Cinta Pertama di Lorong Waktu.
[Kamu adalah cinta pertamaku]
Bagi Arya, cinta pertamanya adalah perpaduan keduanya. Namanya Luna, dengan senyum sehangat mentari pagi yang selalu menyinari hari-harinya di bangku SMP. Aroma vanila dari rambutnya, tawa renyahnya yang sering mengisi lorong kelas, dan cara ia menunduk malu saat dipuji—semuanya bagaikan permen kapas yang meleleh lembut di lidah, meninggalkan jejak manis yang tak terlupakan.
Setiap pagi, Arya akan memastikan ia tiba lebih awal di sekolah, hanya untuk melihat Luna berjalan melewati gerbang. Di jam istirahat, matanya diam-diam mengikuti gerak Luna di kantin. Bahkan soal matematika yang paling rumit pun terasa mudah diselesaikan jika Luna duduk di bangku depannya. Perasaan itu murni, tanpa pamrih, hanya ingin melihat senyum itu tetap ada. Sebuah permen manis yang ia nikmati dalam diam.
Namun, cinta masa sekolah tak selamanya manis. Ada rasa asam yang menyertainya—cemburu saat Luna tertawa terlalu akrab dengan teman laki-laki lain, getirnya menyadari bahwa ia terlalu pengecut untuk mengucapkan apa yang ia rasakan, atau pahitnya ketika kabar Luna akan pindah ke kota lain mulai berembus. Malam itu, di bawah rembulan yang sendu, Arya hanya bisa menatap punggung Luna yang semakin menjauh saat mobil keluarganya perlahan menghilang di belokan jalan. Air mata yang menetes terasa asin, seasam buah jeruk yang belum matang sempurna.
Luna pergi, membawa serta potongan hati Arya yang belum sempat ia ungkapkan. Kenangan tentang senyum manisnya, dan bisikan angin yang membawa aroma vanila, kini bercampur dengan rasa sesal. Cinta pertamanya adalah permen yang manis, namun berujung pada buah asam yang meninggalkan rasa getir di tenggorokan. Sebuah pelajaran tentang keberanian dan waktu yang tak bisa diputar kembali. Arya tahu, ia mungkin tak akan lagi bertemu Luna, namun setiap kali ia melewati lorong sekolah yang sepi, atau mencium aroma vanila samar, ia akan selalu teringat pada cinta pertamanya yang manis sekaligus asam itu.
"TO BE COUNTED"