Langit mendung sore itu seolah menyetujui apa yang ingin aku katakan. Kita berdiri di halte sekolah, tempat yang biasanya penuh tawa, kini dipenuhi diam yang lebih bising dari keramaian.
“Aku nggak tahu harus ngomong gimana,” kataku, mencoba menatap matamu yang mulai basah.
Kamu hanya mengangguk, tidak memotong. Seperti tahu bahwa hari ini memang waktunya selesai.
“Kita udah sama-sama capek, kan?” tanyaku pelan. “Kita masih saling sayang, tapi... kenapa sekarang terasa beda?”
Kamu menarik napas panjang, lalu tersenyum. Senyum yang dulu bikin aku jatuh, sekarang malah bikin dada sesak.
“Aku ngerti,” jawabmu. “Mungkin karena kita terlalu maksa buat cocok. Terlalu sibuk berjuang sampai lupa rasanya bahagia.”
Angin meniup rambutmu pelan. Suaramu gemetar, tapi tetap tenang. Seperti kamu udah siap, bahkan mungkin lebih dulu dari aku.
“Sepertinya... berpisah lebih baik,” lanjutmu.
Aku menggigit bibir. Kata itu nyesek, tapi... ada benarnya. Kita udah terlalu sering saling menyakiti dengan dalih cinta. Terlalu banyak perbaikan yang gak pernah cukup.
Aku mengangguk.
“Kalau suatu saat kamu lihat aku di jalan... pura-pura nggak kenal juga nggak apa-apa. Tapi kalau kamu sapa, aku bakal senyum,” kataku sambil memaksakan tawa kecil.
Kamu tertawa juga. “Dasar drama.”
Dan kita tertawa bersama, untuk terakhir kalinya.
Langkahmu menjauh. Aku nggak menahan. Karena untuk pertama kalinya, aku sadar: kadang, cinta nggak harus saling memiliki. Kadang, cinta adalah melepaskan... saat kita sadar, sepertinya berpisah lebih baik.
Ahh ta! Lah @nj @nj