Setiap pagi, saat langkah kaki para siswa berlomba-lomba masuk ke kelas, aku selalu jadi yang pertama duduk. Bukan karena rajin, tapi karena aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar. Dunia yang penuh suara, warna, dan obrolan yang terlalu cepat buat aku ikuti.
Tempat dudukku selalu sama—pojok kanan belakang, persis di sebelah jendela. Jendela besar dengan kaca bening yang sering retak halus di ujung kiri, membuat cahaya pagi membentuk pola yang menarik di lantai kelas. Dari situ, aku bisa melihat langit pagi yang perlahan berubah warna, dari biru pucat ke keemasan.
Dan di situlah aku merasa... aman.
“Pagi, Aira,” suara Bu Nita, wali kelasku, memecah lamunanku.
Aku menoleh dan mengangguk. “Pagi, Bu.”
Beliau berdiri sebentar di samping meja guru, menatap seisi kelas yang masih setengah kosong, lalu matanya jatuh ke kursi kosong di sebelahku.
“Masih belum ada yang duduk di sana, ya?” tanyanya pelan.
Aku ikut menoleh. Kursi itu memang sudah lama kosong sejak semester baru dimulai. Dulu pernah ditempati Santi, tapi dia pindah ke Bandung karena ayahnya kerja di sana. Sejak itu, nggak ada yang mau duduk di situ. Mungkin karena posisinya di belakang dan dekat aku yang dikenal “pendiam tingkat dewa.”
“Belum, Bu,” jawabku pelan.
Bu Nita mengangguk, lalu tersenyum seperti biasa. Tapi aku tahu, senyum itu bukan cuma basa-basi. Bu Nita tipe guru yang suka memperhatikan detail kecil. Kadang malah terlalu jeli. Seperti tahu kapan aku hanya pura-pura menunduk karena malas bicara, atau kapan aku memang benar-benar sedang ingin sendiri.
Bel tanda masuk berbunyi, dan murid-murid mulai berdatangan. Suara kursi bergeser, tawa kecil, dan sapaan-sapaan ringan mengisi ruangan. Aku tetap diam, mencoret-coret di buku gambar. Biasanya aku menggambar langit. Kadang cerah, kadang mendung. Hari ini, entah kenapa, aku menggambar langit yang separuhnya terang dan separuhnya gelap. Campur aduk.
Kelas dimulai seperti biasa. Pelajaran pertama adalah Matematika, yang bagiku seperti bahasa alien dari planet lain. Tapi aku tetap mencatat, walau setengah hati. Pandanganku sesekali kembali ke luar jendela. Awan berarak pelan, seperti sedang berjalan menuju tempat yang tidak diketahui. Entah kenapa, aku merasa iri.
“Eh, guys,” suara Bu Nita memecah kelas saat jam istirahat hampir habis. “Hari ini kita kedatangan teman baru.”
Semua mata langsung tertuju ke depan. Bahkan aku—yang biasanya nggak peduli—ikut menoleh.
Dia muncul begitu saja. Rambut agak acak-acakan, kaus kaki nggak sama tinggi, dan senyum lebar yang… entah kenapa mengganggu ketenanganku. Cowok itu membawa ransel hitam dengan stiker-stiker aneh di permukaannya. Salah satunya bergambar pesawat kertas.
“Hai! Gue Rey,” katanya santai. “Pindahan dari Jakarta. Semoga bisa akrab, ya.”
Beberapa anak langsung berbisik, beberapa cewek malah cekikikan. Tapi aku tetap menatap kosong. Pindahan. Pasti sebentar lagi duduk di barisan depan bareng geng cerewet itu.
Tapi aku salah.
“Rey, kamu bisa duduk di sebelah Aira,” kata Bu Nita sambil menunjuk ke arahku.
Aku hampir tersedak udara.
“Eh?” ucapku lirih, lebih ke diri sendiri.
Dia berjalan santai ke arahku, lalu menarik kursi yang sudah lama kosong itu. Duduk, menoleh, dan—tentu saja—menyapa dengan terlalu ceria.
“Hai, gue Rey,” katanya sambil nyodorin tangan.
Aku hanya menatapnya. Sekilas. Lalu balik lagi ke bukuku. “Aira.”
Dia tertawa pelan. “Pendiam ya? Sama kayak langit mendung. Tenang tapi dalam.”
