“Mbak yakin mau turun disini?” Tanya driver ojol yang baru saja menerima uangku.
“Iya mas, Deket kok rumah saya itu yang di atas.” Jawabku tanpa ragu.
“Ooh …,” untuk sesaat driver itu termenung seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.
Aku tidak ingin menunggu lama, gerimis mulai lebat dan perutku lapar sekali. Bayangan mie instan rebus plus telur ditambah potongan bawang putih dan cabe rawit sudah menggoda.
Aku melangkah cepat, menutupi kepala dengan tas kerja. Aah, sial sekali hari ini. Kenapa juga pake acara rapat habis magrib tadi. Bosku itu beneran ngerjain karyawan!
Jam sudah menunjukkan tepat pukul sepuluh malam dan suasana begitu sepi. Biasanya ada bapak-bapak dan remaja lelaki yang suka nongkrong di pos ronda tapi malam ini sepi sekali.
Aku menepis jauh rasa takut saat melewati kebun jeruk dan kelengkeng milik Pak Sofyan. Kebun itu sebenarnya tidak terlalu seram karena penerangan juga cukup. Diberi pagar yang tergolong mewah untuk ukuran kebun biasa dengan ukiran bunga lotus di tengahnya.
Tapi yang bikin seram adalah, isu bahwa ada buntelan guling yang suka iseng ngerjain orang lewat!
Duuuh, kenapa aku jadi merinding begini sih?!
Aku harus fokus lurus ke depan nggak pake acara liat kanan kiri demi semangkuk mie rebus yang sudah membayang di mata.
Duk … Duk … duk!
Suara keras menghantam dinding tembok. Aku terkejut dan sempat menghentikan langkahku sejenak.
Duk … Duk … Duk!
Sumpah, jantungku terasa nyaris lepas. Kelebatan bayangan yang tak semestinya kulihat seolah mengejek rasa takut yang kini memayungiku.
Aroma bunga bercampur bau busuk mulai tercium samar bersama angin yang berhembus pelan. Aku melirik ke arah jam, masih terlalu sore untuk jam keliling si buntelan guling.
Suara berbisik aneh mulai terdengar, aku menghela nafas kesal. “Heh, setan! Berani nongol aku masukin laundry sekalian neh biar bersih tuh kain!”
Entah energi dari mana sampai aku bisa menghardik udara hampa yang mulai seram. Dipikir-pikir, gila juga sih!
Coba seandainya si guling itu muncul? Bisa pingsan langsung sampai pagi. Aah, bodo amat aku langsung angkat kaki dan setengah berlari menuju rumah.
Fyuuuh, selamat!
Setelah mandi dan berganti pakaian aku merebahkan diri di atas ranjang sambil mencari drama korea kesukaanku yang harusnya tayang hari ini. Mengabaikan perasaan seram saat pulang tadi.
Lelah yang mendera tubuhku rupanya justru berhasil mengantar ke alam mimpi dengan cepat. Hal yang sangat jarang terjadi saat hari libur kerja.
Sampai sekarang aku masih mengingat dengan jelas mimpi itu.
Kabut tebal, rumah kosong yang kotor dan cukup luas. Suara gamelan dan yang paling aku ingat sosok lelaki tampan dengan wajah pucat seperti vampir.
Jantungku berdebar kencang saat ia tersenyum. Alamak, senyumnya cakep banget! Mirip aktor Korea idolaku.
Bawa dia pulang!
Tunggu, dia bilang apa?! Siapa yang pulang?
Sosok itu seolah bicara padaku tapi anehnya bibirnya tak bergerak sama sekali. Aku membeku saat berhadapan langsung dengannya dalam sekedipan mata.
Jarak kami begitu dekat, terlalu dekat malah sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
Dingin, wangi dupa dan … amis darah?
Mataku terbelalak menyadari darah yang perlahan membanjiri leher dan tubuhnya. Aku terkejut bukan main tapi sialnya tubuhku tak bisa bergerak saat wajah kami justru saling menempel.
Bau amis darah busuk menghalau aroma dupa. Suara gamelan yang terus terdengar bak kidung penghantar yang menghipnotisku untuk membeku dan tidak berkedip.
Mata bertemu mata ..,
Samar terlihat dari pantulan mata hitam legamnya, diriku berdiri disana dengan pakaian pengantin. Tak ada senyum, tak ada sinar kehidupan. Aku … mati.
Aku terbangun cepat dengan keringat membanjir. “Cuma mimpi … untunglah,” ucapku setelah menenggak segelas air.
Sial bagiku, saat terjaga listrik mati. Entah sejak kapan tapi kamarku terasa dingin dan gelap. Hanya ada sedikit cahaya dari lampu bohlam di luar kamar.
“Lho yang lain nyala,” aku berkata pelan sekaligus kesal. “Lampunya putus lagi? Padahal baru aja ganti seminggu lalu.” Sungutku sambil menyoroti lampu kamar dengan senter dari ponsel.
Dengan malas aku terpaksa berjalan pelan menuju saklar tapi … apa itu?
Rasanya ada yang menatapku di sudut kamar. Aku menyorot bagian sudut yang rasanya sedikit seram. Kosong!
Aku menghela nafas berat, hanya perasaanku saja mungkin. Aku kembali berjalan pelan dalam cahaya minim. Huh, mie instan yang aku buat sebelum rebahan tadi pasti sudah melar dan dingin. Aku menyesal karena ketiduran.
Duk … duk … duk ..,
Suara itu?!
Aku merinding hebat, tubuhku seketika kaku. Jangan-jangan setan buntelan kain itu beneran marah dan sekarang mengikutiku!
