Malam itu sunyi. Hujan turun dengan irama yang konstan, seolah menutup dunia dalam selimut kelabu. Di sebuah rumah tua bergaya kolonial di ujung jalan yang hampir tak pernah dilewati orang, seorang wanita paruh baya menatap ke luar jendela. Namanya Ratna, usia 54 tahun, tinggal seorang diri setelah suaminya meninggal sepuluh tahun lalu dan anak semata wayangnya, Raka, merantau ke kota untuk bekerja.
Namun, dalam keheningan malam itu, ada sesuatu yang mengusik hatinya—sebuah bayangan. Setiap malam, tepat pukul dua belas, ia melihat sosok itu berdiri di depan jendela kamarnya dari luar. Diam. Hanya menatap.
Pertama kali ia melihatnya, Ratna mengira itu halusinasi. Tapi sosok itu terus datang. Malam demi malam.
---
Ratna mencoba mengabaikannya. Ia mulai menutup tirai lebih awal, menyalakan lampu terang di seluruh rumah, bahkan menyetel radio keras-keras agar pikirannya teralihkan. Tapi setiap pukul dua belas malam, ia merasakan kehadiran itu. Ia tidak tahu siapa, atau apa itu.
Sampai suatu malam, ia memberanikan diri membuka jendela.
"Halo?" katanya lirih, nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Bayangan itu tak bergerak. Namun, untuk pertama kalinya, Ratna merasa yakin—itu adalah seorang perempuan. Rambut panjang, gaun putih, dan tangan yang menggenggam sesuatu.
Ia menelan ludah.
“Apa kau... butuh bantuan?”
Perempuan itu mengangkat tangannya perlahan. Di tangannya, ada foto tua. Dari jarak sejauh itu, Ratna tak bisa melihat jelas. Tapi yang membuatnya merinding, foto itu tampak familiar.
---
Keesokan paginya, Ratna pergi ke loteng. Ada satu kotak tua di sana—kotak yang sudah bertahun-tahun tak ia sentuh. Isinya penuh dengan barang-barang masa lalu: surat cinta dari suaminya, baju kecil Raka saat bayi, dan satu album foto.
Tangannya bergetar saat membuka halaman demi halaman. Hingga ia berhenti pada satu lembar foto yang tak pernah ia lihat sebelumnya—seorang gadis kecil berdiri di depan rumah mereka, tersenyum.
Ratna bergumam, "Siapa ini?"
Ia melihat ke belakang foto. Ada tulisan tangan, samar dan pudar: “Untuk Adik Ratna. Dari Kak Riani. 1974.”
Ratna terdiam. Riani? Ia tak ingat pernah memiliki kakak bernama Riani. Orangtuanya pun tak pernah menyebutkan.
Namun saat ia kembali ke jendela malam itu, sosok perempuan itu sudah tak terlihat.
---
Hari-hari berikutnya, Ratna dihantui rasa penasaran. Ia mulai menggali arsip keluarga, mencari di catatan lama, dan bahkan menghubungi tetangga lama yang masih hidup. Akhirnya, ia mendapat secercah petunjuk dari Bu Yati, tetangga sebelah rumah yang kini tinggal di panti jompo.
"Riani? Oh, iya. Kakakmu. Kalian waktu kecil sering main bersama di halaman. Tapi dia... menghilang. Keluargamu tak pernah bicara soal itu lagi."
"Dia... menghilang?"
"Iya. Tiba-tiba. Orangtuamu bilang dia dikirim ke rumah saudara di luar kota karena sakit. Tapi... semua orang tahu, ada yang aneh waktu itu."
Ratna pulang dengan pikiran kalut. Bagaimana mungkin ia lupa punya kakak? Apa benar ada sesuatu yang disembunyikan keluarganya?
---
Di malam keempat sejak ia melihat bayangan itu, Ratna bermimpi.
Ia berada di taman belakang rumah, saat matahari senja menyorot pepohonan. Seorang gadis kecil berdiri di sana, wajahnya pucat, mata kosong. Ia memegang boneka lusuh.
"Kenapa kamu lupa aku?" tanya gadis itu.
"Aku... siapa kamu?"
"Aku Riani."