Aku memutar bola mata. Satu lagi cowok yang sok puitis.
Tapi tetap saja, hari itu jadi hari terakhir aku duduk sendiri di balik jendela.
---
Hari-hari biasanya selalu sunyi buatku.
Bukan sunyi yang menyeramkan, tapi sunyi yang nyaman. Seperti berjalan di lorong perpustakaan yang sepi, atau duduk di taman sore hari ketika angin hanya berani bicara pelan. Aku suka ritme itu—ritme yang tenang, teratur, tanpa kejutan.
Tapi sejak Rey duduk di sebelahku, semua ritme itu kacau balau.
“Airaaa! Lo tahu enggak, kantin sekolah ini jual cireng isi keju! Gila, gue pikir cuma di Jakarta yang ada begituan!”
Suara Rey meluncur tanpa rem saat dia menuruni tangga dua-dua, mengejarku yang sedang jalan santai ke kelas. Aku nyaris terlonjak saking kagetnya, padahal aku sudah cukup hafal suara dia.
“Rey... bisa enggak lo bicara kayak orang normal jam delapan pagi?” desahku, malas.
“Jam segini justru waktu emas buat ngobrol! Otak masih fresh!” katanya sambil tersenyum, lalu berjalan sejajar denganku. Aku mencoba mempercepat langkah, berharap dia tinggal di belakang. Tapi seperti biasa, Rey bukan tipe yang gampang ditinggal.
Sejak hari pertama dia duduk di sebelahku, Rey seperti... gelombang radio yang tak pernah kehilangan sinyal. Selalu punya cerita, selalu punya pendapat, dan entah bagaimana, selalu ingin tahu tentang diriku. Padahal aku jelas-jelas bukan tipe yang gampang diajak ngobrol, apalagi berteman.
Tapi Rey bukan orang yang paham arti “jaga jarak”.
Di kelas, dia selalu nimbrung saat aku menggambar.
“Lo suka langit, ya?” tanyanya waktu itu.
Aku cuma mengangguk, berharap dia berhenti. Tapi tentu saja dia tidak.
“Kenapa langit, sih? Kenapa enggak gunung, atau laut, atau... wajah gue, gitu?”
Aku menoleh dan menatapnya datar. “Karena langit enggak banyak bicara.”
Dia tertawa. Bukan tawa mengejek, tapi tawa ringan yang terdengar tulus.
“Wah, berarti cocok banget sama gue. Gue bisa banyak bicara buat nutupin langit yang diam.”
Astaga.
Yang paling menyebalkan adalah... aku enggak bisa marah. Bahkan, kadang aku tertawa juga. Pelan, diam-diam. Seperti saat dia jatuh dari kursi karena mencoba memutar pena pakai jari—dan gagal. Atau ketika dia salah masuk kelas karena terlalu sibuk ngobrol dengan petugas kebersihan.
Rey memang bukan orang biasa.
Setiap hari, dia datang dengan hal baru. Bisa cerita tentang film dokumenter yang dia tonton tengah malam, tentang suara jangkrik di belakang rumah kosnya, bahkan tentang kenapa dia benci angkot tapi suka duduk di dekat supir.
Dan anehnya, aku mulai mendengarkan. Awalnya karena terpaksa. Tapi lama-lama, karena... penasaran.
“Lo tuh kayak buku yang kovernya polos, tapi isinya warna-warni,” katanya suatu siang, saat kami duduk di bangku depan perpustakaan. Dia makan roti cokelat, aku menggambar sketsa burung yang terbang di atas kabel listrik.
“Dan lo kayak TV yang suaranya full volume, gambarnya blur,” balasku.
Dia terbahak. “Gue suka tuh! Jadi kayak TV tua yang butuh disetel hatinya.”
Aku mencibir, tapi senyumku tertahan. Rey memang menyebalkan. Tapi bukan tipe yang ingin aku jauhi. Anehnya, makin hari... makin banyak hal yang ingin kutahu tentang dia. Dan itu menggangguku.
Karena semakin banyak aku mengenalnya, semakin sulit bagiku untuk tetap jadi Aira yang ‘tidak peduli’.
Dan sore itu, untuk pertama kalinya, aku tidak menggambar langit.
Aku menggambar dua kursi yang berdampingan.
Satu kosong. Satu diisi oleh seseorang yang tersenyum terlalu lebar.
