Hujan deras mengguyur kota sore itu, seolah langit ikut menangis bersamaku. Di bawah halte tua depan sekolah, aku berdiri dengan seragam basah, menunggumu seperti biasa. Tapi hari ini berbeda. Kau datang bukan dengan senyum hangatmu seperti dulu, melainkan dengan tatapan asing yang membuat dadaku sesak.
"Kita selesai, Ka."
Kalimat itu kau ucapkan datar. Sedingin udara sore, sedingin hatimu sekarang.
Aku tertawa kecil. Pahit.
"Selesai? Apa maksudmu, selesai?" tanyaku sambil melangkah mendekat.
Kau mundur. Sejauh yang kau bisa.
"Kita nggak bisa terus kayak gini. Aku capek. Kamu terlalu…"
"Terlalu apa? Terlalu sayang sama kamu?" potongku. Nadaku mulai bergetar. Mataku tak berkedip menatapmu, mencoba mencari alasan di balik kepergianmu yang tiba-tiba.
"Enggak, Ka. Kamu terlalu... ngatur. Terlalu pengen semua tentang aku jadi milikmu. Aku butuh ruang buat hidup."
Aku ingin marah, ingin berteriak. Tapi semua kata tertahan di tenggorokan. Kau benar. Aku memang posesif. Tapi itu karena aku takut kehilanganmu.
Dan kini, ketakutanku jadi nyata.
Kau melangkah pergi. Tapi aku tak membiarkanmu lepas begitu saja.
Aku berlari, menarik tanganmu, menatap dalam matamu yang kini mulai berlinang air.
"Gea, kamu denger aku ya. Meski kamu pergi, meski kamu ninggalin aku... Kamu tetap akan selalu jadi milikku. Di hati ini, nggak akan ada yang bisa gantiin kamu."
Kau diam. Tak menjawab. Hanya menunduk dan melepaskan genggaman perlahan.
Dan saat kau benar-benar pergi, meninggalkan jejak langkah dan hati yang hancur, aku masih berdiri di sana. Menatap langit yang tak berhenti menangis.
Kamu mungkin pergi dari hidupku.
Tapi tidak dari hatiku.
Karena bagiku, kamu akan selalu menjadi milikku.