Revan Mahesa menatap langit sore yang mulai berubah warna. Senja selalu datang dengan aroma yang khas—dingin, lembab, dan sedikit melankolis. Sejak tiga tahun lalu, hidupnya dihabiskan di kota kecil bernama Lembang, mengelola kedai kopi bernama Dahan Senja. Kedai kecil itu terletak di lereng bukit, diapit pohon-pohon pinus dan jalan setapak berbatu. Tak banyak yang tahu siapa Revan sebenarnya. Ia pria pendiam, senyumnya tipis, dan matanya seperti menyimpan cerita yang tak ingin dibagi.
Tak ada yang tahu juga bahwa ia pernah mencintai seseorang begitu dalam, dan kehilangan cinta itu… karena dirinya sendiri.
Namanya Rani Alesha.
Cinta masa kuliah. Cerah, hangat, seperti matahari pagi. Tapi Revan kala itu terlalu keras pada dunia, terlalu sibuk membuktikan sesuatu kepada orang tuanya, terlalu takut membiarkan dirinya bahagia. Hingga akhirnya Rani lelah, dan memilih pergi tanpa menoleh lagi.
Hingga hari itu tiba—hari yang tak pernah ia sangka akan datang.
Langit jingga sudah mulai gelap ketika suara lonceng di pintu kedai berbunyi. Revan tengah merapikan gelas saat langkah sepatu perempuan terdengar memasuki kedai. Ia mengangkat kepala, dan waktu seolah berhenti.
Rani.
Wanita itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket krem dan syal abu-abu. Rambutnya diikat setengah, dan matanya masih sama—tenang, namun penuh pertanyaan.
Revan berdiri tegak, jantungnya berdetak tak karuan.
“Revan…” sapanya. Suaranya pelan, namun cukup untuk mengguncang dada pria itu.
Butuh beberapa detik sebelum Revan menjawab. “Rani…”
Ada jeda, lalu senyum muncul di wajah Rani. “Kopi di sini katanya enak. Pemiliknya juga katanya… jago bikin rasa tenang muncul dari cangkir.”
Revan tertawa kecil, gugup. “Mungkin. Tapi rasanya belum tentu cocok untuk semua orang.”
“Boleh aku duduk?”
Revan mengangguk. “Selalu.”
Rani duduk di kursi kayu dekat jendela besar. Tempat itu dulu selalu jadi favoritnya, bahkan saat kedai ini belum ada—saat mereka hanya duduk berdua di balkon kecil kos Revan, berbagi cerita sambil memandang kota dari kejauhan.
Revan berjalan ke belakang bar, menyiapkan pesanan tanpa perlu bertanya. Ia tahu, Rani masih suka cappuccino hangat tanpa gula.
“Masih ingat selera kopi aku?” tanya Rani saat Revan meletakkan cangkir di mejanya.
“Lupa nama jalan, iya. Tapi bukan rasa,” jawab Revan sambil duduk di depannya.
Mereka diam beberapa saat. Hanya suara angin dari luar dan musik jazz pelan yang mengisi ruang. Lalu Rani membuka suara.
“Aku ke Bandung karena kerjaan. Nggak sengaja lihat review kafe ini. Pas tahu namanya ‘Dahan Senja’... aku curiga.”
Revan tersenyum tipis. “Aku beri nama itu karena... senja selalu punya caranya sendiri mengakhiri hari. Tenang, tapi membekas.”
“Seperti kita?”
Revan menatap Rani dalam. “Mungkin.”
Rani menyesap cappuccinonya. Matanya menyipit karena panas, tapi ia tersenyum.
“Masih seenak dulu.”
Revan menatap tangannya sendiri, menggenggam jemarinya. Lalu ia memberanikan diri berkata, “Rani… aku nggak pernah benar-benar minta maaf waktu itu.”
Rani mengangkat alis.
“Aku terlalu sibuk dengan ego sendiri. Nyuruh kamu nunggu tanpa kepastian. Bikin kamu ngerasa sendiri padahal kamu cuma minta ditemani.”
Rani menatap cangkirnya. “Kamu tahu, aku butuh waktu lama buat nerima kenyataan itu. Tapi akhirnya aku sadar… kita nggak gagal. Kita cuma... belum selesai.”
Revan menatap Rani, matanya berkaca.
“Kalau sekarang aku bilang aku masih sayang, itu akan terlalu terlambat?”
Rani tertawa kecil. “Itu tergantung. Kamu masih suka lupa bawa payung pas hujan?”
Revan nyengir. “Selalu. Tapi sekarang aku punya mantel lebih.”
“Berarti kamu udah belajar sedia payung sebelum hujan,” balas Rani.
Mereka tertawa bersama. Suara tawa yang dulu pernah hilang, kini kembali menghiasi ruang yang sepi.
Senja perlahan hilang, digantikan lampu-lampu kecil di langit-langit kedai yang mulai menyala. Tapi malam itu terasa hangat. Sehangat rasa yang tak pernah benar-benar padam.
Sebelum pulang, Rani berdiri, lalu berkata pelan, “Kamu tahu, satu hal yang nggak pernah berubah dari kamu, Revan?”
“Apa?”
“Kamu selalu tahu cara membuat orang merasa pulang. Bahkan setelah sekian lama.”
Revan berdiri. “Kalau kamu mau... kamu nggak perlu pulang malam ini. Atau malam-malam berikutnya.”
Rani menatapnya. Lama. Lalu mengangguk.
Dan pada malam itu, di bawah langit Lembang yang dingin, dua hati yang pernah retak akhirnya menyatu kembali—dengan secangkir kopi, dan cinta yang tak pernah selesai.