---
Aku selalu pikir, semua orang punya jendelanya sendiri. Tempat mereka bisa melihat dunia dari sisi yang mereka pilih.
Jendelaku adalah langit.
Tapi sejak Rey duduk di sebelahku, jendela itu mulai terasa… penuh. Seolah-olah dia ikut melihat langitku, menebak bentuk awan, dan memberi warna baru di kanvas yang selama ini hanya kupunya sendiri.
Dan jujur, itu membuatku bingung.
Apakah aku suka?
Atau takut?
---
“Lo enggak duduk bareng gue lagi sekarang, ya?”
Kalimat itu datang dari suara yang familiar—lembut, sedikit pelan, dan selalu menyelipkan nada kecewa yang tersamar.
Aku menoleh. Nina, sahabatku sejak kelas sepuluh, berdiri di depan kantin, memegang dua botol teh kotak.
Aku mengerjapkan mata. Aku lupa—kami dulu selalu duduk bareng tiap istirahat. Tapi sejak Rey datang, entah kenapa aku jadi lebih sering diam di kelas. Dan Rey… ya, dia ikut diam juga, walau tetap dengan mulut yang nyaris tak pernah berhenti bicara.
“Nin, maaf ya… aku cuma—”
“Enggak apa-apa,” potongnya cepat, sambil memaksakan senyum. “Lo udah punya temen ngobrol baru sekarang, kan?”
Aku merasa dadaku nyesek. Bukan karena Nina marah, tapi karena dia terlalu baik untuk bilang apa yang sebenarnya dia rasakan.
Aku menghela napas. “Nina, bukan gitu maksudku…”
“Enggak masalah, Ra,” katanya sambil menyerahkan satu teh kotak. “Tapi, lo tetap bisa cerita apa pun ke gue, oke?”
Aku mengangguk. Tapi jujur, aku sendiri enggak yakin. Karena akhir-akhir ini… bahkan pada diriku sendiri pun aku mulai sulit jujur.
---
Sore itu, aku memutuskan untuk jalan kaki pulang. Langit sedikit mendung, tapi tidak cukup untuk membuatku buru-buru. Aku sengaja melewati jalan memutar lewat taman kecil di belakang sekolah. Tempat itu dulu sering kami datangi—aku dan Nina—untuk sekadar duduk atau makan cilok. Tapi hari ini, aku datang sendirian. Membawa buku sketsa, dan satu pertanyaan besar di kepala.
Kenapa aku merasa bersalah karena dekat dengan Rey?
Kenapa aku merasa salah juga kalau menjauh?
Aku membuka buku gambar. Di halaman yang masih kosong, aku mulai mencoret. Awalnya bentuk awan. Lalu jendela. Lalu… dua siluet duduk berdampingan.
Yang satu menatap langit. Yang satu menatap orang di sebelahnya.
Dan saat aku sadar siapa yang sedang aku gambar, pensilku berhenti.
Rey.
---
Besoknya, Rey masuk kelas seperti biasa. Rambutnya acak-acakan karena katanya ketiduran di angkot. Tapi tetap, dengan gaya santainya dia menyapa semua orang—dan duduk di sebelahku seolah kami sudah bertahun-tahun duduk bersama.
“Lo kenapa, Ra? Kok diem banget?” tanyanya sambil menyandarkan kepala di meja.
“Gue selalu diem, Rey.”
“Iya sih. Tapi diem lo hari ini lebih... sunyi dari biasanya.”
Aku tidak menjawab.
Tapi kemudian, aku bertanya:
“Lo selalu gitu, ya? Deket sama semua orang. Gampang banget masuk ke hidup orang.”
Dia menoleh, agak kaget. Lalu mengangguk pelan. “Gue enggak tahu. Mungkin karena... gue enggak suka sendirian.”
Aku mengangguk pelan, lalu berkata:
“Aku... kebalikannya.”
Rey menatapku dalam-dalam. Kali ini dia enggak bercanda, enggak senyum, enggak melempar komentar aneh.
“Hm,” katanya akhirnya. “Mungkin itu kenapa kita duduk di jendela yang sama. Supaya kita bisa belajar lihat dunia dari dua arah.”
Dan entah kenapa, kalimat itu menancap. Dalam.
Di rumah, aku membuka kembali sketsa sore kemarin.
Lalu kugambar ulang.
Kali ini, dua siluetnya menatap langit bersama-sama.
