Aku melihatmu dari kejauhan, berdiri sendirian di taman belakang sekolah. Tempat favoritmu. Tempat di mana semuanya dulu terasa hangat. Tapi hari ini... enggak. Hari ini semuanya dingin, apalagi sikapmu.
Aku datang pelan, membawa langkah-langkah ragu. Kamu pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi aku tahu kamu tahu aku datang.
"Hey," ucapku pelan.
Kamu menoleh, tersenyum tipis. "Hey."
Diam.
Angin lewat, membawa sunyi yang berat. Aku benci ini. Benci ketika kita berpura-pura semuanya baik-baik saja.
"Aku denger dari teman-teman... kamu bilang kamu nggak apa-apa," kataku akhirnya.
Kamu masih tersenyum. "Emang nggak apa-apa."
Aku mendesah. "Kamu tuh selalu gitu. Selalu sok kuat."
Kali ini kamu terdiam. Senyummu mulai goyah, matamu mulai berkaca-kaca. Tapi tetap, kamu tahan. Kenapa sih kamu harus tahan semuanya sendiri?
"Kalau kamu sedih, bilang. Kalau kamu sakit hati, bilang. Kalau kamu kecewa sama aku... bilang. Jangan pura-pura baik terus."
Air matamu akhirnya jatuh. Dan aku tahu, itu bukan karena kata-kataku. Tapi karena kamu lelah, lelah pura-pura jadi kuat di depan semua orang, terutama aku.
"Aku takut," suaramu pelan, nyaris seperti bisikan. "Takut kalau aku jujur, kamu ninggalin aku."
Aku melangkah lebih dekat, menggenggam tanganmu yang dingin. "Justru aku pengen kamu jujur. Aku pengen lihat kamu, yang sebenarnya. Yang rapuh, yang marah, yang kecewa. Karena itu tandanya kamu percaya sama aku."
Kamu menangis di pelukanku. Dan untuk pertama kalinya, kamu berhenti sok kuat. Kamu jadi kamu, yang apa adanya. Dan itu cukup buatku.