“Aku benci kamu, Ka. Kamu itu sok tahu! Sok deket! Padahal kita nggak pernah benar-benar kenal!”
Kata-katamu seperti tamparan. Keras, menyakitkan. Tapi aku tidak bergerak sedikit pun dari tempatku berdiri. Mata kita saling menatap, panas dan penuh bara.
Aku menarik napas panjang. Menahan semua yang ingin meledak.
“Kau pikir aku sok tahu?” tanyaku pelan. “Lalu siapa yang selalu diam tiap kamu nangis di belakang sekolah? Siapa yang nolongin kamu waktu kamu pingsan di lapangan? Siapa yang diem-diem naruh vitamin di laci mejamu karena kamu selalu lupa sarapan?”
Kau menggigit bibirmu, mencoba menahan air mata yang mulai mendesak.
“Kau bahkan nggak tahu rasanya jadi aku, Gea,” suaraku mulai pecah. “Kau nggak tahu gimana rasanya pura-pura kuat di depan semua orang. Gimana rasanya tiap malam cuma bisa ngobrol sama bayangan sendiri. Kau nggak tahu apa-apa tentang rumahku. Tentang ayahku yang selalu mabuk. Tentang ibu yang kabur entah ke mana. Tentang aku yang cuma bisa hidup dari sisa-sisa keberanian.”
Aku tertawa. Pahit.
“Dan kau bilang aku sok tahu? Kau yang nggak pernah coba ngerti!”
Gea terdiam. Tubuhnya gemetar. Mungkin karena dingin, atau karena kata-kataku yang baru kali ini benar-benar jujur.
“Kenapa kamu baru ngomong sekarang?” tanyanya nyaris berbisik.
“Karena selama ini aku pikir kamu satu-satunya orang yang akan ngerti… Tanpa aku harus jelasin apa-apa.”
Dia menangis. Mungkin karena bersalah. Mungkin karena sadar, bahwa di balik amarahku, ada luka yang selama ini kubiarkan membusuk sendiri.
“Kau tahu apa tentang aku?” ulangku lirih. “Kau tahu apa tentang rasa sakit yang kusembunyikan tiap hari?”
Gea mendekat. Tangannya gemetar saat menyentuh pundakku.
“Maaf… Aku nggak pernah benar-benar lihat kamu, Ka.”
Aku menunduk. “Nggak apa-apa. Aku juga udah biasa nggak kelihatan.”
Dan untuk pertama kalinya, kami diam. Dalam diam yang bukan canggung, tapi penuh pengertian. Dalam diam yang akhirnya membuatku merasa… tidak sendirian.