---
Suatu pagi di hari Senin yang agak lembap, aku sedang menggambar pelan di pojok buku, ketika suara khas Pak Adi, guru seni, terdengar dari speaker kelas.
“Perhatian untuk siswa kelas XI, seleksi peserta lomba lukis tingkat provinsi akan dimulai minggu depan. Satu siswa akan mewakili sekolah. Calon peserta diminta untuk mengumpulkan sketsa awal ke ruang seni sebelum hari Jumat.”
Aku langsung menegang. Tanganku berhenti menggambar.
“Lo denger itu?” suara Rey menyela dari samping, pelan, seolah sengaja. “Kayaknya nama lo udah ditulis Pak Adi dari awal, deh.”
Aku menatapnya sekilas, lalu kembali fokus ke kertas.
“Aku belum tentu ikut,” gumamku.
Rey mengernyit. “Serius? Bukannya lo suka banget gambar?”
Aku mengangguk pelan. “Tapi... aku belum nemu tema yang pas.”
Rey tertawa pelan, lalu berkata dengan gaya sok bijak, “Kadang inspirasi itu enggak harus dicari, Rai. Dia datang pas lo enggak nyangka. Kayak... lo ketemu orang menyebalkan yang tiba-tiba duduk di sebelah lo.”
Aku mendesah. “Dan nyusahin tiap hari.”
“Dan mungkin... jadi alasan lo nemu tema.”
Aku tidak menjawab. Tapi dalam hati, aku tahu dia benar.
---
Dua hari setelah pengumuman itu, Nina mendatangiku di perpustakaan.
“Aira,” katanya sambil duduk di seberang meja, “Lo tahu enggak, Rey diajak jadi pemeran utama buat drama kelas minggu depan?”
Aku mengangguk. “Iya, katanya.”
“Terus dia bilang... lo juga harus ikut.”
Aku mengangkat alis. “Hah?”
“Dia bilang lo cocok jadi lawan mainnya. Katanya, kalau lo mau, dia janji bakal bantuin persiapan lomba lukis juga.”
Aku menghela napas. Drama kelas dan lomba lukis—dua hal yang waktunya bentrok total. Latihan drama tiap sore sampai sore banget. Dan aku butuh waktu tenang buat melukis.
Lagi pula, berdiri di panggung? Disorot semua mata? No thanks.
Tapi Nina menatapku dengan tatapan... yang bikin aku merasa bersalah lagi.
“Kita jarang bareng, Ra. Kalau lo ikut drama ini, kita bisa bareng lagi. Bukan cuma lo sama Rey.”
Aku menggigit bibir bawahku.
Di satu sisi, aku ingin fokus ke lomba. Itu bukan cuma soal menang—tapi soal membuktikan ke diriku sendiri bahwa aku punya suara, walau tidak selalu lewat kata.
Tapi di sisi lain, aku sadar... Nina benar.
Aku mulai menjauh. Tanpa sadar.
---
Malam itu aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri.
“Lo maunya apa sih, Ra?” bisikku ke diri sendiri.
“Karya lo... atau orang-orang yang mulai peduli?”
Aku membuka buku gambar. Di halaman terakhir, ada satu sketsa yang aku buat diam-diam: dua sosok berdiri di tengah panggung, cahaya jatuh di antara mereka, sementara langit malam tergantung di latar belakang. Aku enggak tahu itu lukisan, khayalan, atau... perasaan yang belum selesai.
---
Hari Jumat datang. Aku berdiri di depan ruang seni dengan map sketsa di tangan. Di sisi lain lapangan, aku bisa lihat anak-anak drama latihan dengan semangat. Rey berdiri di tengah, menyebutkan dialog—wajahnya menyala meski dari jauh.
Nina ada di sampingnya, tertawa.
Aku memejamkan mata.
Lalu melangkah masuk ke ruang seni.
Aku memutuskan untuk mengejar mimpi itu.
Tapi kali ini... aku ingin melukis bukan hanya untukku.
Aku ingin melukis langit yang ada di antara aku dan mereka.
---
Suara anak-anak yang tertawa di lapangan terdengar sampai ke lantai dua.
Dari balik jendela ruang seni, aku bisa melihat mereka—berkumpul di bawah tenda latihan drama, bersorak, memerankan adegan, menyebutkan naskah sambil sesekali tertawa kalau ada yang salah ucap.
