Hari itu mendung tapi tidak hujan. Agni baru saja keluar dari ruangan dosen pembimbing dengan kepala yang penuh revisi dan hati yang setengah patah. Ia menyusuri lorong kampus, matanya kosong menatap satu per satu langkah kakinya. Suara ramai mahasiswa seolah berjarak darinya. Tertawa, debat ringan, keluhan soal skripsi, semuanya lewat begitu saja, seperti gema yang tidak menyentuh dasar telinganya.
Daun-daun berwarna kecoklatan beterbangan dibawa hembusan angin, memenuhi jalanan. Di peluk lengan dan sisi bajunya, ia menjepit setumpuk kertas yang nyaris terlepas. Agni duduk di halte kampus sembari menghela nafas.
"Hah.. susah sekali jadi mahasiswa akhir. Kapan kelarnya ya..?" keluhnya dalam hati.
Ia menyandarkan punggung, membiarkan kepalanya mengadah ke langit yang abu-abu. Udara sore itu dingin, tapi tidak menusuk. Tangannya masih menjepit setumpuk kertas revisi yang baru saja ia dapatkan. Diantara suara angin dan gemrisik dedaunan, matanya menangkap sesuatu yang terselip di bangku sebelahnya. Sebuah brosur berwarna gelap dengan desain aneh. Ia mengambilnya perlahan.
Museum Mimpi
"Tempat di mana mimpi yang terlupakan beristirahat."
📍 Gedung Tua – Jalan Nirwana No.15
🕒 Malam ini, pukul 21.00
Hanya untuk yang siap menghadapi dirinya sendiri.
Dibawahnya terdapat tulisan kecil yang hampir tak terbaca.
"Bawalah hatimu. Tapi jangan bawa harapan yang sudah kau bunuh."
Alis Agni mengernyit. Ia menatap sekeliling. Tak ada yang tampak mencurigakan. Ia terdiam sambil memandangi brosur tersebut. Desainnya terlalu rapi untuk dianggap iseng, tapi terlalu ganjil untuk dipercaya. Di dadanya, sesuatu terasa antara penasaran dan takut. Antara ragu dan dorongan yang tidak bisa ia jelaskan.
"Museum Mimpi..." Ia membisikkan kalimat itu perlahan. Lalu, tanpa sadar, tangannya melipat brosur itu hati-hati dan menyelipkannya ke dalam tas. Ia tak tahu apakah akan benar-benar pergi malam ini.
*****
Malam itu, langit gelap tanpa bintang. Udara dingin menampar pelan kulit Agni saat ia berdiri di depan gerbang Gedung Tua, Jalan Nirwana No. 15.
Tempat itu seperti tempat yang telah dilupakan waktu, kusam, berlumut, dan berdiri di tengah jalanan yang sudah lama sepi. Tidak ada lampu di sekitarnya, hanya ada satu lampu gantung tua di depan pintu masuk. Bergoyang pelan tertiup angin. Agni mengambil brosur yang masih disimpannya di dalam saku jaket, menatapnya sebentar, kemudian kembali menatap bangunan tua di depannya, seolah memastikan bahwa ini benar tempatnya.
Sepi. Tidak ada orang. Tidak ada suara.
Gerbang tua itu sedikit terbuka, menyisakan celah, seperti menunggu seseorang masuk. Langkah Agni terasa berat. Tangannya menyentuh gagang gerbang yang dingin dan berdebu, dan kemudian mendorongnya untuk terbuka. Satu per satu langkahnya ia bawa dengan hati-hati hingga tiba di depan sebuah pintu kayu. Dengan sedikit ragu, tangannya perlahan mendorong pintu hingga terbuka.
Sesaat Agni terdiam. Matanya terbelalak kagum, berbeda dari yang terlihat di luar yang terlihat lusuh dan terbengkalai. Di depannya terdapat sebuah lorong yang sangat megah. Dindingnya tinggi, lantainya terbuat dari marmer hitam berkilau, di langit-langit tergantung lampu-lampu yang menyala temaram, seolah menggantikan bintang-bintang yang hilang malam ini. Seakan terhipnotis, kakinya mulai melangkah ke dalam, saat itu juga pintu langsung tertutup rapat. Seolah memang menunggunya untuk masuk.
'BRAK'
Agni terjengkit kaget. Ia berbalik, tak ada angin, tak ada orang. Ia sedikit bingung dan merinding. Namun, ia sudah terlanjur di sini, tak ada jalan untuk kembali. Agni menghela nafas kemudian berbalik kembali, dan mulai melangkah lagi. Menyusuri lorong-lorong yang di sepanjang dinding terdapat lukisan-lukisan besar dalam bingkai emas kusam.
