Gedung Academia Alta, sekolah elit di jantung kota metropolis, menjulang angkuh menembus cakrawala. Fasad kaca berkilat memantulkan siluet gedung pencakar langit di sekitarnya, seolah ingin menegaskan posisinya sebagai mercusuar pendidikan bagi para penerus bangsa. Di dalamnya, koridor-koridor marmer selalu hening oleh langkah sepatu kulit mahal, dan setiap siswa adalah potret kesempurnaan yang dipahat dengan ketat. Bagi Maya, seorang gadis dengan senyum secerah matahari dan tawa riang yang sering kali memecah keheningan koridor, Academia Alta adalah panggung besar untuk petualangan.
Ia punya Bima, sahabat setianya dengan rambut keriting berantakan dan selera humor yang nyaris receh. Bersama Bima, Maya merasa tak ada yang tak bisa mereka taklukkan.
Kemudian, cinta pertama datang menghampirinya.
Pertemuan Maya dan Rayhan terasa seperti adegan yang keluar dari drama remaja paling populer, namun dengan sentuhan yang membuat Maya berbinar. Maya sedang berjuang dengan soal kalkulus di perpustakaan sekolah yang megah, dikelilingi rak-rak buku setinggi langit.
“Astaga, ini angka atau sandi alien sih?” Maya menggerutu pada Bima yang sibuk dengan ponselnya. Bima hanya tertawa.
Tiba-tiba, sebuah suara bariton memecah konsentrasi mereka.
“Sepertinya kamu kesulitan.”
Maya mendongak. Rayhan, dengan seragam rapi yang selalu terlihat tanpa cela, dan senyum tipis yang entah mengapa, bisa membuat detak jantung Maya berpacu lebih cepat. Tangan kanannya memegang secangkir latte dari kafe eksklusif di lobi sekolah. “Mau kubantu?”
Sejak hari itu, kebiasaan itu menjadi rutinitas mereka. Setiap sore, setelah bel pulang berbunyi, mereka akan menyelinap ke rooftop taman rahasia Academia Alta. Dari sana, pemandangan kota terhampar luas di bawah mereka, gemerlap lampu-lampu yang mulai menyala di kala senja. Rayhan akan menjelaskan persamaan kuadrat yang rumit dengan begitu sabar, jari-jarinya menelusuri buku catatan dengan gerakan anggun. Maya akan pura-pura fokus, padahal matanya lebih sering menatap profil wajah Rayhan yang tegas, sorot matanya yang dalam saat memikirkan sesuatu, atau bagaimana rambutnya yang selalu tertata rapi akan sedikit berantakan tertiup angin.
“Serius, Rayhan, otakmu itu isinya apa sih? Ensiklopedia berjalan, ya?” celoteh Maya suatu senja, yang selalu dibalas tawa renyah Rayhan.
Mereka berbicara tentang banyak hal. Impian Rayhan tentang beasiswa ke luar negeri, ambisinya untuk mengubah dunia, bahkan ketakutan terbesarnya. Maya, yang biasanya terbuka dan ceria, menemukan dirinya bercerita lebih dalam kepada Rayhan—mulai dari tekanan orang tua hingga mimpinya yang sederhana untuk menjadi seorang seniman, sesuatu yang sering dianggap remeh di lingkungan elit ini. Rayhan selalu mendengarkan, mengangguk, kadang menyelipkan lelucon ringan yang membuat Maya tertawa lepas.
Di tengah kemegahan dan tekanan Academia Alta, rooftop itu menjadi dunia kecil mereka, tempat di mana Maya bisa menjadi dirinya sendiri seutuhnya, dan di mana ia mulai membangun harapan yang lebih dari sekadar mimpi biasa.
Bima, yang sesekali menemani, akan menggoda Maya, “Cie, yang betah banget belajar fisika. Jangan-jangan ada yang lebih menarik dari rumus, ya?”
Maya hanya akan tersipu dan melempar buku ke arah Bima.
Suatu malam, di bawah taburan bintang kota yang samar, mereka berdua duduk berdekatan.
“Aku ingin mengambil jurusan desain grafis,” kata Maya pelan, matanya menerawang. “Tapi orang tuaku ingin aku masuk Fakultas Kedokteran.”
Rayhan menoleh, tatapan lembutnya menangkap mata Maya. “Mimpi itu perlu diperjuangkan, Maya. Jangan biarkan orang lain mendefinisikan apa yang kamu inginkan.” Ia menghela napas. “Aku juga. Aku ingin sekali bisa berkuliah di Oxford, mengambil ilmu politik, lalu kembali ke sini untuk membuat perubahan.” Jeda sejenak. “Mungkin, suatu hari nanti, saat kita berdua sudah meraih mimpi masing-masing, kita bisa membuat sesuatu yang hebat bersama di kota ini.”
