---
## **“SEBELUM SEGALANYA PADAM”**
Aku tidak tahu sejak kapan suara-suara mulai lenyap.
Pertama, hanya suara langkah kakiku yang tak lagi terdengar. Lalu bisikan angin, detak jam, dan akhirnya... suara hatiku sendiri.
Hening. Tapi bukan hening yang biasa.
**Ini adalah keheningan dari sesuatu yang perlahan *tidak lagi ada.***
Hari-hari pun mulai meluruh. Matahari menyala redup, warna-warna memudar seperti lukisan tua yang mulai dikupas waktu. Orang-orang di sekelilingku tetap tersenyum, tetap beraktivitas—tapi matanya kosong. Dialog mereka berulang seperti rekaman rusak.
"Apa kita pernah bicara sebelumnya?" tanyaku pada seorang wanita muda di pasar.
Dia menoleh. Matanya bening. Lalu mengucap kalimat yang sama yang dia ucapkan kemarin. Dan kemarin. Dan kemarin.
**“Hari ini cerah, ya?”**
Aku mundur. Panik.
> *"Apakah ini... skenario yang macet?"*
---
Aku tak bisa tidur. Karena mimpi tak lagi datang.
Dalam kegelapan, aku duduk. Menatap langit-langit yang tak lagi bergerak. Tak ada bintang. Tak ada kedipan. Tak ada waktu.
Lalu, **suara itu datang.**
> *“Kau sadar lebih cepat dari yang lain. Sayang sekali.”*
Aku menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.
Hanya sebuah suara. Bukan gema. Bukan bisikan. Tapi *niat.*
Aku merasakannya seperti perintah tertanam di sumsum tulangku.
> *“Ini semua hanya fiksi. Kau karakter latar. Dan skenario ini akan dihapus.”*
“Kenapa?” aku berteriak. “Aku masih hidup! Aku bisa berpikir! Aku bisa memilih!”
> *“Tapi kau bukan Protagonis. Dan... Penulis sedang melupakanmu.”*
---
Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Jika aku ingin tetap eksis, aku harus **memaksa realitas ini untuk tetap hidup.**
Aku tak bisa menjadi protagonis dalam cerita yang tak pernah ada. Maka aku akan jadi **kisah yang tidak bisa dilupakan.**
Malam itu, aku membakar alun-alun kota.
Kulempar api ke pasar tempat orang-orang bersenyum palsu.
Anak-anak yang tertawa seperti rekaman kuseret ke tengah jalan, menjerit, berteriak, tapi suaranya... tetap satu baris skrip:
**“Hari ini cerah, ya?”**
Aku menginjak mereka.
Mereka tetap tersenyum.
Mereka bukan manusia. Mereka **bagian dari mimpi yang sudah lama mati.**
---
Tiga hari setelahnya, **langit kembali bergerak.**
Awan mulai mengalir, walau darah masih segar menetes dari atap rumah-rumah terbakar.
Aku... berhasil?
Tidak.
Suara itu kembali. Kali ini dingin. Lurus. Kosong.
> *“Kau membuat kesan. Tapi bukan yang diminta.”*
Aku tertawa histeris.
"Aku tidak peduli! Lihat aku! Aku ADA! Aku masih DI SINI!"
> *“Kau bukan protagonis. Tapi kini kau cukup *menjijikkan* untuk diingat. Tragedimu... cukup menarik. Tapi kau tak bisa lolos dari akhir.”*
---
Cahaya padam. Suara menghilang. Dan aku kembali... ke *ketiadaan.*
Tapi...
Sebelum segalanya menjadi sunyi, aku sempat mendengar satu suara terakhir.
> *“Mungkin... lain kali, kau bisa jadi Protagonis.”*
Dan saat itulah aku sadar:
**Agar tidak dilupakan, aku harus menjadi mimpi buruk.**
**Agar eksistensi bertahan, aku harus membuat dunia takut kehilangan diriku.**
Dan jika dunia ini memang mimpi...
**Maka aku akan menjadi mimpi yang tidak akan pernah bisa dilupakan.**