Matanya bergulir dari satu lukisan ke lukisan lain. Ada lukisan seorang anak laki-laki mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia tangkap, ada pula lukisan seorang pria tua yang duduk di bangku taman, menatap langit sembari tersenyum getir, seperti menggambarkan keputusasaan. Agni terus berjalan, hingga netranya menangkap satu lukisan yang tampak berbeda di ujung lorong.
Tidak besar.. Tidak mencolok.. Tapi kosong..
Tak ada gambar. Hanya ada kanvas putih. Dan di bawahnya terukir sebuah nama.
Agni A.
Agni terpaku. Ia melangkah pelan mendekati lukisan itu, dan berdiri tepat di depanya. Tangannya terulur ingin menyentuh permukaannya. Namun, sebelum jemarinya sampai, terdapat sebuah suara yang terdengar.
"Kosong ya?"
Agni terlonjak. Di ujung lorong, terdapat seorang wanita tua berpakaian serba putih. Rambutnya panjang dan kelabu, kulitnya pucat, tapi senyum di wajahnya menenangkan.
"Banyak yang berharap melihat mimpi mereka sendiri," katanya sambil melangkah perlahan. "Namun, tidak semua mimpi dapat dilukis."
"Lalu.. kenapa namaku ada di sini?" tanya Agni dengan suara pelan.
Perempuan itu berhenti tepat di depan lukisan itu.
"Karena kau belum benar-benar bermimpi, Nak. Yang selama ini kau kejar… hanya harapan orang lain."
Agni terdiam. Ia ingin membantah tapi tak ada kata yang keluar.
"Namun, belum terlambat," lanjut perempuan itu. "Museum ini bukan tempat untuk mengenang. Ini tempat untuk menemukan. Kalau kau berani, kanvas itu akan terisi… dengan mimpi yang benar-benar milikmu."
Agni melihat kanvas kosong itu, kemudian melihat wanita tua itu lagi. "Tapi, bagaimana caranya?" tanyanya lirih.
Perempuan itu tersenyum samar, lalu menunjuk ke arah kanvas.
“Langkahkan kakimu ke depan. Ingat! yang kau temui di dalam bukanlah jawaban, melainkan pertanyaan yang selama ini kau hindari.”
Agni menelan ludah. Tangannya terkepal menahan gugup, tapi ia tetap maju selangkah. Saat ujung sepatunya menyentuh batas bingkai kanvas, keadaan di sekelilingnya berubah. Lorong menghilang. Lampu-lampu padam. Dunia seakan berganti.
Dalam sekejap, ia berdiri di sebuah ruangan kecil yang remang, dengan dinding penuh coretan. Di tengah ruangan, terdapat meja dan sebuah buku catatan terbuka. Ia mendekat. Di halaman itu berisi tulisan tangannya sendiri, tentang ragu, tentang mengikuti kata orang, tentang kehilangan arah. Agni menggigit bibir. Matanya panas. Ruangan itu bukan mimpi, tapi.. pantulan isi hatinya yang pernah ia sembunyikan sendiri.
Tiba-tiba dinding di sekelilingnya mulai berubah, coretan-coretan itu mulai memudar. Digantikan pemandangan dirinya mulai menulis di ruangan yang sama namun lebih terang. Di luar jendela terdapat cahaya mentari pagi.
Lalu suara itu datang lagi.
“Itu mimpimu. Sederhana, tapi nyata. Kau hanya belum berani mengakuinya.”
Dalam sekejap, Agni kembali berdiri di depan gerbang bangunan tua. Tempat awal ia berada. Keadaan masih sama seperti sebelumnya, namun yang membedakan semburat merah mentari mulai menampakkan dirinya perlahan. Di tangannya terdapat sebuah bingkai lukisan lengkap dengan gambar yang kini terisi.
Agni terdiam sambil memandangi lukisan itu. Ia sedikit bingung dan linglung dengan apa yang baru saja dialaminya. Di dalam bingkai itu, tergambar dirinya sendiri yang duduk di meja, menulis sesuatu dengan tatapan yakin.
Setelah cukup lama, Agni tersenyum. Ia mulai memandang bangunan tua di depannya dengan tatapan teduh. Museum Mimpi… ternyata bukan tempat untuk melihat masa lalu. Tapi tempat untuk mengingat kembali siapa dirinya. Kemudian, Agni mulai berbalik dan melangkahkan kakinya untuk pergi dari sana.
-TAMAT-