Hujan turun sejak sore, merembes ke kaca jendela seperti air mata yang sudah lama tertahan. Di balik tirai putih tipis, Liona berdiri menatap langit kelabu. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang mulai dingin, sementara hatinya… ah, hatinya lebih dingin dari apa pun yang pernah ia rasakan.
Sudah lima tahun sejak peristiwa itu. Lima tahun sejak Bima pergi tanpa jejak. Lima tahun sejak hatinya dikoyak diam-diam.
Dulu, Liona percaya pada janji. Ia percaya bahwa cinta yang tulus akan bertahan, bahwa seseorang yang mencintaimu tak akan pernah memilih pergi tanpa alasan. Tapi Bima mengajarkan satu hal: bahwa cinta juga bisa membunuh dalam diam.
Tanpa permisi, tanpa pamit, tanpa alasan yang bisa diterima logika, Bima menghilang. Meninggalkan Liona dengan tumpukan rindu, jutaan tanya, dan malam-malam panjang yang ia habiskan menangis di balik bantal.
Liona bahkan sempat pergi ke rumah Bima. Tapi rumah itu sudah kosong. Ibunya bilang, Bima pindah ke luar kota. Ia tidak meninggalkan alamat baru. Tidak juga pesan untuk Liona. Hanya kepergian yang dingin dan menyakitkan.
Liona sempat mengira Bima meninggal. Tapi ternyata, ia hanya meninggalkan... karena ingin.
---
Lima tahun kemudian.
Takdir sering iseng, dan kadang kejam. Ia menghadirkan kembali orang yang telah kita kubur dalam-dalam di waktu yang paling tidak diharapkan.
Hari itu, Liona datang ke reuni angkatan SMA-nya. Ia tak benar-benar ingin datang. Tapi entah kenapa, ada rasa penasaran. Tentang siapa yang menikah lebih dulu, siapa yang masih sendiri, siapa yang berubah... dan siapa yang mungkin, akan datang kembali.
Liona tak berharap bertemu Bima. Tapi ia lupa, bahwa harapan yang paling tidak ingin kita ucapkan justru yang paling sering dikabulkan semesta.
Saat matanya bertemu dengan sorot itu—sorot mata yang pernah membuatnya jatuh cinta dan jatuh hancur—ia tahu. Dunia tidak adil. Bima berdiri di sana, hanya beberapa meter darinya, dengan wajah yang tak berubah: tenang, santai, dan menyebalkan.
“Liona…” Suara itu terdengar seperti luka lama yang dikoyak ulang.
Ia membalikkan badan, seolah tak mendengar.
“Liona, tunggu.”
Langkah Bima cepat mengejarnya. Liona berusaha menjaga napas, menjaga wajahnya tetap datar, padahal dadanya sudah ribut seperti pasar malam.
“Kamu kelihatan… beda,” ujar Bima akhirnya.
Liona mendongak menatapnya, tajam.
“Kamu juga. Masih sama. Masih jago datang tanpa permisi, dan menghancurkan tanpa penjelasan.”
Bima terdiam. “Aku punya alasan, Lio.”
“Kamu pikir lima tahun cukup untuk membenarkan kepergianmu tanpa kabar? Tanpa satu pun penjelasan? Tanpa ucapan ‘maaf’?” Suara Liona gemetar, namun matanya tak berkedip. “Aku bertanya-tanya setiap malam, kenapa kamu pergi. Apa aku terlalu memaksa? Apa aku terlalu mencintaimu? Atau kamu memang nggak pernah cinta sama sekali?”
“Jangan bilang gitu.” Bima terlihat sesak. “Aku mencintaimu, Liona. Sangat. Tapi... saat itu aku nggak bisa—”
“BERJUANG?” potong Liona. “Kamu nggak bisa berjuang? Itu alasanmu?”
Bima menunduk. “Ayahku sakit parah. Kami pindah ke luar kota karena dia harus dirawat di tempat khusus. Aku kerja siang malam buat bantu biaya. Aku... aku nggak kuat kalau kamu lihat aku jadi bukan siapa-siapa. Aku malu. Aku takut kamu kasihan.”
Liona tertawa kecil, getir. “Kamu pikir aku butuh kamu kaya? Aku cuma butuh kamu tinggal. Cuma itu.”
Bima ingin menjangkau tangan Liona, tapi ia mundur.
“Kamu bukan cuma pergi, Bi. Kamu menghilang. Kamu membunuh aku dalam diam. Aku kehilangan arah. Aku berhenti menulis, berhenti senyum, aku bahkan hampir berhenti percaya pada hidup. Dan sekarang, setelah aku berdiri tegak lagi... kamu datang.”
“Aku ingin memperbaiki semuanya.”
“Tidak bisa.” Liona menggeleng, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku sudah bukan Liona yang dulu. Luka itu terlalu dalam. Dan aku terlalu hancur waktu itu. Kamu tidak bisa datang dan berharap semuanya kembali.”
“Lio…”
Liona menatap matanya tajam.
“Asinglah untuk selamanya, Bima. Jika takdir mempertemukan kita lagi... aku yang akan menghindari.”
Ia membalikkan badan. Tak peduli Bima memanggil namanya berkali-kali. Tak peduli matanya mulai basah oleh air mata. Ia berjalan menjauh. Meninggalkan masa lalu yang pernah ia doakan, pernah ia tangisi, dan kini ia relakan.
Dan di tengah rinai hujan yang kembali turun, ia tahu...
Beberapa pertemuan memang bukan untuk disambung kembali. Beberapa luka tak untuk diobati, tapi dibiarkan menjadi bekas. Agar kita selalu ingat, pernah mencintai orang yang salah dengan cara yang terlalu benar.
---Selesai---