Mereka seperti dunia yang penuh warna.
Dan aku… lagi-lagi berada di pinggirannya.
Tapi kali ini bukan karena aku menghindar. Ini karena aku memilih.
---
“Komposisinya kuat. Sketsa kamu juga punya narasi visual yang jelas,” kata Pak Adi saat melihat hasil lukisanku.
Di kanvas, ada gambar langit malam yang pecah oleh cahaya-cahaya buatan—lampu panggung, sorotan putih, dan dua siluet kecil yang berdiri saling membelakangi.
Itu bukan lukisan langit biasa.
Itu lukisan tentang kerinduan pada koneksi, pada kata yang tak pernah selesai diucap.
“Tema kamu beda dari tahun lalu. Lebih... emosional,” komentar Pak Adi lagi.
Aku hanya mengangguk.
Yang tidak kukatakan adalah: lukisan itu tentang aku dan mereka. Aku, Nina, dan Rey. Tentang jarak yang makin melebar setiap hari.
---
Hari-hari latihan drama terus berlanjut tanpa aku.
Nina makin jarang bicara, bahkan saat kami bertemu di kantin atau toilet. Bukan karena dia marah—Nina bukan tipe itu. Tapi karena mungkin... dia sudah capek mencoba mengerti.
Dan Rey?
Dia tetap jadi Rey. Ceria, rame, tapi belakangan... dia lebih sering diam. Atau mungkin, aku saja yang jarang ada di situ untuk memperhatikan.
Sampai suatu sore, aku memutuskan lewat lapangan setelah pulang dari ruang seni. Hanya sekilas, hanya ingin melihat.
Rey sedang membaca naskah, berdiri di tengah panggung latihan. Tapi kemudian, dia menoleh dan melihatku dari jauh.
Tatapan kami bertemu.
Dia tersenyum kecil, lalu melambaikan tangan. Tidak memanggil. Tidak mendekat.
Tapi cukup untuk membuat hatiku terasa... berat.
Kenapa aku merasa kehilangan seseorang yang sebenarnya masih berdiri di tempat yang sama?
---
Malamnya, aku duduk di balkon, buku gambar di pangkuan, teh hangat di tangan.
Kali ini aku tidak menggambar langit.
Aku menggambar panggung kecil, penuh cahaya. Di tengahnya ada seorang cewek yang berdiri sendiri. Di barisan penonton, hanya dua kursi yang terisi. Satu kosong. Satu diisi oleh seseorang yang menatap diam-diam dari kejauhan.
Aku menatap gambar itu lama.
“Kenapa gambar ini terasa lebih jujur daripada apa pun yang bisa aku bilang ke mereka?” bisikku.
---
Besoknya, saat aku datang lebih pagi dari biasanya, Rey sudah duduk di kelas. Sendirian. Tanpa keramaian. Tanpa suara musik dari ponsel, tanpa cerita heboh.
“Lo tahu kan, drama kelas tinggal seminggu lagi?” katanya tanpa menoleh.
Aku mengangguk, duduk perlahan di sebelahnya.
“Iya.”
“Gue pengen lo ada di sana.”
Aku diam. Tanganku mencengkeram tali tas erat-erat.
“Aira...” katanya pelan, kali ini menoleh. “Gue enggak butuh lo buat jadi pemeran utama. Gue butuh lo di sana karena... lo bagian dari cerita ini. Dari cerita gue.”
Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa... ketakutan.
Karena aku tidak tahu, harus memilih antara tetap mengejar lukisan yang hampir selesai—atau turun dari menara sunyiku dan ikut masuk ke panggung itu.
---
Malam itu, aku membuka kembali lukisanku yang hampir selesai.
Langit malam, panggung, dua siluet.
Kali ini, aku menambahkan satu bintang jatuh kecil di pojok kanan atas.
Tanda bahwa mungkin… aku harus membuat langkah pertama.
Beberapa langit tidak bisa dilihat sendirian.
Beberapa panggung tidak harus ditaklukkan sendiri.
Mungkin, aku bisa punya keduanya—asal aku cukup berani keluar dari jendela ini.
---
Langit pagi itu mendung, seperti sedang menahan hujan yang belum siap jatuh.
