Melisa duduk di atas atap rumah, menatap langit sore yang menggantungkan matahari seperti sisa harapan yang nyaris padam. Ini atap yang sama sejak ia kecil. Tempatnya bersembunyi dari dunia, dan yang paling penting, tempat bernafas saat dinding rumah mulai menjerat dada.
Dia baru saja lulus SMA. Semua orang bilang itu momen paling indah, masa depan menanti, hidup baru di depan mata. Tapi Melisa tahu, buat anak seperti dia, perempuan satu-satunya di antara dua saudara laki-laki dan orang tua yang keras seperti pagar besi, hidup bukan soal masa depan. Hidup adalah bagaimana bertahan hari ini tanpa meledak.
Ibunya memanggil dari bawah, suaranya tajam seperti biasanya. "Melisa, jangan naik ke situ terus. Kamu pikir kamu burung? Turun!"
"Burung lebih bebas dari aku," gumamnya pelan, lalu turun. Ia tak mau berdebat. Bukan karena takut, tapi karena capek.
Di rumah, Melisa seperti hantu. Ada, tapi tak diakui perasaannya. Kakaknya selalu dibanggakan: juara ini, aktif itu. Adiknya selalu dimaklumi: masih kecil, sabar ya. Sementara Melisa? Salah sedikit, langsung disambar petir. Matanya bengkak bukan karena menangis, tapi karena harus menahan tangis.
Mimpinya sederhana: kuliah di luar kota, ambil jurusan seni rupa, jadi ilustrator, hidup dari karya. Tapi ayahnya punya rencana lain. "Kamu perempuan. Nggak usah aneh-aneh. Ambil administrasi saja, gampang cari kerja."
Melisa hanya menunduk. Di meja makan, semua suara terdengar keras kecuali suaranya sendiri.
Di kamar, ia mencoret-coret kertas dengan pensil usangnya. Gambar-gambar wajah yang tak pernah ia temui—perempuan menangis, perempuan tertawa, perempuan menjerit dalam diam. Semua itu adalah dirinya, yang dibungkus dalam metafora agar tidak dicela.
Ada satu orang yang mengerti Melisa: Nara, sahabatnya sejak SMP. Mereka sering bertukar pesan larut malam, saling kirim puisi, saling menyemangati mimpi. Nara pernah bilang, "Kalau kamu nggak punya rumah yang bisa kamu pulangin, kamu bisa bikin rumah sendiri. Dari impian, dari tekad."
Itu kalimat yang Melisa ulang-ulang setiap malam.
Suatu hari, Melisa nekat daftar beasiswa diam-diam. Ia kirimkan portofolio gambarnya ke salah satu kampus seni di Jogja. Ia tak bilang siapa-siapa, bahkan ke Nara pun tidak.
Hari pengumuman tiba. Ia menerima email sambil gemetar. Diterima. Full scholarship. Mulai Agustus.
Dunia berhenti sejenak.
Ia ingin lompat kegirangan, tapi yang keluar hanya air mata. Ia tahu ini bukan akhir cerita. Justru baru awal dari pertempuran besar: menyampaikan ke orang tuanya.
Malam itu, setelah makan malam yang hambar seperti biasanya, ia berdiri di ruang tamu. Tangannya gemetar, tapi suaranya mantap.
"Ayah, Ibu... aku keterima beasiswa kuliah seni di Jogja. Gratis. Aku mau ambil itu."
Hening. Lalu, seperti petir: "Jogja? Seni? Kamu pikir kamu siapa? Mau jadi pelukis nggak jelas? Mau makan apa nanti? Mimpi kamu tuh egois, Melisa!"
"Bukan mimpi saya yang egois. Kalian yang nggak pernah tanya saya mau apa."
Ayahnya berdiri, wajah merah. Ibunya diam, hanya menunduk. Tapi malam itu, Melisa tak mundur.
Ia dikurung di rumah seminggu. HP disita. Tapi ia sudah menyalakan api. Dan sekali api menyala, tak mudah padam.
