Langit sore mulai berubah kelabu saat Tirta menyandarkan tubuhnya di kursi taman dekat kampus. Hujan baru saja reda, menyisakan embun tipis di daun-daun dan aroma tanah basah yang menyegarkan. Ia duduk sendirian, dengan headphone di telinganya, namun tak ada lagu yang benar-benar ia dengarkan. Semua terasa seperti diam dalam pikirannya.
Tirta bukan tipe orang yang percaya cinta pandangan pertama. Tapi sore itu, segalanya berubah.
Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie abu-abu yang kebasahan, berhenti tepat di depannya. Hujan masih menetes dari ujung jaketnya. Tirta nyaris tak menyadari bahwa ia sedang menatap cukup lama.
"Maaf, boleh duduk di sini?" tanya gadis itu sambil menunjuk kursi kosong di sebelah Tirta.
Tirta mengangguk pelan. "Tentu."
Ia duduk, membuka botol air mineral, lalu menatap langit yang mulai berwarna jingga samar. Tirta mencuri pandang beberapa kali. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya cerah. Tak butuh waktu lama sampai mereka mulai berbicara. Awalnya hanya basa-basi, tentang hujan dan kampus yang sepi.
Namanya Sekar.
Percakapan mereka meluncur seperti air hujan di kaca jendela—tenang, mengalir, dan jujur. Tirta merasa nyaman dengan keheningan di antara kalimat-kalimat mereka, seolah diam pun memiliki makna.
Keesokan harinya, Tirta kembali ke taman itu. Hujan turun lagi. Dan Sekar datang, tepat seperti hari sebelumnya. Mereka tertawa, bertukar cerita tentang film, buku, dan impian masa kecil. Tirta merasa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dinilai.
Hari demi hari berlalu. Hujan seperti menjadi janji tak tertulis mereka untuk bertemu. Tirta mulai menyadari bahwa ia menantikan hujan, bukan hanya karena ketenangannya, tapi karena ia tahu Sekar akan datang bersamanya.
Namun, seiring waktu, Tirta juga mulai merasakan keresahan. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Sekar. Apakah ia merasakan hal yang sama? Ataukah ini semua hanya kebetulan yang terlalu indah untuk dianggap nyata?
Mereka mulai saling berbagi hal-hal yang lebih pribadi. Sekar bercerita tentang ayahnya yang telah tiada, tentang ibunya yang keras tapi penuh cinta. Tirta menceritakan tentang malam-malam kesepiannya, tentang rasa takutnya akan masa depan, dan mimpi kecilnya untuk menjadi penulis.
Sekar mendengarkan dengan saksama. Ia tidak pernah menghakimi, tidak pernah memotong. Tirta jatuh cinta pada cara Sekar memandang dunia—dengan penuh rasa ingin tahu, tapi juga bijaksana.
Pada malam tertentu, mereka duduk di halte bus yang kosong. Hujan turun deras, dan angin menggoyangkan dedaunan. Sekar menyandarkan kepala di bahu Tirta.
"Kadang aku takut, Tirta," katanya pelan. "Takut semua ini hanya sementara."
Tirta menggenggam tangannya. "Kalau pun sementara, setidaknya ini nyata. Dan itu cukup."
Suatu sore, langit begitu gelap. Hujan turun deras, tapi Sekar tak datang. Tirta menunggu, menatap arlojinya berkali-kali, namun kursi di sebelahnya tetap kosong.
Keesokan harinya, Sekar muncul dengan senyum lesu.
"Maaf kemarin nggak datang. Aku harus ke Jakarta. Ada wawancara beasiswa."
"Beasiswa?"
"Iya, ke Jerman. Program riset selama dua tahun."
Tirta terdiam. Hatinya tercekat.
Sekar menatapnya, ragu. "Aku belum yakin akan berangkat..."
"Kenapa? Itu kan kesempatan bagus."
Sekar menunduk. "Karena kamu, Tirta."
Kata-kata itu membuat dada Tirta sesak. Ia ingin tersenyum, tapi yang keluar hanya napas panjang.
"Kalau kamu bahagia, aku juga akan bahagia. Langit tak akan berhenti hujan hanya karena kita ingin senja yang cerah."
Hari-hari setelah itu terasa lebih sunyi. Mereka tetap bertemu, tapi kini dihantui bayang perpisahan.
Pada malam terakhir sebelum keberangkatan Sekar, mereka duduk di tempat biasa. Hujan turun rintik-rintik. Suasana sepi, hanya suara serangga dan deru air hujan yang menemani mereka.
Sekar menggenggam tangan Tirta. "Aku nggak tahu harus bilang apa..."
Tirta memandangnya dalam-dalam. "Nggak usah bilang apa-apa. Kita simpan saja semuanya di sini..." Ia menyentuh dadanya. "Di tempat yang nggak akan kena hujan."
Sekar menangis dalam diam. Tirta membiarkannya, menggenggam tangannya erat seolah ingin menahan waktu. Tapi waktu tetap berjalan, tak peduli pada air mata atau hati yang tertinggal.
Hari keberangkatan pun tiba. Tirta tak datang ke bandara. Ia hanya duduk di taman itu, sendiri, dalam hujan.
Langit kelabu, seperti hari pertama mereka bertemu. Tapi kali ini, tak ada Sekar.
Namun Tirta tahu, cinta tak selalu harus dimiliki. Kadang, cukup dikenang—seperti hujan yang pernah turun, dan langit yang pernah menghangatkan hati.
Beberapa minggu kemudian, Tirta menerima email dari Sekar. Tidak panjang, hanya satu paragraf:
"Aku melihat salju untuk pertama kalinya hari ini. Tapi anehnya, aku malah mengingat hujan. Hujan kita."
Tirta membaca ulang email itu berkali-kali. Ia tidak membalas, hanya menyimpannya. Seperti menyimpan kenangan yang tak bisa diganggu, tak bisa diganggu gugat.
Tahun demi tahun berlalu. Tirta lulus, lalu bekerja di sebuah penerbit kecil. Ia mulai menulis—cerpen, puisi, bahkan novel. Tapi selalu, selalu ada satu tema yang muncul dalam tulisannya: hujan dan perempuan bernama Sekar.
Pada pameran buku pertamanya, Tirta memajang novel berjudul Langit Setelah Hujan. Sampulnya bergambar kursi taman dengan payung merah yang tergeletak.
Ia tak berharap Sekar akan datang. Tapi di antara keramaian, Tirta melihat sosok yang familiar. Rambut sebahu, senyum lembut, dan hoodie abu-abu.
"Hai," katanya.
Tirta menatapnya. "Kamu datang."
Sekar tersenyum. "Dan kamu masih menulis tentang hujan."
"Aku tak pernah bisa berhenti," jawab Tirta. "Karena di setiap rintiknya, ada kamu."
Mereka tidak butuh kata-kata lagi. Dunia berputar, tapi hati mereka tetap bertaut dalam kenangan. Dan meski waktu tak bisa diputar, kenangan itu cukup untuk membuat langit mereka tetap cerah, bahkan setelah hujan.