Aku berdiri di depan aula kecil tempat latihan drama kelas berlangsung, menggenggam botol air mineral yang sudah berembun. Kakiku ragu melangkah. Suara dari dalam aula—tawa, tepuk tangan, celetukan Rey yang khas—semuanya membuat dadaku sesak.
Tapi aku tetap berdiri di sana.
Karena kali ini, aku ingin mencoba.
---
“Lho... Aira?”
Suara Nina yang pertama menyadarkanku dari lamunan. Dia berdiri di pintu aula dengan naskah di tangan, alisnya terangkat, ekspresi wajahnya campur aduk antara kaget, lega, dan bingung.
Aku mengangguk pelan. “Boleh aku... nonton?”
Nina tersenyum. Bukan senyum biasa. Senyum hangat yang dulu sering muncul waktu kita masih bareng setiap hari.
“Ya ampun, tentu aja. Masuk, yuk!”
Aku melangkah masuk. Ruangan itu tidak besar, tapi terasa penuh—oleh suara, cahaya, dan energi. Rasanya seperti dunia yang asing, tapi juga familiar.
Rey sedang latihan dengan pemeran pengganti peran cewek utama—karena aku, jelas, tidak ikut. Tapi saat dia melihatku duduk di bangku penonton, dia berhenti sebentar. Matanya menyipit sedikit, seolah memastikan itu benar-benar aku.
Lalu dia tersenyum.
Tanpa kata. Tanpa lambaian.
Tapi cukup untuk membuatku tahu: aku tidak terlambat.
---
Setelah latihan selesai, Nina mendekat lagi. Kami duduk berdua di bangku ujung aula yang mulai sepi.
“Gue sempat mikir lo bakal tetap ngejauh, Ra,” katanya pelan.
Aku menunduk. “Gue juga sempat mikir begitu.”
Nina menatapku, lalu berkata, “Gue enggak marah lo milih lomba itu. Tapi gue sedih... karena lo enggak cerita.”
Aku menghela napas. “Gue takut. Takut kalau gue cerita, lo bakal kecewa. Gue pikir, lebih gampang diem daripada ngecewain.”
Nina tersenyum tipis. “Padahal diem lo justru bikin gue makin jauh. Aira, lo tuh temen gue. Sahabat. Bukan bayangan di balik jendela.”
Kata-katanya kena banget.
Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar dimengerti... dan juga disadarkan.
---
Hari demi hari, aku mulai sering mampir ke latihan drama. Bukan untuk tampil, tapi untuk bantu dari belakang. Membuat properti. Bikin sketsa latar panggung. Kadang bantu Nina hafalin naskah. Dan tentu saja, mendengar suara Rey teriak-teriak kalau lupa dialog sendiri.
Dan perlahan, dunia yang dulunya terasa terlalu bising… jadi terasa lebih hangat.
Ternyata, panggung bukan hanya milik mereka yang berdiri di atasnya. Tapi juga mereka yang mendukung dari bawah. Dan aku—aku memilih jadi salah satunya.
---
Satu minggu sebelum pentas, aku menyerahkan lukisanku ke Pak Adi.
Kanvas berukuran 80x100 cm itu menampilkan langit malam yang penuh bintang. Di bawahnya, ada panggung kecil. Tapi panggung itu kosong. Tidak ada aktor. Tidak ada penonton.
Hanya satu bangku panjang, dengan tiga bayangan duduk berdampingan.
Pak Adi menatapnya lama.
“Kamu akhirnya menggambar dirimu sendiri,” katanya pelan.
Aku tersenyum kecil. “Mungkin.”
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa... selesai.
---
Malam itu, Rey mengirimi pesan.
> Gue liat lukisan lo tadi. Gokil.
Kayak... semua yang susah dijelasin pakai kata, lo tuangin ke situ.
Gue suka banget.
Aku mengetik balasan, tapi menghapusnya lagi.
Akhirnya, aku hanya membalas:
> Makasih. Besok, semangat ya di panggung.
Dia membalas cepat:
> Gue semangat... karena tahu lo duduk di bangku penonton.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku tidur tanpa memikirkan siapa yang akan pergi atau siapa yang akan tertinggal. Karena aku tahu, aku sedang berjalan ke arah yang tepat.
Kadang kita tidak perlu memilih antara langit atau panggung.
Karena hidup bukan tentang memilih satu dan kehilangan yang lain.
Tapi tentang menemukan tempat di antara keduanya—dan tahu, kita tidak sendiri.
