“Namaku Aluna”
Namaku Aluna. Seorang perempuan biasa dari kota kecil bernama Seruni. Di usia 20-an, aku menikah dengan laki-laki yang awalnya terasa seperti mimpi. Senyumnya manis, ucapannya lembut, dan ia pandai sekali membuatku merasa istimewa — di awal saja.
Setelah menikah, semua berubah. Manisnya hanya tinggal kenangan. Aku mulai merasa sendirian dalam rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman.
Aku bekerja, merawat anak, bahkan membeli kebutuhan sendiri. Uang skincare pun aku sisihkan dari keringatku sendiri. Bukan karena aku matre, tapi karena aku ingin tetap merawat diri… meski perlahan aku merasa tidak dicintai lagi.
Suamiku berubah. Tidak lagi menghargai, tidak lagi mendengarkan. Kata-katanya menusuk, sikapnya dingin. Aku menangis, tapi diam. Aku marah, tapi kupendam. Semua orang bilang:
> “Sabar ya, namanya juga rumah tangga…”
“Jangan cerai, mending mati sekalian…”
Mereka tak tahu bahwa aku sudah nyaris mati secara batin.
Tiap malam aku tidur dengan hati terbakar. Siang hari kupaksa tersenyum di depan anakku, selly— satu-satunya alasan aku bertahan sejauh ini.
Aku coba bicarakan ke keluarga. Tapi mereka lebih memilih diam, bahkan memintaku bertahan.
> “Jangan malu-maluin orang tua.”
“Janda itu aib.”
Tapi kenapa… kenapa tidak ada yang malu melihat aku dihina dan dilukai?
Tubuhku gemetar, napasku sesak, tapi aku masih bisa berkata:
> “Aku bukan gila. Aku cuma terluka terlalu dalam.”
Hari itu, aku duduk sendiri. Menatap bayangan di cermin.
Mataku sembab. Hidungku merah. Tapi di balik itu semua, ada perempuan yang masih berani menyelamatkan dirinya sendiri.
Aku, Aluna, memutuskan untuk menggugat cerai. Bukan karena aku ingin bebas, tapi karena aku ingin hidup.
Bukan karena aku lemah, tapi karena aku cukup kuat untuk berkata: cukup.
Aku tahu, jadi janda akan membuat orang mencibir. Tapi mereka tidak tahu perjuanganku. Mereka tak pernah lihat aku menangis di kamar mandi, sambil menahan jeritan agar anakku tak mendengar.
Dan sekarang, aku ingin menulis satu kalimat sebagai tanda lahirku kembali:
> “Aku Aluna. Aku bukan aib. Aku bukan kegagalan. Aku adalah perempuan yang memilih untuk tidak mati.”
---
Cerita ini bukan hanya milikku.
Ini juga milik siapa saja yang pernah memilih diam, pernah disuruh tahan, pernah dianggap tidak waras — hanya karena ingin bahagia.
Jika kamu membaca ini, dan kamu merasa seperti Aluna…
Ingat: kamu tidak sendiri.
---