Aku gemetar, suara itu berasal dari pintu kamar mandi. Perlahan aku memutar tubuhku, menatap takut dan berharap agar pintu itu tidak terbuka dengan sendirinya.
Duk … duk … duk..,
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Lari … yah, aku harus lari keluar dari kamar dan mencari bantuan!
Satu-satunya tujuanku adalah kamar Nita yang diseberang dia pasti sudah pulang. Langkah kakiku begitu berat sementara suara ‘duk duk’ sialan itu semakin menggema di kamarku.
“Ayo Mir, kamu bisa!” Ucapku menyemangati diri sendiri sambil terus melangkah dan meraih gagang pintu.
Bawa, dia pulang!
Astaga! Suara itu … suara yang aku dengar dalam mimpi tadi!
Ini nggak beres, benar-benar sudah diluar nalar dan aku harus keluar sekarang. “Sial, mana kuncinya?!”
Aku panik, sangat panik. Hawa berat dan dingin mulai aku rasakan dari arah belakang. Aku mengumpat karena tak kunjung berhasil membuka pintu.
Suara keran air yang terbuka terdengar begitu jelas. Jantungku rasanya mau copot dan kakiku sudah sangat lemas. Aku tak mau menoleh ke belakang. Karena seperti yang ada dalam film horor pasti hantu, setan, atau sejenisnya sudah ada di belakangku dengan wajah seram.
Tapi tekadku runtuh. Suara sapaan halus membuatku menoleh. Suara Amri–kakakku.
“Mira … kamu kenapa takut?”
Aku tercekat, seketika memutar tubuh ku ke belakang dan menemukan sosok mas Amri.
“Mas … Amri?” Tanya ku ragu.
Sosok itu mengangguk, ia tersenyum lalu memelukku. “Ibu kangen sama kamu, pulanglah Mir.”
“Pulang? Kemana?”
Kenapa aku tidak ingat apa pun? Pulang? Bukannya aku sudah dirumah dari tadi. Cuma memang tidak ada siapa-siapa saat aku datang. Biasanya ibu dan ayah masih nonton televisi. Mas Amri juga sibuk dengan papernya karena target bulanan. Tapi tadi … semua sepi dan gelap.
Suara gamelan kembali terdengar, kali ini rasanya lebih keras dan dekat. Aku membuka mata dan menemukan jika diriku dalam pelukan sosok yang lain. Bukan mas Amri tapi sosok lelaki tampan dari mimpiku.
Aku terkejut dan mendorongnya kuat tapi aku tak bisa. Energiku seolah diserap habis, aku lemas dan tak bertenaga.
“Siapa kamu?” Tanyaku pelan dengan mata membayang. Aku takut, takut sekali.
“Jangan takut Mira, aku disini menjagamu. Kau adalah pengantinku,” sahutnya seraya membingkai wajahku dan tersenyum dingin.
“Nggak, aku nggak kenal kamu! Lepasin!”
Aku berusaha berteriak sekuat tenaga tapi rasanya begitu berat. Semakin lama aku hanya mendengar suaraku semakin kecil dan jauh. Aku melihat bayangan diriku sendiri dalam pantulan mata hitam legam yang ternyata adalah … aku.
Aku terjebak dalam gelap dan sunyinya malam. Jiwaku terkurung dalam dimensi lain dan ragaku dikuasai sosok lain. Aku bisa melihatku sendiri. Duduk diam dalam balutan kebaya hitam.
Suara gamelan menguasai kesadaranku. Sosok tampan itu tersenyum,.menatapku bahagia tapi aku tidak!
Aku terus berteriak, berusaha menyadarkan diriku sendiri. Tapi setiap kali aku berusaha mendobrak aku terpental jauh.
“Ayah … ibu … mas Amri! Tolong … tolong Mira!”
Aku menangis sekeras-kerasnya tapi tak ada yang bisa mendengar. Ragaku tak kuasa menolak saat ritual demi ritual dijalankan hingga akhirnya aku resmi menjadi istri lelaki itu.
Bawa dia pulang!
Aku mendengar suara itu lagi, siapa … siapa itu sebenarnya. Suara itu tak asing tapi siapa pemiliknya. Semakin aku mengingatnya semakin aku lupa. Dan aku hanya bisa memeluk diri sendiri dalam kegelapan abadi.
Aku tak menyadari jika aku sebenarnya tak pernah pulang, tak pernah kembali.
Warga menemukanku ada di dalam kebun pak Sofyan. Tergeletak dalam derasnya hujan dengan mata terbuka. Aku tak pernah sampai ke rumah kostku. Aku tersesat dalam dimensi lain.
Tujuh Minggu dari malam itu, aku menutup mata untuk selamanya. Setelah perjuangan ayah, ibu, mas Amri, dan para ahli spiritual yang didatangkan untuk menarik sukmaku gagal.
Aku tak bisa pulang, bukan karena aku tak mau tapi aku lupa kemana arah pulang. Aku tersesat dalam kegelapan abadi. Dan aku malah jatuh hati pada sosok penunggu kebun yang aku benci.
Yah, buntelan kain sprei yang aku maki tempo hari itu rupanya jatuh hati padaku. Ia selalu memperhatikanku saat aku lewat takut-takut di depan kebun. Saat aku tersenyum.menyapa para tetangga, dan saat aku membantu anak kecil yang terjatuh tepat di depan kebun. Tepatnya, sengaja dijatuhkan Aryasuta.
Kini, aku hanya bisa menatap nisanku sendiri. Dalam guyuran hujan, dalam gelap dan sepinya malam. Tapi aku tak sendiri. Aryasuta selalu bersamaku. Dia menyayangiku, dan tak akan pernah melepasku.
== E N D ==