---
Aku berdiri di depan cermin kecil di ruang belakang aula. Suara ramai dari luar panggung bergema sampai ke sini—suara tawa, bisik-bisik panitia, musik latar yang sedang dicoba untuk terakhir kali.
Meski aku bukan bagian dari pemeran utama, jantungku tetap berdebar. Ini bukan tentang tampil di atas panggung. Ini tentang... akhirnya berani ada di sana. Di antara mereka. Di antara cahaya dan sorotan. Di antara suara-suara yang dulu kutakuti.
“Aira, backdrop udah siap?” tanya Nina sambil melongok dari pintu. Dia sudah pakai kostum pentas: gaun sederhana berwarna biru tua dengan pita emas di pinggang. Dia terlihat cantik, tapi juga gugup.
Aku mengangguk. “Udah. Aku udah pasang lampu-lampunya juga.”
“Thank you banget,” katanya, lalu ragu sejenak sebelum menambahkan, “Dan... makasih udah datang malam ini.”
Aku tersenyum kecil. “Aku janji, kan?”
Nina mendekat, memelukku sebentar.
Lalu dia pergi ke panggung, meninggalkanku dalam keheningan kecil yang terasa hangat.
---
Sementara drama berlangsung, aku duduk di bangku paling belakang, di sisi kanan aula. Di depanku, para siswa, guru, dan beberapa orang tua menyaksikan pertunjukan dengan antusias. Lampu panggung menyala sempurna. Latar yang kubuat—langit malam dan siluet gedung tua—terpajang seperti tirai bintang.
Rey berdiri di tengah panggung, memainkan perannya dengan sempurna. Dia bukan hanya lucu—dia hidup. Dia menyatu dengan naskah yang dulu cuma jadi tulisan kaku. Setiap ekspresinya, intonasinya, gerak tubuhnya… aku hafal. Karena aku tahu siapa Rey. Dan aku tahu, sebagian dari dirinya juga sedang bicara ke arahku malam ini, bahkan saat matanya tidak menatap ke belakang.
Di tengah adegan klimaks, dia mengucapkan kalimat yang kutulis diam-diam ke dalam catatan kecilnya minggu lalu:
> “Kadang, aku cuma pengen tahu… kalau aku jatuh, ada yang bakal ngeliat ke atas dan bilang: 'Langit belum selesai, jangan nyerah dulu.'”
Dan entah kenapa, mataku panas.
---
Setelah tirai tertutup dan tepuk tangan mengisi aula, aku ikut berdiri. Bukan karena orang lain berdiri, tapi karena hatiku benar-benar ikut berdiri malam itu—untuk mereka, untuk panggung itu, dan untuk versi diriku yang baru.
“Pentas kita sukses besar!” seru Rey saat acara selesai. Dia datang ke arahku sambil masih pakai jas panggung dan mikrofon di leher.
“Lo ngeliat semua?” tanyanya, agak kehabisan napas.
Aku mengangguk. “Bagus banget. Lo keren.”
Dia mendekat, menatapku sebentar, lalu berkata pelan, “Gue enggak tahu bisa tampil kayak tadi kalau lo enggak ada di sini.”
Aku menunduk, senyumku terselip malu. Tapi sebelum sempat menjawab, seseorang datang memanggil dari sisi aula.
“Semua peserta lomba seni diminta ke ruang OSIS sekarang! Pengumuman pemenang!”
Rey menatapku. “Lo siap?”
Aku menarik napas. “Kali ini... iya.”
---
Di ruang OSIS, para peserta lomba berkumpul. Ada dari kelas lain juga, termasuk siswa kelas XII yang katanya jago banget dalam seni abstrak. Aku berdiri di pojok, mencoba terlihat santai meski tangan dingin.
Pak Adi berdiri di depan, membawa map hasil penilaian juri.
“Selamat untuk semua peserta. Karya kalian luar biasa. Dan... setelah penilaian ketat, pemenang lomba lukis tingkat sekolah yang akan mewakili ke provinsi adalah…”
Detik itu terasa melambat.
“…Aira Nirmala, dari kelas XI-B!”
Aku membeku.
Beberapa orang bertepuk tangan. Aku masih belum bergerak.
Rey—yang entah sejak kapan berdiri di belakangku—menepuk pundakku.
“Gue enggak kaget sama sekali,” katanya. “Langit lo akhirnya nyampe ke semua orang.”
