Malam itu, angin berhembus pelan, membawa suara-suara asing dari celah jendela tua kamar kos milik Rani. Kosan itu memang terkenal angker. Bangunannya sudah tua, catnya mengelupas, dan beberapa kamar bahkan dibiarkan kosong bertahun-tahun. Tapi karena murah dan dekat dengan kampus, Rani tetap memilih tinggal di sana. Lagipula, dia tidak percaya hantu.
Tapi sejak pindah dua minggu lalu, ada sesuatu yang aneh.
Tidak ada satu pun penghuni kos yang menyapanya. Bahkan saat dia dengan jelas melambaikan tangan, mereka hanya berjalan melewatinya seolah-olah Rani tidak ada. Dia pernah mengetuk pintu kamar sebelah dan menjatuhkan kue, tapi tak ada yang menjawab.
“Jangan terlalu ramah di sini, ya. Nanti kamu kecewa,” kata Bu Ratmi, pemilik kos, saat menyerahkan kunci. Waktu itu Rani cuma tertawa, mengira itu sindiran soal tetangga yang cuek.
Tapi sekarang, dia mulai ragu.
Setiap malam, suara langkah kaki terdengar dari lorong, padahal semua kamar tampak kosong. Cermin di kamarnya berkabut dari dalam, walau jendela terbuka. Dan yang paling membuatnya merinding—foto-foto dirinya di ponsel selalu kabur. Wajahnya buram.
Malam ini, dia tak tahan lagi. Ia menggedor pintu kamar paling ujung kamar yang katanya sudah lama kosong karena penghuninya meninggal mendadak. Tapi pintu itu terbuka sendiri. Gelap. Bau anyir.
Dan di dalamnya, dia melihat... dirinya sendiri.
Mayatnya. Tergeletak membiru di lantai, tangan masih menggenggam ponsel.
Rani mundur, gemetar. Tapi saat berbalik, di belakangnya berdiri Bu Ratmi dengan tatapan kosong.
“Kamu baru sadar, ya?” bisiknya dingin.
“Dari awal pun kamu... sudah tidak dianggap ada.”
Tiba-tiba semua lampu mati. Suara ketukan menggema dari balik tembok.
Dan malam itu, Rani benar-benar menjadi apa yang selama ini dia rasakan. Tidak diingat. Tidak disapa. Tidak dianggap.
Tidak ada.