Aku tak pernah suka pesta pernikahan.
Terlalu ramai. Terlalu bising. Terlalu banyak orang yang berbasa-basi dengan senyum lebar seolah dunia mereka baik-baik saja.
Dan hari ini, aku kembali terjebak dalam salah satu pesta pernikahan teman SMP.
Helda dan Jahra asyik tertawa sambil mengolok-olok Kak Galih yang duduk tak jauh dari kami. Aku hanya tersenyum seadanya, menyesap air putih sambil sesekali merapikan hijab pashmina pastelku. Kebaya sage yang kupakai terasa agak sesak, apalagi di tengah kerumunan orang yang tak berhenti berdesakan.
Aku berniat bangkit ke toilet ketika tiba-tiba—aku melihatnya.
Raihan.
Seolah waktu berhenti berdetak.
Dia berdiri tak jauh dari pintu masuk, mengenakan setelan jas navy yang membuat bahunya tampak lebih bidang. Rambutnya sedikit lebih pendek dari yang kuingat, wajahnya lebih dewasa. Tapi senyumnya… senyumnya masih sama.
Senyum yang dulu sering membuatku kesal karena diiringi godaan-godaan iseng.
Senyum yang pernah diam-diam aku rindukan.
Aku berbalik cepat, menunduk, berharap dia tak melihatku. Tapi suara itu… suara yang dulu terlalu akrab di telingaku…
“Za…”
Aku menelan ludah. Perlahan menoleh. Dia berdiri hanya beberapa langkah dariku.
“Lama nggak ketemu.” Suaranya pelan, terdengar sedikit canggung.
Aku memaksakan senyum. “Iya… lama banget.”
Aku tak tahu harus menatap ke mana. Tanganku refleks merapikan ujung hijabku.
Kami berdiri canggung beberapa detik. Suasana di sekitar kami tetap riuh, tapi buatku, dunia mendadak terasa sunyi.
“Kamu… apa kabar, Za?”
Aku mengangguk pelan. “Baik. Kamu gimana?”
Dia tersenyum lagi, tapi matanya seolah menyimpan banyak hal yang tak terucap.
“Baik juga…” katanya, pelan.
Aku ingin bertanya kenapa dia di sini sendirian. Dulu aku sempat mendengar kabar dia sudah menikah. Tapi tak sempat kuucapkan pertanyaanku, ketika tiba-tiba seorang anak laki-laki muncul di samping Raihan.
“Papa!”
Bocah itu memeluk kaki Raihan sambil mendongak ke arahku. Wajahnya mirip sekali dengan Raihan, hanya saja lebih bulat dan polos.
Hatiku berdegup keras. Papa.
Jadi dia memang sudah menikah…
Aku berusaha tetap tersenyum. “Siapa ini?” tanyaku pelan, menatap bocah kecil yang kini menatapku balik dengan rasa ingin tahu.
“Namanya Arka,” jawab Raihan, menepuk pelan kepala anak itu. “Dia anakku.”
Seketika, dada aku seperti diremas. Aku berusaha tertawa kecil. “Oh… lucu banget.”
Arka hanya menatapku, sebelum mendekap Raihan makin erat.
“Kamu … kelihatan cantik banget hari ini,” kata Raihan tiba-tiba, suaranya lirih.
Aku hanya terdiam. Tak mampu membalas apa-apa.
Aku dulu mengira perasaanku padanya sudah lama mati. Aku pikir, bertahun-tahun cukup untuk membunuh rasa yang pernah aku simpan rapat-rapat.
Tapi kini aku tahu—rasa itu tidak pernah benar-benar pergi.
Dan di pesta pernikahan yang seharusnya penuh tawa ini, aku malah berdiri membeku, menatap lelaki yang dulu pernah memenuhi hatiku. Lelaki yang kini menggenggam tangan anak kecil yang memanggilnya papa.
Ada rindu yang tertinggal.
Dan aku tak tahu apakah aku masih punya tempat untuknya, atau seharusnya benar-benar melepaskannya.
****
kalau kamu mau tahu lanjutannya, cek akun aku yaa,soalnya baru aja rilis ✨😗