– Catatan Harian Ayla, 3 tahun setelah kepergian Dio –
> Aku masih mengingatnya.
Senyumnya, suaranya, dan tatapan itu—yang dulu selalu menatapku seolah aku satu-satunya di dunia ini.
Aku menulis ini bukan karena ingin dia kembali.
Tapi karena aku tahu… dia tak akan pernah bisa kembali.
Dulu, aku anggap kehadiran Dio seperti langit—selalu ada. Mau aku abaikan, aku cuekin, bahkan saat aku jatuh cinta ke orang lain, Dio tetap di sana.
Selalu jadi tempat pulang.
Selalu menunggu.
Selalu sabar.
Sampai suatu hari, langit itu hilang. Tanpa suara. Tanpa pamit.
Aku pikir dia cuma butuh waktu. Aku pikir aku bisa cari dia kapan pun aku mau.
Tapi aku salah.
Dio benar-benar hilang.
Dia tinggalkan kota ini. Semua. Bahkan akun media sosialnya kosong. Tak ada jejak. Seolah dia menghapus seluruh hidupnya… termasuk aku.
Aku mulai mencari. Diam-diam. Lewat teman-temannya. Lewat keluarganya. Tapi tak ada yang tahu. Atau... mungkin mereka tahu, tapi melindunginya dariku.
Hingga suatu hari, tepat di ulang tahunku yang ke-28…
Aku menerima paket kecil.
Tidak ada pengirim. Hanya sebuah kotak kayu tua dan satu surat lusuh. Di dalamnya: satu jam tangan rusak dan foto kami di taman, waktu kami masih kuliah. Dio di sampingku, memegang kamera. Aku tertawa tanpa beban. Dan di belakang foto itu… ada tulisan tangannya.
> “Maaf ya, aku nggak pernah bisa ngasih kamu waktu yang kamu butuhkan.
Tapi aku selalu berharap kamu bahagia.
Bahkan kalau itu bukan denganku.”
Tanganku gemetar.
Air mataku jatuh.
Dan saat itu juga, HP-ku berdering.
Dari nomor yang tidak dikenal.
> "Ayla? Ini Fikri, temannya Dio."
Aku langsung berdiri.
> “Dio... masih di kota mana sekarang?”
Diam. Hening.
Lalu suara Fikri pecah pelan-pelan.
> “Maaf, Ayla...
Dio… udah gak ada. Udah setahun ini.”
Langit runtuh.
Aku jatuh terduduk. Napasku habis. Tanganku menutupi wajah. Suaraku meledak di ruang sepi.
Dio sudah meninggal.
Penyakit jantung. Dia tahu sejak lama. Tapi dia sembunyikan. Dari semua orang. Bahkan dariku.
> "Dia nggak mau kamu tahu. Karena dia nggak mau kamu mencintainya karena kasihan," kata Fikri.
"Tapi waktu dia tahu umurnya nggak lama, dia memilih pergi. Karena itu satu-satunya cara agar kamu bisa bahagia… tanpa dia.”
Aku menangis berhari-hari.
Yang paling menyakitkan bukan karena Dio meninggal.
Tapi karena…
Aku tak pernah minta maaf.
Tak pernah bilang terima kasih.
Tak pernah bilang aku juga cinta dia.
Aku terlalu sibuk menunggu “waktu yang tepat”…
dan waktu itu tidak pernah datang.
---
Ending
Hari ini, aku berdiri di depan batu nisannya.
Di atasnya tertulis:
> Dio Aditya Pramudya
"Yang mencintai diam-diam, dan pergi dalam senyap."
Aku letakkan surat kecil di atas pusaranya.
Tertulis hanya satu kalimat:
> “Ternyata kamu bukan langit, Dio. Kamu malaikat… dan aku terlalu buta untuk melihatnya saat kau masih di bumi.”