Mimpi itu membuat Ratna terbangun dengan napas tersengal. Dingin malam seperti masuk ke tulangnya. Ia tahu, ini bukan sekadar bayangan biasa. Ini adalah masa lalu yang menuntut untuk diingat.
---
Ratna kemudian memutuskan pergi ke dinas catatan sipil. Ia meminta salinan akta kelahiran keluarganya. Butuh waktu beberapa hari, namun hasilnya mengejutkan.
Di dokumen yang ia terima, tertera:
Nama Ayah: Sugondo
Nama Ibu: Lastri
Anak Pertama: Riani (lahir 1968)
Anak Kedua: Ratna (lahir 1971)
Tangannya gemetar saat memegang kertas itu. Ia memang memiliki kakak. Tapi kenapa selama ini ia tak pernah tahu?
Saat ia pulang, ia menemukan pintu rumah tak terkunci, padahal ia yakin sudah menguncinya tadi pagi. Di ruang tamu, ada bau aneh. Seperti tanah basah. Dan di atas meja, tergeletak foto tua—foto yang sama seperti yang dibawa bayangan perempuan itu—dengan coretan baru di belakangnya: “Aku masih di sini.”
---
Ratna tak bisa tidur malam itu. Ia hanya duduk di kursi ruang tamu, menatap gelap. Lalu, tepat pukul dua belas, terdengar suara langkah di lantai atas. Padahal ia sendirian di rumah.
Perlahan, ia menaiki tangga. Setiap langkah terasa berat.
Di ujung lorong, pintu kamar loteng terbuka sedikit. Ia mendekat. Jantungnya berdetak keras.
Saat ia mendorong pintu itu, tidak ada apa-apa... kecuali satu boneka tua di atas kursi goyang. Boneka itu lusuh, bajunya robek, dan satu matanya hilang. Tapi Ratna tahu boneka itu. Ia pernah melihatnya—di mimpi.
Ia mendekat, lalu melihat sesuatu di bawah kursi. Sebuah kotak kayu kecil. Di dalamnya, ada jurnal harian.
---
Ratna membaca halaman pertama.
"Hari ini aku dikurung lagi. Ibu bilang aku sakit. Tapi aku tidak sakit. Aku hanya tidak suka cara Ayah memandangku."
"Ratna menangis terus. Aku ingin dia diam, tapi Ibu marah padaku."
"Kadang aku ingin pergi dari sini. Tapi pintunya dikunci. Mereka semua jahat."
"Aku tidak akan diam. Aku akan biarkan mereka tahu aku masih ada."
Air mata Ratna menetes satu per satu. Riani... apa yang sebenarnya terjadi padamu?
---
Keesokan harinya, Ratna menghubungi polisi. Ia menyerahkan jurnal itu, juga semua dokumen yang ia temukan. Pihak berwenang pun mulai menggali halaman belakang rumah Ratna, tepat di bawah jendela tempat bayangan itu sering muncul.
Setelah dua hari penggalian, mereka menemukan sesuatu.
Tulang-belulang seorang anak kecil.
Dan di dekatnya, boneka kecil yang sama seperti di mimpi Ratna.
---
Kasus tersebut menjadi berita besar di kota kecil itu. Polisi menyimpulkan bahwa anak bernama Riani diduga meninggal secara tidak wajar dan dikubur secara diam-diam oleh keluarganya sendiri. Namun semua saksi utama sudah meninggal—orang tua Ratna, termasuk beberapa tetangga yang dahulu tinggal di sekitar mereka.
Ratna tidak pernah mendapatkan jawaban pasti apa yang sebenarnya terjadi. Namun malam-malam berikutnya, jendela kamarnya tak lagi didatangi bayangan. Ia merasa, meski pahit, Riani akhirnya bisa tenang setelah ditemukan dan diakui.
Di pemakaman kecil yang tenang, Ratna berdiri di depan batu nisan bertuliskan:
> Riani Sugondo
1968 – ???
Kini kau tak sendiri lagi.
---
Beberapa minggu kemudian…
Ratna mulai menulis buku tentang kisah ini. Ia beri judul "Bayangan di Balik Jendela." Kisah seorang kakak yang terlupakan, dan adik yang akhirnya mengingat.
Namun, setiap kali ia menulis, ia masih sering merasa... ada seseorang berdiri di belakangnya. Menemani.
Tidak lagi sebagai bayangan, tapi sebagai kenangan.