Sudah hampir tiga bulan sejak terakhir kali aku melihat Dio. Bukan karena dia pindah kota, bukan karena ada pertengkaran besar. Tapi karena dia memilih untuk… berhenti ada.
Dulu, aku terbiasa dengan pesan-pesannya.
"Udah makan belum?"
"Pulangnya jangan malam ya."
"Kamu capek? Aku anterin."
Dulu aku pikir semua itu akan selalu ada. Karena ya... Dio itu Dio. Lelaki yang selalu bisa ditebak. Selalu ada. Selalu setia. Selalu bodoh—bodoh karena mencintai perempuan seperti aku yang tak pernah benar-benar membalas cintanya.
Aku tahu Dio mencintaiku. Aku tahu dari tatapan matanya yang nggak pernah bohong. Dari caranya selalu datang saat semua orang pergi. Dari diamnya saat aku cerita tentang pria lain.
Tapi aku... aku terlalu sibuk melihat ke arah lain. Ke pria-pria yang membuat jantungku berdebar tapi pergi tanpa pamit. Ke orang-orang yang membuatku merasa dicintai, lalu hilang begitu saja.
Aku tahu Dio terluka. Tapi dia tak pernah menunjukkan. Dia hanya... tetap ada. Sampai akhirnya dia tidak lagi.
Dan aku?
Aku baru menyadari betapa sunyinya hari-hariku tanpa dia. Betapa aku merindukan pesan-pesan sederhana itu. Betapa... aku ingin dia kembali.
Tapi Dio sudah berubah. Dia hanya menyapa seperlunya. Tak ada lagi nada hangat, tak ada lagi perhatian. Seperti dinding tinggi telah berdiri di antara kami.
Aku melihatnya di kampus minggu lalu. Dia duduk sendirian, membaca buku. Biasanya, dia akan langsung melambai jika melihatku. Tapi hari itu... dia hanya menoleh sekilas, lalu kembali membaca.
Seakan... aku bukan siapa-siapa.
Dan saat itulah aku sadar: aku sudah kehilangan seseorang yang benar-benar mencintaiku.
Aku menangis malam itu. Bukan karena Dio menyakitiku, tapi karena aku menyia-nyiakan orang yang paling tulus.
Kalau waktu bisa diulang...
Kalau aku tahu perasaanku lebih awal...
Mungkin aku akan memilih dia.
Tapi sekarang? Sekarang aku hanya bisa menatap punggungnya—yang terus berjalan menjauh. Dan aku tahu… dia tak akan kembali.