaringan akar energi yang tak terlihat di bawah tanah. Jaringan itu bergerak cepat, mencari dan menyatu dengan inti Roh Tanah Longsor. Roh itu meraung kesakitan, tubuhnya bergetar dan mulai retak. Lalu, dengan sebuah gelombang getaran raksasa, Ryu melepaskan seluruh energi kemurniannya. Gelombang itu tidak hanya menghancurkan Roh Tanah Longsor, tapi juga menstabilkan setiap butir tanah yang membentuknya. Roh itu tidak hancur menjadi debu, melainkan kembali menjadi formasi batuan kokoh yang menopang ruangan, dengan akar-akar purba yang mulai terlihat di permukaannya. Aura busuk lenyap, digantikan aroma tanah yang segar dan stabil.
Ryu terhuyung, kelelahan yang luar biasa melandanya, namun ia segera mendekati sumur purba. Di dasarnya, ia melihat gumpalan akar raksasa yang kering dan retak—Akar Dunia. Ia menyentuhnya. Rasa sakit yang memilukan menjalar, rasa sakit dari fondasi yang rapuh. Ia menutup mata, menyalurkan seluruh energi ketahanan yang ia miliki, semua tekad keras kepalanya. Ia membayangkan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang kokoh, jembatan-jembatan perkotaan yang stabil, fondasi kokoh yang ia rancang dan pijak. Ia membiarkan energi elemen Tanah dalam dirinya mengalir bebas, tak terbatas, menyatu dengan Akar Dunia.
Perlahan, akar-akar itu mulai berdenyut dengan cahaya hijau. Retakan-retakan menutup, dan akar-akar baru mulai tumbuh, menjalar, mengisi setiap celah di tanah. Dari sumur, suara gemuruh rendah terdengar, seolah bumi bernapas lega. Gelombang stabilitas menyebar jauh, menumbuhkan kembali pepohonan, menghijaukan gurun tandus, dan membuat pegunungan tampak lebih kokoh.
Gaia muncul di sampingnya, wajahnya bercahaya oleh pantulan cahaya hijau dari Akar Dunia yang hidup.
"Kau berhasil, Penjelajah Tanah!" seru Gaia, matanya berkaca-kaca.
"Kau telah memulihkan fondasi Aeridor!"
Ryu tersenyum tipis, kelelahan, namun puas yang mendalam. Ia merasa ada perubahan dalam dirinya. Bukan hanya ia menyelamatkan sebuah dunia, tapi ia juga menemukan kekuatan dalam stabilitas, dalam keterikatan pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
"Jadi, kapan aku bisa pulang?" tanya Ryu, meskipun ia tahu jawabannya mungkin tidak sesuai harapannya.
Gaia menatapnya dengan tatapan penuh arti, bukan lagi sebagai sesepuh yang meminta pertolongan, melainkan sebagai sesama penjaga.
"Akar Dunia telah pulih, Ryu. Namun, keseimbangan ini rapuh. Ada kekuatan yang lebih besar yang bekerja di balik layar, menguras esensi dari setiap elemen." Gaia berhenti sejenak, wajahnya mengeras.
"Tugasmu kini adalah menjaga fondasi ini tetap kuat, tidak hanya Akar Dunia, tapi fondasi kepercayaan dan ketahanan di setiap sudut Aeridor. Jadilah jangkar, Ryu."
Ryu menghela napas panjang. Ia melihat ke sekeliling, ke tanah yang kini perlahan menghijau. Ia memikirkan Gaia, para penambang, dan semua penduduk yang bergantung pada kesembuhan bumi ini. Kerinduan untuk pulang masih ada, sebuah bisikan kecil di belakang benaknya, namun ia juga merasakan beban tanggung jawab yang tak bisa ia abaikan.
"Baiklah," kata Ryu, suaranya mantap namun dengan nada yang sedikit enggan.
"Aku akan membantu. Aku akan menjadi jangkar Aeridor... untuk beberapa tahun. Sampai aku menemukan cara untuk pulang."
Ia menambahkan kalimat terakhir itu dengan nada penuh tekad, seolah meyakinkan dirinya sendiri dan juga Gaia bahwa ini hanyalah penundaan, bukan penghentian total dari tujuannya.
Gaia tersenyum, mengangguk perlahan. Ia memahami bahwa karakter keras kepala seperti Ryu tidak bisa dipaksa, tapi bisa diyakinkan untuk sementara.
"Pilihanmu bijak, Ryu. Aeridor akan berterima kasih atas ketahananmu."
Ryu melangkah keluar dari Kuil Akar, berdiri di dataran yang kini mulai menghijau. Udara terasa segar, membawa aroma tanah basah dan kehidupan baru. Ia mengangkat tangannya, dan bebatuan kecil di sekitarnya mulai melayang, lalu kembali turun dengan lembut, seolah menari mengikuti iramanya. Ini bukan lagi sekadar parkour, melarikan diri dari rintangan. Ini adalah membangun, menstabilkan, menjadi bagian dari sesuatu yang abadi—setidaknya untuk waktu yang ditentukan oleh dirinya sendiri.
Ryu kini tahu, ia bukan hanya Penjelajah Tanah. Ia adalah penjaga fondasi yang baru, menanti saat di mana tanah, api, air, angin, dan elemen lain harus bersatu menghadapi ancaman yang lebih besar, ancaman yang kini mulai ia rasakan getaran gelapnya di kejauhan. Dan ia akan menghadapi itu, sebelum ia menemukan jalan pulang.