Kata-kata itu, diucapkan dengan nada tulus dan pandangan penuh makna, terasa seperti janji yang tak terucap, namun lebih kuat dari apapun. Jantung Maya berdebar, memimpikan masa depan yang cerah dengan Rayhan di sisinya, membangun dunia impian mereka bersama.
Pesta prom adalah puncaknya. Semua orang membicarakannya, di koridor, di kantin, bahkan di toilet. Rayhan bahkan tiba-tiba meminta Maya menemaninya, membuat jantung Maya serasa ingin meledak.
Ia menghabiskan berminggu-minggu memikirkan gaun terbaik, latihan dansa secara diam-diam bersama Bima di ruang tamu rumahnya, dan bahkan merangkai kata-kata sempurna jika saja... jika saja Rayhan mengatakan sesuatu yang berarti malam itu.
Hingga saat malam prom tiba, di bawah kilauan lampu kristal dan alunan musik orkestra, Rayhan terlihat semakin sempurna. Mereka berdansa. Tangan Rayhan menggenggam tangan Maya, erat, dan tatapannya pada Maya terasa begitu hangat, begitu nyata. Maya yakin, malam itu, segalanya akan berubah.
Bima bahkan bersorak dari kejauhan, “Go, Maya! Akhirnya!”
Namun, drama tidak selalu berakhir bahagia.
Saat Maya pergi sebentar untuk mengambil minuman, matanya menangkap siluet Rayhan di sudut aula. Di balik deretan pot tanaman hias mahal, Rayhan bercengkrama akrab dengan Sasha, pewaris utama grup properti terkemuka. Sasha, dengan gaunnya yang dirancang desainer ternama, dan senyumnya yang selalu memikat. Dia adalah ikon kecantikan dan kepopuleran di sekolah ini. Sasha sedang tertawa renyah, suaranya melengking. “Rayhan, kamu ini lucu sekali!”
Maya melihat Sasha mengusap pipi Rayhan dengan jemarinya, dan Rayhan… Rayhan tidak menghindar. Malahan, ia menatap Sasha dengan tatapan yang sama persis seperti yang dulu ia berikan pada Maya. Tatapan penuh kekaguman, penuh makna.
Dunia di sekitar Maya seolah meredup, suara musik menjadi dengungan jauh, dan cahaya lampu kristal terasa seperti pecahan kaca yang menusuk matanya. Ia tak bisa bernapas. Ketika Rayhan akhirnya menyadari kehadiran Maya, ekspresinya sedikit terkejut, namun dengan cepat kembali seperti semula. Ia tidak mendekat. Ia bahkan tidak repot-repot menjelaskan. Rayhan hanya diam, menatap Maya dengan tatapan kosong, seolah Maya hanyalah salah satu bayangan yang melintas di depannya.
Di kejauhan, Bima yang melihat kejadian itu, langsung berlari mendekat. “Maya, kau kenapa?!” Namun Maya sudah tidak mendengar.
Maya berbalik, pergi tanpa sepatah kata pun. Ia tidak peduli dengan tatapan penasaran, bisikan-bisikan, atau bahkan kakinya yang tiba-tiba terasa begitu berat. Ia hanya ingin keluar dari tempat itu, dari gemerlap yang kini terasa begitu palsu. Ia berlari menembus keramaian, menuruni tangga-tangga marmer, melewati lobi, hingga akhirnya tiba di pintu utama.
Bima mengejarnya, khawatir. “Maya, tunggu! Ada apa?” teriak Bima.
Di luar, angin malam kota menerpa Maya, dingin dan menusuk. Ia memandang kembali ke arah gedung Academia Alta yang menjulang. Fasad kacanya masih berkilat, memantulkan lampu-lampu kota. Tapi bagi Maya, itu bukan lagi simbol harapan. Itu adalah cerminan dari hatinya yang hancur berkeping-keping, seperti kaca yang jatuh dan retak tanpa suara.
Semua obrolan di rooftop, tawa mereka, sentuhan tangan, tatapan yang Maya pikir adalah sinyal... dan terutama, janji samar tentang masa depan yang dibangun bersama... semuanya kini terasa seperti ilusi yang rapuh. Maya bukan hanya patah hati, ia merasa bodoh dan naif. Ia terlalu mudah percaya pada janji yang tak terucap, pada senyum yang ternyata bisa diberikan kepada siapa saja. Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, Maya merasa sendirian, dengan retakan di jiwanya yang terasa begitu nyata, dan dinginnya kenyataan yang menghantamnya seperti bongkahan es.
Bima akhirnya berhasil meraihnya, memeluk bahu Maya yang bergetar. Tapi bahkan pelukan sahabat terbaiknya pun tak sanggup menyatukan kembali serpihan-serpihan hatinya yang telah hancur.