Namaku Reyhan.
Usia 29 tahun.
Bekerja sebagai freelance desainer, tinggal sendirian di rumah kontrakan kecil. Hidupku tenang, kalau tidak bisa dibilang... membosankan.
Aku sudah cukup kenyang dengan luka. Dulu pernah pacaran tujuh tahun, lalu ditinggal nikah. Setelah itu, aku tutup semua pintu soal cinta. Buatku, hidup nggak harus bareng seseorang. Cukup bisa tidur nyenyak, itu udah beruntung.
Sampai suatu hari, hidup tenangku diganggu… oleh suara ribut dari rumah sebelah.
Gegas, ribut, dan tawa keras. Aku kira anak kecil. Ternyata bukan.
Dia Naya.
Usia 19 tahun. Mahasiswi baru. Baru pindah ke kontrakan itu karena kuliah di kota ini.
Rambut pendek. Dandan asal-asalan. Bawa gitar ke mana-mana. Dan yang paling menyebalkan… dia terlalu ceria untuk dunia yang rasanya makin suram.
“Aku tetangga barumu!” katanya waktu pertama kali nyapa, tanpa malu.
Aku cuma mengangguk. “Oke. Jaga volume aja, ya.”
Dia ngakak. “Asli, mas. Mukamu kayak bapak-bapak abis pulang kantor.”
Setelah itu, aku pikir dia bakal malas ngobrol. Tapi justru sebaliknya—Naya malah makin sering gangguin. Kadang minta wifi, kadang nebeng nge-print tugas, kadang... numpang curhat sambil duduk di teras rumahku.
Awalnya aku risih. Tapi jujur aja, sejak Naya datang… hidupku jadi lebih “hidup”.
Kami mulai sering ngobrol. Tentang lagu favorit. Tentang film jadul. Tentang masa lalu yang nggak enak dikenang.
Ternyata dia nggak seceria kelihatannya. Ibunya baru wafat tahun lalu.
Ayahnya sibuk kerja di luar negeri. Dia kesepian, tapi nggak pernah bilang langsung. Dia cuma cerita dengan cara yang ringan, seolah nggak apa-apa—padahal aku bisa lihat dari matanya.
Dan pelan-pelan, aku ngerasa… nyaman.
Tapi aku tahu batas. Usia kami 10 tahun bedanya. Dan di malam-malam panjang, aku sering mikir:
“Apa aku ini brengsek karena mulai naksir cewek 19 tahun?”
Tapi cinta nggak nanya KTP.
Ia tumbuh karena rasa. Karena perhatian kecil. Karena malam-malam bicara soal hidup di teras rumah.
Sampai suatu hari, Naya nanya:
“Kalau aku suka sama seseorang, tapi dia lebih tua banget, itu salah nggak, Mas?”
Aku terdiam.
Lama.
Dia menatapku. “Jujur ya, aku... suka kamu. Tapi aku tahu kamu pasti nganggep aku anak kecil.”
Aku nggak langsung jawab. Karena jujur, aku juga takut. Takut melukai. Takut dianggap memanfaatkan. Takut disalahpahami.
Tapi malam itu, aku pegang tangannya.
“Naya, aku juga suka kamu. Tapi aku juga takut. Dunia nggak selalu baik sama hubungan seperti ini.”
Dia tersenyum kecil. “Kalau kita saling jaga, dunia nggak bisa ngapa-ngapain.”
Dan malam itu... kami memulai sesuatu. Bukan janji, bukan status. Tapi niat untuk tumbuh bersama, perlahan.
---
Dua Tahun Kemudian
Aku berdiri di luar ruangan wisuda, menunggu seseorang.
Naya keluar dengan toga dan senyum lebar, langsung melompat memelukku.
“Aku lulus, Mas. Sekarang kamu nggak bisa panggil aku anak kecil lagi.”
Aku tertawa. “Kamu tetap kecil… tapi hatimu paling dewasa.”
Hari itu, aku melamarnya. Bukan dengan bunga. Tapi dengan surat.
Tulisan tangan. Isinya cuma satu kalimat:
> “Kalau kamu masih mau… mari hidup bersama, tanpa harus mempedulikan angka.”
Dia menangis. Aku menangis.
Dan dunia?
Dunia akhirnya diam.
Karena dua hati yang tulus… tak perlu banyak pembenaran.
---
Penutup
Kadang, cinta datang dari arah yang tidak kita rencanakan.
Terlalu muda, terlalu tua—itu hanya soal angka.
Yang penting, kita saling menjaga. Saling menghormati. Saling bertumbuh.
Karena hati yang tulus... tidak mengenal usia.