Aku memejamkan mata sebentar. Lalu membiarkan senyumku keluar. Senyum yang bukan karena menang. Tapi karena kali ini, aku benar-benar merasa ada.
---
Malam itu, sebelum tidur, aku membuka kembali buku gambar yang sudah penuh. Di halaman terakhir, aku menulis dengan pensil:
> "Langit itu luas. Tapi manusia lebih luas lagi.
Karena manusia bisa memilih untuk tetap menatap langit—atau saling melihat satu sama lain."
Lalu aku menutup buku itu.
Bukan untuk berhenti. Tapi untuk membuka lembaran baru.
Hidup bukan tentang memilih satu panggung, satu jalan, atau satu warna.
Tapi tentang berani mengambil langkah keluar dari jendela,
dan melihat bahwa dunia tidak lagi hanya sebiru langit—
tapi selengkap warna-warna yang dulu tidak berani kau lukis.
---
Pagi itu, langit cerah.
Tidak terlalu biru, tapi bersih. Seolah tahu, hari ini bukan hari yang biasa.
Aku duduk di bangku halte kecil depan sekolah, mengenakan jaket abu-abu dan membawa tabung lukisan di tangan. Tas ransel hitam Rey kugunakan hari ini—dia sengaja meminjamkannya semalam.
Katanya: “Biar keberanian gue nempel juga di lo.”
Aku tertawa saat itu. Tapi pagi ini, aku benar-benar merasa sedikit lebih berani.
Hari ini aku berangkat ke lomba tingkat provinsi. Bersama dua guru pendamping dan beberapa siswa lain. Bukan cuma lomba biasa—ini kompetisi besar, yang akan mempertemukan karya-karya dari seluruh penjuru kota dan kabupaten.
Dan aku... siap.
---
Nina datang lebih dulu. Membawa sekotak kecil brownies buatan mamanya.
“Buat cemilan di jalan,” katanya sambil tersenyum. “Dan buat pengingat kalau lo punya yang nungguin pulang.”
Aku tertawa. “Makasi, Nin. Gue bakal kangen banget sama lo.”
“Kangen itu bagus. Tandanya lo punya tempat buat pulang.”
Lalu, datanglah orang terakhir yang kutunggu.
Rey.
Dia tidak pakai jaket sekolah, tidak bawa ransel, tidak juga pakai headset seperti biasanya. Tapi matanya—seperti biasa—terlalu jujur untuk ukuran anak remaja sepertinya.
Dia berdiri di depanku, lalu menarik napas.
“Aira,” katanya pelan. “Gue pikir, harusnya gue ngomong ini sebelum lo naik bus.”
Aku menatapnya, menduga-duga.
“Gue enggak tahu lo bakal menang di lomba atau enggak. Tapi menurut gue, lo udah menang dari hal yang lebih penting. Dari rasa takut. Dari diri lo sendiri yang dulu selalu sembunyi di balik jendela.”
Aku tertawa pelan. “Lo suka banget bikin orang mikir, ya?”
Dia tertawa juga, lalu berkata pelan, “Dan satu lagi... gue suka lo, Aira. Tapi gue enggak maksa lo balas sekarang.”
Hatiku berhenti sejenak.
“Aku enggak bisa janji apa-apa, Rey,” jawabku jujur. “Tapi... aku enggak mau lari lagi.”
Dia tersenyum. “Itu udah cukup.”
---
Di dalam bus, sebelum kendaraan mulai bergerak, aku membuka buku catatan kecilku. Di halaman terakhir, aku menulis:
> Untuk diriku yang dulu—yang selalu menatap langit dari balik jendela kelas.
Terima kasih sudah bertahan, bahkan saat merasa tak terlihat.
Terima kasih sudah tetap menggambar, meski dunia tak selalu memberi warna.
Hari ini, aku akan melangkah.
Bukan karena aku sudah tak takut. Tapi karena aku tahu, aku tak sendiri lagi.
—Aira.
Bus perlahan bergerak. Dan dari jendela, aku melihat Rey berdiri, tangan dimasukkan ke saku jaketnya, tersenyum sambil mengangguk ke arahku.
Langit di luar berwarna abu-biru keemasan.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa perlu memilih.
Karena sekarang, aku tahu… aku bisa mengejar langit tanpa kehilangan tanah tempatku berpijak.
TAMAT