Tak ada yang tahu kapan mereka pertama kali bertemu. Dunia mencatat malaikat dan iblis sebagai musuh abadi, namun di antara retakan langit dan celah waktu yang tidak dikenali, Kael, sang iblis bersayap hitam bara, dan Seraphiel, malaikat cahaya yang benderang, menyimpan rahasia yang lebih tua dari peperangan mana pun.
Mereka bertemu diam-diam, ratusan tahun lamanya. Di taman bintang yang tak tercatat di langit, di atas reruntuhan dunia pertama, di tepi waktu yang beku—mereka bicara, tertawa, diam bersama. Dunia luar berubah, tapi mereka tetap dua makhluk yang hanya ingin… bersama.
Tak ada perjanjian. Tak ada sumpah. Tapi keduanya tahu, ada sesuatu yang tumbuh diam-diam.
Dan malam itu, di bawah bulan pucat yang menggantung lesu, mereka kembali bertemu. Untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, Kael tidak tersenyum.
“Aku ingin mengatakan sesuatu malam ini,” ucap Kael.
Seraphiel mengangguk. “Aku juga.”
Mereka menarik napas yang tak dibutuhkan, hati yang tak berdetak pun bergetar.
Dan bersamaan, mereka berkata:
"Aku mencintaimu."
"Aku telah dinikahkan."
Hening. Reruntuhan di sekitar mereka seolah membeku. Angin berhenti. Bahkan cahaya pun seakan menolak menembus ruang itu.
Kael membeku. “Apa… yang kau katakan?”
Seraphiel menggigit bibirnya. Sayapnya mengepak perlahan. “Aku… tak sempat menolaknya. Ini keputusan para Tetua Surga. Untuk menjaga keturunan suci dan perdamaian antar klan cahaya. Aku—aku minta maaf.”
Kael tertawa. Pelan. Retak. “Maaf? Itu yang kau bawa setelah ratusan tahun?” Matanya menyala. “Kenapa kau masih menemuiku malam ini?”
“Aku ingin kau tahu… perasaanku bukan dusta. Tapi aku—”
“—menyerah.” Suara Kael menjadi dingin. “Kau menyerah pada takdirmu. Pada aturan mereka. Kau memilih Surga, bukan aku.”
Seraphiel melangkah maju. “Aku tidak pernah memilih, Kael! Aku hanya... terlalu lambat!”
Api mulai muncul dari kaki Kael. Bukan karena amarah, tapi karena hatinya mulai terbakar dari dalam.
“Apa gunanya semua malam itu, Seraphiel? Apa gunanya kita menyimpan rahasia, jika akhirnya kau menghilang dan menjadi milik orang lain?”
“Aku mencintaimu,” ucap Seraphiel, air matanya jatuh. “Tapi mungkin… cinta kita memang diciptakan untuk tidak dimenangkan.”
Kael memejamkan mata. Dan saat ia membukanya lagi, tak ada lagi kehangatan. “Lalu, izinkan aku meratap dalam bentuk yang kutahu.”
Seraphiel terkejut. “Apa maksudmu—”
Kael mencium keningnya. Hangat. Dan menyakitkan. “Jika aku tak bisa bersamamu dalam terang, aku akan menantimu dalam bayang.”
Kemudian, ia berbalik. Sayap hitamnya merentang, membakar langit.
Ia pergi. Bukan untuk melawan Surga. Tapi untuk menghapus dirinya sendiri dari dunia.
...
Beberapa abad kemudian...
Legenda tentang iblis yang melupakan namanya sendiri menyebar di antara dunia bawah. Kael mengorbankan identitas dan ingatannya, menggunakan sihir terlarang untuk menghapus kenangannya tentang Seraphiel. Ia menjadi roh api pengembara tanpa tujuan, tanpa jiwa, hanya sisa dari cinta yang dipendam terlalu dalam.
Dan Seraphiel?
Ia hidup dalam pernikahan yang tidak pernah ia pilih, menjadi simbol cahaya dan kedamaian... dengan mata yang selalu menatap langit malam, seakan mencari sesuatu yang telah lama hilang.
Kadang, di antara mimpi-mimpi surgawi, ia melihat sosok bersayap hitam berdiri di balik kabut.
Dan ia menangis.
Karena cinta yang paling dalam... bukan yang hidup selamanya. Tapi yang harus dikubur selamanya.
Selesai.