Nara datang diam-diam, menyelipkan surat dan uang seadanya ke bawah pintu kamarnya. "Lari kalau perlu. Tapi jangan lari dari diri kamu sendiri."
Melisa akhirnya bicara dari hati ke hati dengan ibunya, hanya berdua. Ia menangis untuk pertama kalinya di depan ibunya sejak SD.
"Bu, aku nggak bahagia jadi anak baik yang kalian mau. Aku cuma pengen jadi diri sendiri. Aku nggak minta dimanja. Aku cuma pengen didukung."
Dan ibunya, akhirnya menangis juga. Mereka pelukan. Lama.
Beberapa hari kemudian, ibunya bicara pada ayahnya. Suara mereka terdengar keras, tapi malam itu ayahnya tidak marah pada Melisa. Hanya diam. Lalu berkata lirih, "Jangan kecewakan Ibu kamu."
Hari keberangkatan, hanya ibunya yang antar ke stasiun. Tapi di saku ranselnya, Melisa temukan sketsa wajahnya yang pernah ia gambar, dan catatan kecil dari ayahnya: "Jadilah rumah buat dirimu sendiri. Ayah nggak ngerti kamu, tapi Ayah tahu kamu kuat."
Melisa menangis di kereta. Tapi bukan karena sedih. Itu tangis orang yang akhirnya pulang, bukan ke rumah... tapi ke dirinya sendiri.
---
Hidup di Jogja tidak semudah yang ia bayangkan. Kota itu ramah, benar. Tapi hidup mandiri bukan sekadar bebas; ia harus belajar membayar kos, makan dengan hemat, mengatur waktu antara tugas dan cuci pakaian. Tapi semua itu terasa ringan dibanding beban di rumah dulu.
Di kampus, Melisa menemukan dunia baru: cat minyak, kanvas, ruang studio dengan aroma khas, dan orang-orang aneh yang justru membuatnya merasa normal. Di antara mereka, ada satu yang membuat jantungnya agak... aneh: Raka.
Raka bukan cowok sempurna dari drama Korea. Ia agak berantakan, rambut selalu berantakan, celana jeans sobek alami, dan suaranya berat seperti tanah sehabis hujan. Tapi cara Raka memandang karya seni—bukan hanya sebagai gambar, tapi sebagai emosi yang terjaga—membuat Melisa merasa dipahami tanpa harus menjelaskan.
Suatu sore, Raka melihat sketsa Melisa.
"Kamu selalu gambar perempuan sedih ya," katanya. "Itu kamu?"
Melisa mengangkat bahu. "Nggak semua sedih. Cuma... nggak semuanya bisa ketawa aja."
"Tapi kamu bisa. Suatu hari, kamu akan gambar perempuan yang tertawa... bukan karena dipaksa. Tapi karena dia bebas."
Melisa tak menjawab, tapi ia menyimpan kata-kata itu seperti jimat.
Semakin hari, Melisa makin percaya diri. Ia ikut pameran, karyanya dilirik dosen. Bahkan salah satu galeri kecil tertarik membeli lukisannya. Uang hasil penjualan itu ia kirim ke ibunya. Tidak banyak, tapi cukup untuk bilang, "Aku baik-baik saja di sini."
Hari ulang tahunnya ke-19, Nara datang ke Jogja. Mereka berdua duduk di pinggir Malioboro, makan cilok sambil mengenang masa lalu.
"Kamu udah jadi Melisa yang kamu mau?" tanya Nara.
Melisa mengangguk. "Belum. Tapi aku sudah bukan Melisa yang dulu."
Dan malam itu, saat ia menggambar seorang perempuan yang tertawa sambil menatap matahari terbit, ia sadar: ini bukan sekadar seni. Ini adalah memoar dari anak yang dulu pernah tak dianggap, lalu memutuskan untuk menciptakan dirinya sendiri.
Melisa, akhirnya pulang. Bukan ke rumah. Tapi ke hatinya yang dulu kosong, kini penuh warna.